Kunjungan

Suka Duka Belajar di Negeri Orang (3)

Saya yakin, setiap mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri, khususnya yang belajar di negara yang berbahasa selain bahasa Indonesia akan menemui kesulitan pada saat pertama sekali mengikuti perkuliahan. Begitu juga dengan saya. Meskipun saya telah menyelesaikan kuliah S2 di dua universitas negeri di Indonesia, kesulitan itu tetap saja sangat terasa. Apalagi, jurusan yang saya ambil adalah jurusan filsafat.
 

Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, pelajaran filsafat tidaklah seperti pelajaran lain yang memahaminya hanya sebatas memahami teks dan konteks. Dalam belajar filsafat, selain memahami teks dan konteks dengan baik, seseorang juga dituntut untuk memahami pemikiran dan latar belakang seorang filosof ketika menguraikan pemikirannya. Kadang-kadang, apa yang kita pahami di dalam teks ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pemikiran sang filosof. Apalagi dalam banyak kasus, antara satu filosof dengan filosof lain memiliki sudut pandang dan argumen sendiri-sendiri dalam membicarakan sesuatu.

Sebagai contoh, dalam filsafat politik dikenal sebuah aliran yang bernama contractarianism. Secara singkat, contractarianism adalah aliran dalam filsafat politik yang menguraikan teori asal-usul negara melalui apa yang disebut dengan kontrak sosial. Dalam kontrak sosial dikenal dua elemen fundamental yaitu 1) karakteristik situasi awal masyarakat, dan 2) karekteristik masing-masing pihak yang terlibat dalam kontrak sosial itu.

Bagi pemula, untuk memahami elemen pertama saja perlu refleksi dan perenungan. Disamping istilah yang digunakan oleh masing-masing filosof berbeda, pengertian dan pemahaman mereka tentang situasi awal itu juga berbeda-beda. Bila membaca literatur terkait, maka kita akan menemukan istilah yang bermacam-macam. Secara umum, istilah ini dikenal dengan "the state of nature". Tetapi, oleh filosof seperti John Rawls menggunakan istilah "original position", sementara filosof sesudahnya, David Gauthier, menggunakan istilah "initial bargaining position". Kalau kita membuka kamus, maka kata original dan initial akan memiliki arti yang sangat mirip dan berdekatan yaitu "awal atau permulaan".

Namun, pemilihan kata tersebut oleh masing-masing filosof memiliki makna tersendiri. Lebih dari itu, untuk memahami masing-masing pemikiran mereka, seseorang yang mendalaminya diharuskan untuk membaca kembali pemikiran para filosof sebelum mereka yang telah lebih dahulu membahasnya. Untuk kasus ini, ada beberapa filosof seperti Thomas Hobbes, JJ. Rousseau, John Locke, dan lain-lain yang telah menguraikan persoalan ini dalam teori politik mereka. Di situlah letaknya mengapa belajar filsafat perlu keseriusan baik untuk membaca maupun untuk merenungkan tentang apa yang dibaca.

Oleh karena itu, tidak mengherankan bila jarang mahasiswa yang berminat untuk mendalami filsafat. Di samping sulit dan kadang dianggap "mengawang-ngawang" serta tidak membumi, jurusan filsafat juga tidak menjanjikan masa depan yang baik, khususnya bila dikaitkan dengan lapangan kerja setelah selesai kuliah. Banyak mahasiswa-mahasiswa international yang bertanya mengapa saya mengambil jurusan filsafat, bukan jurusan lain seperti ekonomi, ilmu politik atau bahasa inggris. Agak sulit memang menjelaskannya. Tetapi, bagi orang-orang yang menyenangi filsafat, teologi, dan mistisisme akan lebih mudah dan bahkan kadang tidak perlu dijelaskan. Mereka bisa saja mengatakan bahwa realitas hanya bisa diketahui sejauh itu ada dalam pikiran manusia. Bagi para filosof dan juga peminat filsafat bahkan mengklaim bahwa peradaban manusia sangat ditentukan oleh filsafat yang hidup di tengah-tengah masyarakat pendukungnya.

Di kelas saya, ketika itu, terdapat 12 orang mahasiswa pascasarjana jurusan filsafat. Dari ke-12 orang itu, ternyata hanya saya sendiri yang tercatat sebagai mahasiswa international. Itu artinya, semua orang yang belajar di kelas saya adalah asli "bule" Amerika yang  ketika mereka bermimpi selalu berbahasa Inggris. Beda dengan saya, andaikata saya bermimpi maka bahasa yang saya pergunakan biasanya adalah bahasa Indonesia. Bahkan dalam situasi tertentu terkadang juga masih menggunakan bahasa Mandailing (he he he).

