Kunjungan

Suka Duka Belajar di Negeri Orang (1)

Setelah mengikuti program pendalaman bahasa dan budaya selama beberapa bulan di UI Salemba, akhirnya saya menerima kabar bahwa saya diterima di Jurusan Filsafat, Colorado State University. Kalau tidak salah, ada tiga universitas yang dimasukkan aplikasi waktu itu. Dari ketiga universitas itu, CSU yang pertama sekali memberikan jawaban. Bahkan, dari 35 orang cohort V (angkatan ke-5) penerima beasiswa Ford Foundation – International Fellowship Program, saya termasuk salah seorang yang lebih duluan menerima letter of acceptance.

Meskipun sudah diterima, perasaan saya ketika itu belum begitu tenang. Ada beberapa masalah yang mengganggu pikiran. Pertama, terus terang saya belum tahu banyak tentang Colorado, khususnya kota Fort Collins tempat saya nanti akan menimba ilmu. Selain itu, saya tidak memiliki satu orang kenalan pun di sana. Saya hanya mengenal CSU lewat browsing internet dan mempelajari sedikit tentang keadaan kampus dan beberapa mata kuliah yang mungkin akan saya pelajari di sana.

Kedua, saya mendapat informasi dari pengelola beasiswa bahwa selama semester pertama, setiap penerima beasiswa tidak diperbolehkan membawa anak dan isteri. Katanya, semester pertama adalah batu ujian apakah kita sanggup belajar dengan baik di sana atau tidak. Oleh karena itu, jika mau membawa anak isteri, maka semester pertama harus mendapat nilai yang bagus. Dan itupun, beasiswa tidak mengcover kebutuhan hidup anggota keluarga selama di sana. Dengan demikian, saya harus meninggalkan anak saya yang belum genap berumur 4 tahun selama kurang lebih enam bulan.

Ketiga, saya sudah membayangkan betapa beratnya belajar filsafat dengan menggunakan bahasa Inggris. Dalam benak saya, belajar filsafat dalam bahasa Indonesia saja pun beratnya minta ampun, bagaimana pula nanti kalau bahasa pengantar dan buku referensi semua dalam bahasa Inggris. Tentu ini merupakan tantangan tersendiri yang membuat pikiran kurang begitu nyaman.

Meskipun diliputi oleh kegelisahan, yang menurut saya cukup beralasan itu, akhirnya saya bulatkan tekad untuk berangkat. Sekitar bulan Juli 2007, persisnya dua minggu sepulang dari Norwegia, saya berangkat ke AS. Modal yang saya bawa waktu itu adalah nama seorang mahasiswa asal Afrika Selatan, Siphelo Ngcwangu. Jangankan untuk menghapal namanya, menyebut dan mengeja nama itu saja saya butuh konsentrasi dua hari (he he he). Dia adalah penerima beasiswa yang sama. Selain alamat email, saya juga diberi nomor telp yang bisa dihubungi.Rasanya sangat tidak nyaman bila memang harus menghubungi orang yang belum pernah bertemu dan belum kenal sama sekali.

Akhirnya, saya mencoba mencari informasi tentang mahasiswa Indonesia yang belajar di CSU. Agak sulit mencarinya karena Permias (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di AS) ternyata tidak aktif. Tidak habis akal, saya mencoba mencari informasi melalui mailing list-mailing list masyarakat Indonesia di Denver atau Fort Collins. Syukur, saya menemukan satu. Setelah subscribe, saya mencoba mengirim email ke group itu. Saya menanyakan apakah di antara members group itu ada yang mengenal mahasiswa CSU yang berasal dari Indonesia? Alhamdulillah, saya mendapat nama seorang mahasiswa S3 dari ITB, mas Aris Indriyatno. Dengan berbekal alamat email yang juga diberikan, saya memberanikan diri untuk mengirim email. Mas Aris yang baik itu pun bersedia menjemput saya di bandara sesuai dengan jadwal penerbangan yang sebelumnya telah saya kirimkan.

Setelah menempuh perjalanan dari Denver International Airport selama kurang lebih 2 jam, akhirnya sampai juga ke Fort Collins, tempat kampus CSU berdiri megah. Oleh karena belum bisa masuk ke apartment yang telah saya booking dari Indonesia, maka dengan berat hati harus menginap di apartment mas Aris. Malam pertama di AS "numpang" di apartment mas Aris dan mbak Emma, isterinya. Saya tidak tahu berapa lama saya tertidur. Seingat saya, ketika saya tidur sudah lewat sholat isya. Dan ketika saya dibangunkan mas Aris, saya berpikir baru tidur beberapa jam sebab kelihatannya hari masih gelap. Suasananya tidak jauh beda ketika saya tidur tadi.

Mas Aris dan mbak Emma mengajak saya makan di restoran Thailand. Katanya, biar masakannya agak sama dengan di Indonesia. Sebagai tamu, saya dengan senang hati menyambut ajakan itu. Setelah duduk di restoran itu, kami mulai bercerita ke sana kemari. Saat itu, mas Aris mengatakan bahwa ia sempat khawatir karena saya ternyata sudah tidur lebih dari 12 jam. Dia takut terjadi apa-apa. Itulah, sebabnya dia memberanikan diri membangunkan saya. Saya baru sadar bahwa ternyata pada saat itu saya sudah memasuki malam kedua di Fort Collins. Oleh karena semua perkantoran telah tutup, maka dengan berat hati lagi, saya terpaksa harus menginap di rumah mereka. Kali ini, saya memakai alarm agar tidak terlanjur tidur lagi seperti hari sebelumnya.

Bersambung…

Related Posts