Berita

Regulator dan Operator Haji Perlu Dipisah

Rabu, 02 Januari 2013

JAKARTA – Komisi VIII DPR RI yang membidangi masalah agama, anak, perempuan, dan bidang sosial, menyarankan agar pemerintah melakukan revitalisasi atas pengelolaan dan pelaksanaan ibadah haji. Hasil evaluasi Komisi VIII mencatatkan masih banyak keluhan atas pelayanan ibadah haji yang dilakukan oleh pemerintah.

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi VIII, Gondo Radityo Gambiro, di Jakarta, Selasa (1/1). Menurut Radityo, perlu ada pembenahan dalam urusan haji yang dijalankan pemerintah. Bahkan, perlu dilakukan perubahan atau revitalisasi atas beberapa hal menyangkut layanan haji. "Urusan haji dan umrah adalah salah satu urusan yang sangat penting di Indonesia," kata Radityo.

Seperti diketahui, kata dia, Kementerian Agama (Kemenag), dalam urusan haji dan umrah, memunyai dua peran sekaligus, yakni sebagai regulator dan operator. Namun, dua peran yang dijalankan sekaligus oleh Kemenag tak optimal. Jemaah haji masih banyak yang mengeluhkan tidak maksimalnya layanan haji dari Kemenag. "Pelayanan dari tahun ke tahun tetap menimbulkan masalah dan ketidakpuasan. Jadi dua peran itu belum optimal," ujarnya.

Dia pun mengusulkan pemisahan fungsi regulator dan operator yang selama ini dijalankan oleh Kemenag. Salah satu solusi alternatif dari pemisahan dua fungsi itu adalah dibentuknya Badan Haji yang akan menjalankan fungsi sebagai operator dan Kemenag hanya berfungsi sebagai regulator. "Perlu dibentuk Badan Haji sebagai operator," ujar Gondo.

Radityo menambahkan pengadaan sistem komputerisasi haji terpadu juga belum bisa mendorong efesiensi layanan haji sehingga manfaat Siskohat tak maksimal dan diduga terjadi inefisiensi penggunaan APBN.

Pemerhati haji, Saleh Daulay, juga setuju bila fungsi regulator dan operator layanan haji dipisah karena dia melihat pelaksanaan layanan haji dari tahun ke tahun masih seperti biasa, tak ada prestasi pelayanan Kemenag yang bisa dibanggakan. "Klaim Kemenag yang mengatakan bahwa haji sukses, saya kira hanya klaim sepihak," kata dia.

Saleh pun menggagas perlunya jajak pendapat untuk mengetahui tingkat kepuasaan para jemaah haji Indonesia atau digelar semacam survei pada jemaah haji, seperti survei politik. "Saya kira jajak pendapat kepada jamaah haji akan sangat valid, terutama bagi mereka yang baru saja pulang. Di samping masih segar dalam ingatan mereka, pengalaman-pengalaman tersebut akan diungkapkan secara jujur dan apa adanya," ujar dia.

Menurutnya, hal ini sangat penting dilakukan karena biaya para jemaah haji yang cukup tinggi dan tak sebanding dengan pelayanan yang mereka terima. Melalui jajak pendapat setidaknya ada penilaian objektif terhadap kerja Kemenag dalam mengelola haji. "Munculnya klaim keberhasilan sepihak dari Kemenag dalam pengelolaan haji adalah salah satu faktor negatif dari posisi Kemenag yang menjadi regulator sekaligus operator," kata Saleh yang juga Ketua Pemuda Muhammadiyah itu.

Sebagai regulator dan operator, kata Saleh, Kemenag tentu bisa menilai apa yang lakukannya secara sendiri. Karena itu, penilaian mereka selama ini selalu saja berdasarkan penilaian subjektif dan dari sudut pandang subjektif pula. "Saya setuju dengan usulan banyak pihak agar antara regulator dan operator dipisahkan," ujar dia.

"Check and Balances"

Dengan demikian, kata dia, ada mekanisme check and balances antara pihak penyelenggara haji dan pengawasnya. Saleh sepakat dengan usulan Komisi VIII bahwa Kemenag hanya menjadi regulator, sementara operatornya ditunjuk lembaga independen di luar Kemenag. "Bisa saja dibentuk lembaga baru semacam Badan Penyelenggara Haji Nasional, seperti halnya BNP2TKI yang dipisahkan dari Kemankertrans," ujar dia.

Bahkan, dalam konteks ini, Saleh memandang keberadaan badan haji posisinya justru sangat penting karena harus mengurusi seluruh persoalan jemaah haji yang saat ini mencapai 240 ribu orang per tahun. "Saya setuju dipisahkan dan dibentuk satu badan khusus urusan haji," kata dia. ags/N-1

Sumber: http://m.koran-jakarta.com/index.php?id=109366&mode_beritadetail=1

Related Posts