BeritaHot IssueNasional

Penerapan Darurat Sipil Hadapi COVID-19 Dinilai Kurang Tepat

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay menilai, sejauh ini kebijakan pemerintah masih belum mampu mengendalikan kecepatan penyebaran virus Corona. Terbukti, jumlah warga negara yang terpapar semakin banyak. Begitu juga, jumlah yang meninggal dunia dilaporkan semakin bertambah.

Melihat kondisi itu, kata Saleh, sebaiknya pemerintah sudah lebih tepat memilih opsi karantina wilayah. Dengan karantina wilayah, warga masyarakat bisa diatur agar lebih taat dan tertib. Itu adalah kunci dari keberhasilan social dan physical distancing.

“Saya tidak mengetahui apa alasan pemerintah tetap memberlakukan pembatasan sosial dalam skala besar. Kelihatannya, darurat sipil itu diperlukan hanya untuk mendukung kebijakan pembatasan sosial berskala besar itu. Saya khawatir, darurat sipil ini pun tidak begitu membantu,” kata Saleh dalam keterangannya, Senin (30/3/20).

Darurat Sipil sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya diyakini tidak begitu tegas. Sebab, pimpinan operasi masih ditangani oleh sipil. Dan darurat sipil dipergunakan kemungkinan karena pemerintah menganggap bahwa keadaan darurat yang ada skalanya masih rendah. Karena itu, darurat sipil dikombinasikan dengan pembatasan sosial berskala besar.

Menurut Saleh, karantina wilayah sepertinya bukan mejadi opsi utama pemerintah. Sebab, karantina wilayah membutuhkan banyak biaya. Termasuk untuk membiayai kebutuan pokok masyarakat yang terdampak akibat kebijakan tersebut. Dan itu nilainya tentu tidak sedikit. Belum lagi, dampak sosial ekonomi yang mengiringinya.

Wakil Ketua Fraksi PAN DPR RI ini menjelaskan, jika karantina wilayah yang diberlakukan, konsekuensinya akan banyak perusahaan dan tenaga kerja yang berhenti beroperasi. Dampak sosial ekonominya tentu tidak sedikit. Dia menilai, belum tentu semua pihak siap menerimanya.

“Menurut saya, pemerintah harus memikirkan ulang pilihan-pilihan kebijakan yang akan diambil. Kalaupun mau menerapkan darurat sipil, katanya masih memerlukan aturan tambahan lainnya. Ini tentu akan memakan waktu yang lebih lama lagi,” terang Saleh.

Saleh mengaku heran, kenapa tiba-tiba opsi ini muncul. Pasalnya, kemarin Menkopolhukham sudah mengumumkan bahwa pemerintah sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan karantina wilayah.

“Dengan adanya opsi baru ini, pemerintah kelihatannya belum siap untuk mengambil keputusan yang cepat dan tegas. Sementara, masyarakat sedang menunggu kebijakan yang dianggap dapat memutus penyebaran virus corona di Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, pilihan penerapan darurat sipil kurang tepat. Ada beberapa alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, dasar hukumnya adalah Perppu tentang keadaan bahaya dimana kelahiran Perppu itu sendiri lahir di masa revolusi sebagai respon terhadap situasi pada saat itu yang sifatnya sementara dan temporal. Kedua, Perppu itu lahir sebelum diberlakukannya otonomi daerah.

“Karena itu, jika Perppu itu diterapkan, belum tentu sesuai dengan situasi dan sistem politik yang ada saat ini,” ujarnya.

Ketiga, lanjut dia, Perppu itu ditetapkan bilamana keamanan atau tertib hukum terancam. Salah satunya bisa diakibatkan oleh bencana alam. Sementara, bencana yang dihadapi saat ini adalah bencana non-alam. Selain itu, saat ini sudah ada BNPB dan gugus tugas yang bekerjasama dengan 33 kementerian/lembaga yang ditugaskan untuk mengatasinya. Dan payung hukum mereka untuk bekerja sudah ada di dalam beberapa undang-undang terkait.

Keempat, penggunaan darurat sipil juga bertentangan dengan asas hukum Lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus dapat menyampingkan hukum yang umum). Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan lebih khusus membahas tentang kesehatan dan lebih sesuai dengan bencana yang dihadapi saat ini.

”Ini kan sama dengan melakukan pembatasan sosial berskala besar dengan alat ‘darurat sipil’. Jadi darurat sipil dipakai sebagai alat untuk menjalankan pembatasan sosial berskala besar. Daripada pakai darurat sipil, pemerintah mestinya menetapkan darurat kesehatan masyarakat sebagaimana amanat pasal 10 ayat 1 Undang-undang tentang Kekarantinaan Kesehatan,” tuturnya.

“Saya bukan ahli hukum. Tetapi itu bisa ditanyakan dan diskusikan dengan mereka yang lebih paham. Ini penting diingatkan sebagai bentuk kehati-hatian dalam pengambilan payung hukum,” pungkasnya.

 

 

Sumber: https://www.berdaulat.id

Related Posts