BeritaHot IssueNasional

Anggota Komisi IX DPR : Penerapan Darurat Sipil Kurang Tepat

Pemerintah diminta untuk mempertimbangkan tidak memberlakukan darurat sipil karena dinilai kurang tepat. Pemerintah diminta lebih memilih untuk memberlakukan karantina wilayah dalam mengatasi wabah virus corona jenis baru atau COVID-19.

Anggota Komisi IX DPR RI, Saleh Partaonan Daulay menilai, kebijakan pemerintah sejauh ini masih belum mampu mengendalikan kecepatan penyebaran virus Corona.

“Terbukti, jumlah warga negara yang terpapar semakin banyak. Begitu juga, jumlah yang meninggal dunia dilaporkan semakin bertambah,” katanya kepada wartawan, Selasa (31/3/2020).

Melihat kondisi itu, lanjut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, sebaiknya pemerintah memilih opsi karantina wilayah. Sebab dengan karantina wilayah, warga masyarakat bisa diatur agar lebih taat dan tertib.

“Itu adalah kunci dari keberhasilan social dan physical distancing,” tandasnya.

Lebih lanjut Saleh mengaku tidak mengetahui apa alasan pemerintah yang tetap memberlakukan pembatasan sosial dalam skala besar. Pengamatan dia, darurat sipil yang ingin diberlakukan pemerintah hanya untuk mendukung kebijakan pembatasan sosial berskala besar tersebut.

“Saya khawatir, darurat sipil ini pun tidak begitu membantu,” imbuhnya.

Darurat sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya diyakininya tidak begitu tegas. Sebab, pimpinan operasi masih ditangani oleh sipil.

“Dan darurat sipil dipergunakan kemungkinan karena pemerintah menganggap bahwa keadaan darurat yang ada skalanya masih rendah. Karena itu, darurat sipil dikombinasikan dengan pembatasan sosial berskala besar,” ujarnya.

Dia menilai bahwa opsi karantina wilayah sepertinya bukan mejadi opsi utama pemerintah. Sebab, karantina wilayah membutuhkan banyak biaya. Termasuk untuk membiayai kebutuan pokok masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tersebut.

“Dan itu nilainya tentu tidak sedikit,” lanjutnya.

Belum lagi, tambahnya, dampak sosial ekonomi yang mengiringinya. Dimana jika karantina wilayah yang diberlakukan, konsekuensinya akan banyak perusahaan dan tenaga kerja yang berhenti beroperasi. Dampak sosial ekonominya pun tentu tidak sedikit. Belum tentu semua pihak siap menerimanya.

“Menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil. Kalaupun mau menerapkan darurat sipil, masih memerlukan aturan tambahan lainnya. Ini tentu akan memakan waktu yang lebih lama lagi,” katanya.

Saleh mengaku heran kenapa tiba-tiba opsi darurat sipil ini muncul. Apalagi setahu dia, beberapa waktu lalu Menkopolhukham, Mahfud MD sudah mengumumkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan karantina wilayah.

“Dengan adanya opsi baru ini, pemerintah kelihatannya belum siap untuk mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Sementara, masyarakat sedang menunggu kebijakan yang dianggap dapat memutus penyebaran virus corona di Indonesia,” urainya.

“Menurut saya, pilihan penerapan darurat sipil kurang tepat,” tegasnya.

Tidak tepatnya penerapan darurat sipil karena beberapa alasan. Pertama, dasar hukumnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Keadaan Bahaya.

“Dimana kelahiran Perppu itu sendiri lahir di masa revolusi sebagai respon terhadap situasi pada saat itu yang sifatnya sementara dan temporal,” jelasnya.

Kedua, Perppu itu lahir sebelum diberlakukannya otonomi daerah. Karena itu, jika Perppu itu diterapkan, belum tentu sesuai dengan situasi dan sistem politik yang ada saat ini.

Ketiga, Perppu itu ditetapkan bilamana keamanan atau tertib hukum terancam. Salah satunya bisa diakibatkan oleh bencana alam. Sementara, bencana COVID-19 adalah bencana nasional non-alam.

“Selain itu, saat ini sudah ada BNPB dan gugus tugas yang bekerjasama dengan 33 kementerian,” lanjutnya.

Keempat, penggunaan darurat sipil juga bertentangan dengan asas hukum lex specialis derogat legi generalis atau hukum yang khusus dapat menyampingkan hukum yang umum. Sementara, Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi saat ini.

”Ini kan sama dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan alat darurat sipil. Jadi darurat sipil dipakai sebagai alat untuk menjalankan pembatasan sosial berskala besar. Daripada pakai darurat sipil, pemerintah mestinya menetapkan darurat kesehatan masyarakat sebagaimana amanat pasal 10 ayat 1 Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan,” serunya.

“Saya bukan ahli hukum. Tetapi itu bisa ditanyakan dan diskusikan dengan mereka yang lebih paham. Ini penting diingatkan sebagai bentuk kehati-hatian dalam pengambilan payung hukum,” pungkasnya.

 

 

Sumber: http://m.rri.co.id

Related Posts