Berita

Ini Lima Kebijakan Kontroversial Menteri Mohammad Nuh

Jum'at, 19 April 2013

RMOL. Selama menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh, seringkali mengeluarkan kebijakan yang kontroversial. Paling tidak, ada lima kebijakan M. Nuh yang menuai kontroversi tersebut.

Demikian catatan Ketua Bidang Luar Negeri dan Jurubicara Majelis Pengurus Pusat Asosiasi Dosen Indonesia (MPP ADI, Saleh Partaonan Daulay. Kepada redaksi beberapa saat lalu (Jumat, 19/4), Saleh merinci kebijakan kontroversial Nuh tersebut.

Pertama, kata Saleh, M. Nuh membuat kebijakan arogan dan otoriter dalam pemilihan rektor di universitas-universitas negeri. Dalam kebijakan itu, sebagai Mendikbud dia memiliki hak 35 persen suara. Artinya, walaupun sudah menang dalam pemilihan di senat universitas, kalau Mendikbud tidak setuju, dia bisa memberikan hak suara 35 persennya kepada kandidat lain yang kalah.

"Dalam kebijakan seperti ini, yang menentukan siapa yang layak jadi rektor adalah Mendikbud, bukan senat universitas," ungkap Saleh.

Kedua, beberapa waktu lalu, M. Nuh pernah menyakiti perasaan para aktivis perempuan. Kala itu, M. Nuh mengatakan bahwa kasus pemerkosaan yang menimpa salah seorang siswi bisa jadi atas dasar suka sama suka.

Ketiga, M. Nuh pernah merencanakan agar skripsi dan karya akademik lain dipublikasikan terlebih dahulu sebelum dibawa ke ujian akhir. Sementara, jurnal-jurnal ilmiah jumlahnya sangat terbatas.

"Lalu, kemana para mahasiswa menerbitkan karyanya? Kalau kebijakan itu diterapkan, dipastikan akan banyak mahasiswa yang tidak bisa menamatkan kuliahnya," jelas Saleh.

Kebijakan keempat M. Nuh yang kontroversial, lanjut Saleh, terkait dengan kebijakan pengetatan kenaikan pangkat dan memperoleh guru besar. Kebijakan itu sendiri bertentangan dengan kebijakan lain yang mengharuskan universitas untuk memperoleh akreditasi.

"Kalau dosen sulit naik pangkat dan memperoleh guru besar, bagaimana menaikkan akreditasi. Bukankah salah satu hal penting yang dinilai dalam akreditasi itu adalah kuantitas dan kualitas dosennya?" kata Saleh.

Sementara kebijakan kontroversial M. Nuh yang lelima, masih kata Saleh, terkait dengan kebijakan untuk membuat diversifikasi soal UN. Saat ini, naskah soal UN terdiri dari 30 jenis variasi soal. Selain membutuhkan biaya dan tenaga yang lebih banyak, mencetak dan mendistribusikan ketigapuluh variasi soal itu tentu sangat rumit.

"Itulah kemungkinan yang menyebabkan mengapa ada keterlambatan pencetakan dan pendistribusian naskah soal," demikian Saleh. [ysa]

Sumber: rmol.co

Related Posts