Berita

Kuota 30 Persen Perempuan Diminta Dikaji Ulang

Juni, 25 2013

Jakarta — Pengamat Politik dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Saleh Daulay meminta agar efektivitas pemenuhan kuota 30 persen perempuan dalam proses pencalegan dikaji ulang. Ada beberapa isu yang perlu dipertimbangkan berkenaan dengan itu.

Penetapan kuota 30 persen itu, kata Saleh, membuat demokrasi Indonesia menjadi lebih liberal dibandingkan dengan di negara-negara tempat kelahiran demokrasi. "Liberalisasi di sini dimaknai sebagai proses pemaksaan partisipasi perempuan dalam politik," katanya, di Jakarta, Selasa, (25/6).
 
Sementara, Saleh menerangkan, aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia itu berbeda. Tidak semua perempuan tertarik dengan dunia politik. Banyak yang lebih tertarik mengurusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya.

"Di negara-negara maju saja tidak diterapkan aturan seperti itu, apa untungnya harus dibuat aturan seperti itu di Indonesia? Apalagi, selama ini semua orang di Indonesia memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam penyaluran aspirasi politik, tanpa memandang jenis kelaminnya. Kuota seperti ini menjadi penting, jika misalnya, ada aturan yang membatasi partisipasi perempuan," kata Saleh menerangkan.

Kewajiban parpol untuk memenuhi kuota 30 persen itu tidak sejalan dengan dengan kuota 30 persen untuk penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan lain-lain. Padahal, para penyelenggara ini juga adalah elemen penting dalam proses penyelenggaraan demokrasi kita.

"Kalau perempuan bisa diberi 30 persen dalam proses pencalegan, lalu mengapa tidak diberikan kuota 30 persen juga untuk para penyelenggaranya," ujar Saleh seraya bertanya.

Menurut Saleh, tidak ada jaminan dengan menetapkan kuota 30 persen, maka hasil dari pemilu akan menghasilkan 30 persen anggota legislatif perempuan. Hanya perempuan-perempuan yang memiliki jiwa dan naluri politik yang bisa lolos.

Kuota perempuan itu, ujar Saleh, sifatnya formalitas, bukan substansial. Dengan aturan itu, banyak parpol yang hanya sekadar merekrut caleg perempuan agar daftar calegnya lolos. "Persoalan perempuan yang direkrut itu serius atau tidak, kelihatannya belum jadi perhatian utama," ujarnya.

Aturan kuota 30 persen, Saleh menerangkan, malah melanggar hak-hak politik orang lain. Jika ternyata di dalam satu dapil ada yang tidak cukup kuota perempuannya, maka seluruh caleg di dapil itu digugurkan.

Aturan ini, kata Saleh, secara faktual telah mengebiri hak-hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih dalam proses demokrasi yang ada. Hanya karena kuota perempuan, muncul ketidakadilan pada yang lain.

Padahal, Saleh melanjutkan, substansi demokrasi itu bukanlah jenis kelamin, tetapi lebih pada bagaimana membumikan nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat. "Kalau prosesnya saja dinilai sudah tidak adil, lalu apalagi yang diharapkan dari hasilnya?" katanya.

Pemberian kuota 30 persen itu, ujar Saleh, seakan menimbulkan kesan kalau perempuan tidak berdaya secara politik maka harus diberi kuota. Padahal, dalam sejarah politik nasional dan internasional, banyak tokoh politisi perempuan yang cukup tangguh yang tampil menjadi pemimpin tanpa ada kuota.

sumber : republika

Related Posts