Berita

Kepala Negara Termuda di Dunia I

Serial I: Raja Bhutan

Jigme Khesar NW

Jigme Khesar Namgyel Wangchuck, sebagian orang memanggilnya Khesar, adalah kepala negara termuda di dunia. Ia lahir pada tanggal 21 Februari 1980. Ia adalah anak tertua dari Raja Jigme Singye Wangchuck. Ia memiliki dua saudara seibu, satu laki-laki dan satu lagi perempuan.  Ibunya bernama Ratu Ashi Tshering Yangdon. Selain Ratu Yangdon, ayahnya menikah dengan empat orang wanita. Uniknya, kesemua wanita yang dinikahi ayahnya  adalah saudara sekandung. Dari ibunya yang lain, Khesar memiliki tiga saudara lelaki dan empat saudara perempuan.

Sejak kecil, dia telah dinominasikan ayahnya sebagai penerus tampuk pimpinan kerajaan. Tidak heran bila kemudian Singye mengirimnya belajar ke sekolah-sekolah favorit di luar negeri. Ia pernah belajar di the Cushing Academy dan Wheaton College di Massachusetts, Amerika Serikat. Setelah itu, ia belajar di Magdalen College, Universitas Oxford, Inggris. Di universitas terakhir ini, ia meraih gelar master dalam bidang ilmu politik.

Selama menempuh pendidikan, ia juga sering diutus mewakili negaranya dalam forum-forum international. Dalam forum-forum tersebut, Khesar selalu aktif berbicara dan menyampaikan ide dan gagasannya. Ia tidak canggung berbicara mengenai pendidikan, budaya, bahkan ekonomi. Pendidikan formal dan informal inilah kemudian yang menyebabkan ia cepat dewasa dalam melihat realitas sosial politik di negaranya.

Pada tanggal 14 Desember 2006 Raja Raja Jigme Singye Wangchuck mengumumkan bahwa ia telah menyerahkan takhtanya kepada Khesar. Namun demikian, ia resmi dinobatkan menjadi raja Bhutan pada 6 November 2008.  Ketika itu, ia baru genap berusia 28 tahun.

Khesar dikenal orang yang sangat dekat dengan rakyat biasa. Tidak heran bila kemudian dia memilih menikah dengan seorang gadis biasa, Jetsun Pema. Pernikahan mereka dilaksanakan tanggal 13 Oktober 2011. Bersama Jetsun, Khesar selalu rajin untuk mendatangi rakyat kecil. Banyak laporan menyebutkan bahwa ia lebih lama menghabiskan waktunya untuk mengunjungi daerah terpencil  di pelosok-pelosok kerajaan Bhutan.

Sesaat setelah penobatannya menjadi raja, program pertama yang ia lakukan adalah menyelesaikan masalah pertanahan di negaranya. Ia membentuk suatu lembaga khusus pertanahan yang disebut the National Cadastral Resurvey. Lembaga ini dibentuk pada tahun 2007. Meski lembaga ini relatif baru, namun ia berhasil menyelesaikan berbagai macam persoalan dan sengketa pertanahan yang selama ini meresahkan rakyat Bhutan.

Selain itu, salah satu prestasi yang dinilai paling penting dalam karirnya sebagai raja adalah merubah kerajaan Bhutan dari Monarkhi menuju demokrasi. Untuk melakukan rencana itu, ia tidak pernah lelah untuk mensosialisasikan konsep negara demokrasi kepada warganya. Dan pada bulan Juni 2008, kerajaan Bhutan melakukan referendum sebagai langkah awal untuk mengubah konstitusi negeri itu. Melalui perubahan konstitusi, kerajaan Bhutan akhirnya berubah menjadi negara demokrasi parlementer. Ia selalu menegaskan bahwa salah satu tugasnya sebagai raja adalah untuk memastikan suksesnya pembangunan demokrasi di negaranya. Mengenai tugas tersebut, dia menyatakan, “As King, henceforth, it is my sacred duty to ensure the success of our new democracy so that it will serve to fulfil the aspirations of our people always.

Ternyata, keberhasilan seseorang untuk memimpin sebuah negara tidak bisa diukur secara kuantitatif melalui usia. Anak muda pun, ternyata mampu memimpin bila diberi kesempatan. Sudah saatnya hitung-hitungan kuantitatif diganti dengan kalkulasi kualitatif. Bagaimana dengan Indonesia? Masihkah kita berdebat soal tua-muda?

Sumber: Disarikan dari berbagai sumber.

 

 

 

Related Posts