BeritaHot IssueNasional

Terlalu Birokratis, Permenkes 9/2020 Tentang PSBB Dinilai Kurang Efektif

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akhirnya merilis Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 yang merupakan aturan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Menanggapi hal itu, Anggota Komisi IX DPR RI Sapeh Partaonan Daulay mengatakan, dirinya tidak melihat ada aturan yang lebih progressif dalam Permenkes tersebut dalam menunjang tugas-tugas penanggulangan virus corona (COVID-19). Menurutnya, isi Permenkes ini lebih pada peneguhan peran Menkes dalam penentuan PSBB. Selain itu, ada juga aturan prosedur dan birokrasi penetapan PSBB yang lebih spesifik.

“Setelah membaca semua pasal-pasalnya, saya berkesimpulan bahwa Permenkes ini tidak efektif dalam mengatur kerja-kerja besar perang melawan Corona. Ketentuan yang ada di dalamnya tidak begitu jauh berbeda dengan apa yang ada di Peraturan Pemerintahnya. Yang baru hanya mendetailkan prosedur pengajuan PSBB oleh kepala daerah,” kata Saleh dalam keterangan yang diterima telusur.co.id, Minggu (5/4/20).

Selain itu, kata Saleh, Permenkes ini terkesan sangat birokratis. Misalnya, tata cara penetapan PSBB pada bagian ketiga Permenkes harus melalui tahapan yang panjang. Dalam penetapan itu, menteri harus membentuk tim melakukan kajian epidemologis, kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.

Pelaksanaan kajian itu juga harus berkoordinasi dengan gugus tugas percepatan penanganan covid-19. Belum selesai di situ, tim kajian ditugaskan untuk memberikan rekomendasi kepada menteri.

“Sepintas, prosedur biroraktif seperti itu sangat baik. Tetapi karena panjangnya alur birokrasi, dikhawatirkan akan memperlambat tugas dalam penanganan COVID-19. Sementara, sebagaimana kita ketahui bersama, penyebaran virus ini berlangsung cukup cepat. Tidak menunggu proses birokrasi dan hasil-hasil kajian seperti yang diurai dalam permenkes itu,” ungkap Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI itu.

Di samping itu, lanjut dia, penetapan PSBB atas usulan kepala daerah dinilai terkendala dengan data dan kriteria yang cukup banyak. Pada pasal 4, misalnya, disebutkan bahwa permohonan PSBB oleh kepala daerah harus menyertakan data peningkatan jumlah kasus disertai kurva epidemologi, data peta penyebaran menurut waktu, data penyeledikan epidomologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.

“Soal kurva epidemologi, memang sekarang ini sudah ada? Seperti apa kurva tersebut? Yang berhak membuatnya siapa? Begitu juga dengan peta penyebarannya. Seperti apa peta penyebaran yang dimaksud? Sejauh ini pemerintah belum pernah merilis secara resmi peta penyebaran. Yang ada hanya penambahan jumlah yang positif dan meninggal saja,” urai Saleh.

Kalau di pusat saja hal itu sulit dikerjakan, Saleh mengaku khawatir, ini malah akan menyulitkan dalam proses penerapan PSBB di daerah.

“Justru saya melihat bahwa prosedur penetapan PSBB jauh lebih mudah jika diajukan oleh Gugus Tugas. Tidak seperti kepala daerah, pengajuan oleh gugus tugas tidak perlu menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, serta keamanan. Dalam Permenkes, itu menjadi tugas dari kepala daerah,” paparnya.

Dan yang lebih penting, tambah dia, baik di dalam Peraturan Pemerintah No. 21/2020 maupun di dalam Permenkes No. 9/2020 ini tidak ditemukan sanksi bagi yang melanggar. Itu artinya, penetapan PSBB dengan serentetan birokrasinya boleh saja tidak ditaati. Dan ketidaktaatan itu sebenarnya sudah terjadi dan dapat dilihat di tengah masyarakat.

“Saya khawatir, Peraturan Pemerintah dan Permenkes PSBB ini hanya akan menjadi dokumen kearifan. Dokumen kearifan yang berada di tempat yang tinggi tetapi tidak terimplementasi di bumi,” tandasnya.

 

Sumber: https://telusur.co.id

Related Posts