Apa penting punya teman mahasiswa international? Jawabannya, bagi mahasiswa yang baru pertama belajar di Amerika, saya kira sangat penting. Setidaknya untuk menjadi teman berdiskusi bilamana ada hal-hal penting yang kurang dipahami. Sebagai contoh, bila dosen memberi tugas, lalu semua mahasiswa di kelas tidak ada yang bertanya dan kelihatan semua sudah mengerti, padahal kita belum mengerti sama sekali, maka terpaksalah kita akan bertanya sendiri. Kalau satu atau dua kali, itu mungkin tidak jadi soal. Tetapi bila selalu bertanya maka rasanya tentu sangat tidak enak apalagi bertanyanya dengan menggunakan bahasa Inggris yang masih pas-pasan. Nah, kalau ada teman "senasib" tentu bisa berbagi tugas. Ini hanyalah contoh kecil saja. Masih banyak hal-hal lain yang mungkin lebih penting dari itu.

Setelah berkenalan dengan kawan-kawan sekelas, saya mengetahui bahwa mereka datang dari berbagai negara bagian. Praktis, mereka juga belum saling mengenal. Rata-rata mahasiswa itu mendapat beasiswa belajar dari CSU. Mereka tidak perlu membayar SPP dan juga diberikan living allowence (biaya hidup) setiap bulan. Tetapi, semua itu tidak gratis. Mereka mempunyai kewajiban untuk menjadi asisten dosen yang mengajar di kelas S1. Tugas mereka adalah mendampingi sang dosen ketika mengajar, memberikan quiz, mengoreksi quiz, lembar jawaban, dan sewaktu-waktu membantu mahasiswa-mahasiswa yang belum memahami suatu topik yang diajarkan oleh dosen di kelas. Mereka punya ruang dan jam kerja sendiri-sendiri. Bila pas waktu jam kerja, mereka tidak boleh absen dan harus hadir di ruang kerjanya untuk melayani mahasiswa yang mengalami kesulitan menguasai suatu pelajaran tertentu.

Ada satu dua orang yang belajar di sana atas biaya sendiri. Salah seorang di antaranya adalah Win Staples, seorang pensiunan tentara yang berminat untuk belajar filsafat, khususnya environmental philosophy. Meskipun dia seorang pensiunan tentara, bukan berarti Win sudah tua. Kelihatannya dia masih berusia antara 40-42 tahun. Pensiunan tentara di Amerika tidak seperti di Indonesia. Di sana, seseorang dapat pensiun setelah masa kontrak yang ditandatanganinya habis. Karena itu, orang-orang yang pernah bergabung di militer tidak dituntut untuk bekerja sampai pensiun seperti di Indonesia. Orang bekerja di militer tergantung dengan masa kontrak yang dibuat sebelum dia resmi bergabung. Dengan demikian, ada saja orang yang hanya ikut selama 5 tahun, 7 tahun, dan lain-lain.

Selain mendapat tunjangan, kata Win, pensiunan tentara juga diberikan beberapa fasilitas lain. Salah satunya adalah diberi kesempatan belajar dengan berbagai kemudahan. Win menggunakan kesempatan itu. Ia memilih CSU karena kampus ini terkenal dengan pusat etika dan filsafat lingkungan (environmental ethics and environmental philosophy). Meski dengan berbagai fasilitas itu, herannya sangat sedikit orang AS yang senang bergabung dengan militer. Iklan penerimaan anggota baru terdapat dimana-mana. Bahkan ketika saya pergi ke bioskop, saya kerap menonton iklan-iklan angkatan bersenjata AS dan ajakan untuk bergabung.

Win adalah seorang teman yang sangat baik. Meskipun dia sangat pendiam, tetapi dia sangat enak diajak bicara dan berbagi cerita tentang berbagai hal. Setelah beberapa minggu, saya kemudian mengetahui bahwa dia hidup sendiri tanpa keluarga. Katanya, dia hanya punya seorang saudari perempuan yang tinggal bersama ibunya nun jauh di Alaska. Sejak dia bergabung dan pensiun dari militer, baru dua kali dia bertemu dengan ibu dan saudaranya. Selebihnya, dia hidup sendiri dengan berpindah-pindah dari satu negara bagian ke negara bagian lain.

Win sangat banyak membantu saya terutama untuk beradaptasi dengan kehidupan sehari-hari masyarakat AS. Bila ada hal yang menurut saya agak aneh (atau setidaknya berbeda dengan budaya Indonesia), maka saya tidak segan-segan untuk bertanya. Dia selalu dengan senang hati menjawab dengan panjang lebar. Betul-betul tipikal seorang pensiunan yang kalau diajak bicara selalu melebihi batas kuota waktu yang tersedia (he he he). Satu hal yang saya catat dari dia adalah bahwa dia sangat benci dengan komunisme dan sosialisme. Katanya, dalam masyarakat sosialis tidak ada kompetisi sehingga orang bodoh dan malas sekalipun dapat hidup layak sebagaimana orang-orang pintar dan pekerja keras. Dia mengatakan bahwa masyarakat sosialis adalah masyarakat yang tidak adil karena tidak memperlakukan masing-masing anggota masyarakat sesuai dengan kerja kerasnya. Pemikiran dia tentang sosialisme ini selalu saja diulang di beberapa kali kesempatan.

Bersambung…
 

 

Related Posts