Sabtu, 08 September 2012 12:27 WIB
JAKARTA–MICOM: Munculnya teroris-teroris baru dinilai karena penanganan yang dilakukan pemerintah dalam hal ini Detasemen Khusus 88 Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tidak tepat sasaran dan sembarangan.
Penanganan yang sembarangan dan tidak tepat sasaran itu mengakibatkan dendam sehingga muncul bibit teroris dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat.
"Aksi-aksi teror saat ini semakin memprihatinkan. Dulu dikatakan sumbernya adalah soal kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan sosial. Tetapi yang sekarang itu muncul karena adanya keinginan balas dendam. Jadi motifnya balas dendam, mungkin saja ada dendam atas perlakuan polisi dalam penanganannya yang tidak benar, sembarangan," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Saleh Daulay dalam diskusi Polemik di Warung Daun bertajuk Teror Tak Kunjung Usai, Sabtu (8/9).
Saleh menguraikan teroris baru muncul karena polisi dinilai menyalahi prinsip-prinsip kemanusiaan. Hal ini memicu anggota keluarga hingga kolega dan sahabat sakit hati.
"Penanganan harus diingatkan perlunya pendekatan lain. Polisi katakan di sana tembak atau ditembak, permasalahannya kalau begitu berarti intelijen tidak mengetahui kekuatan teroris sehingga terjadi kontak senjata ketimbang pendekatan lain," terang Saleh.
Saleh juga mengritisi upaya deradikalisasi yang tengah dilakukan BNPT. Menurutnya upaya tersebut belum tepat sasaran sehingga muncul dendam, ia pun menilai BNPT gagal meredam dendam.
"Upaya-upaya mereka (BNPT) belum tepat, ibaratnya mau menangkap kucing justru tikus yang kena. Diagnosa salah kasih obat salah ya tidak manjur. Deradikalisasi itu belum menyentuh, dengan adanya teror baru salah satu buktinya, mati satu muncul lagi yang lain," timpal Saleh.
Juru Bicara Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) Son Hadi pun menuturkan hal yang sama. Penanganan polisi dalam penangkapan terduga teroris membuat dendam sehingga polisi menjadi sasaran dalam aksi terorisme. Selain itu, ia juga keberatan dengan kooptasi yang dilakukan pihak kepolisian terhadap terduga teroris.
"Dendam lebih ke Densus, dia main tembak begitu saja, ini yang menimbulkan dendam. Jangan gunakan stigma-stigma atau kooptasi, nantinya yang timbul juga justru dendam, kan kalau ditembak nanti anaknya akan dendam," terang Son Hadi.
Peneliti Gerakan Islam Indonesia Edy Sudarjat menguatkan faktor dendam menjadi penyebab suburnya bibit teroris di Indonesia. Ia meminta pihak kepolisian dan BNPT mengevaluasi penanganan sehingga tidak menyuburkan dendam yang berujung aksi terorisme itu.
"Kemungkinan besar karena dia dendam, teroris mulanya serang orang asing kemudian serang polisi yang sama-sama Islam. Itu perlu dievaluasi, apa yang sebabkan target-target teroris ini berubah, apa karena penanggulangan atau yang lain," ucap Edy.
Direktur Perlindungan dan Deradikalisai BNPT Irfan Idris mengakui faktor dendam menguat berimbas pada bibit terorisme. Meski begitu, ia menolak jika dikatakan BNPT gagal dalam meredam bibit-bibit dendam itu.
"Dendam kepada polisi sudah kelihatan, makanya dilakukan reedukasi ke masyarakat. Deradikaliasasi jangan dikatakan tidak jalan dan tidak tuntas, tidak bisa langsung dilihat karen akami baru dua tahun usianya," kilah Irfan.
Irfan mengakui adanya penindakan keras dalam penanganan pelaku yang diduga teroris dengan melakukan tembak ditempat. Ia menyebut hal itu lantaran untuk melindungi petugas yang sedang menegakkan hukum.
"SOP yang ada dibagian penindakan, bukan melihat langsung tembak, bukan begitu. Hanya saja, dilapangan daripada tertembak lebih baik menembak," tutup Irfan. (Fid/OL-12)