Berita

Pengamat: Track Record M.Nuh Buruk di Dunia Pendidikan

Jumat, 19-04-2013

JAKARTA, PESATNEWS- Ketua Bidang Luar Negeri dan Juru Bicara Majelis Pengurus Pusat (MPP) Asosiasi Dosen Indonesia, Saleh Partaonan Daulay menilai, track record maupun prestasi Mohammad Nuh selama menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) sejak tahun 2009 lalu, tidaklah cukup baik. Pasalnya, ia sering membuat kebijakan-kebijakan kontroversi yang membuat dunia pendidikan di Indonesia tidak berjalan dengan baik.

"Siapa bilang track record Nuh baik? Yang benar saja. Saya kira prestasinya tidak baik, sering membuat kontroversi. Pertama, dia membuat kebijakan arogan dan otoriter dalam pemilihan rektor di universitas-universitas negeri," kata Saleh kepada pesatnews.com, Jumat (19/4/2013).

Dalam kebijakan itu, lanjut Saleh, sebagai Mendikbud dia memiliki hak 35 persen suara. Artinya, walaupun sudah menang dalam pemilihan di senat universitas, kalau mendikbud tidak setuju, dia bisa memberikan hak suara 35 persennya kepada kandidat lain yang kalah. "Dalam kebijakan seperti ini, yang menentukan siapa yang layak jadi rektor adalah Mendikbud, bukan senat universitas," ujar Saleh.

Track record buruk M,Nuh yang kedua, kata Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah ini, beberapa waktu lalu, M. Nuh pernah menyakiti perasaan para aktivis perempuan. "Kala itu, M. Nuh mengatakan bahwa kasus pemerkosaan yang menimpa salah seorang siswi bisa jadi atas dasar suka sama suka," ungkap Saleh.

Ketiga, Saleh menyebutkan, M. Nuh pernah merencanakan agar skripsi dan karya akademik lain dipublikasikan terlebih dahulu sebelum dibawa ke ujian akhir. Sementara, jurnal-jurnal ilmiah jumlahnya sangat terbatas. "Lalu, kemana para mahasiswa menerbitkan karyanya? Kalau kebijakan itu diterapkan, dipastikan akan banyak mahasiswa yang tidak bisa menamatkan kuliahnya," tanya Saleh.

Keempat, Saleh memaparkan, selama menjadi menteri, M. Nuh menerapkan kebijakan pengetatan kenaikan pangkat dan memperoleh guru besar. Kebijakan itu sendiri bertentangan dengan kebijakan lain yang mengharuskan universitas untuk memperoleh akreditasi. "Kalau dosen sulit naik pangkat dan memperoleh guru besar, bagaimana menaikkan akreditasi. Bukankah salah satu hal penting yang dinilai dalam akreditasi itu adalah kuantitas dan kualitas dosennya?," tanya Saleh kembali.

Kelima, Saleh menambahkan, yang terburuk dalam sejarah pelaksanaan Ujian Nasional (UN) baru-baru ini M. Nuh menerapkan kebijakan untuk membuat diversifikasi soal UN. Saat ini, naskah soal UN terdiri dari 30 jenis variasi soal. Selain membutuhkan biaya dan tenaga yang lebih banyak, mencetak dan mendistribusikan ketigapuluh variasi soal itu tentu sangat rumit. "Itulah kemungkinan yang menyebabkan mengapa ada keterlambatan pencetakan dan pendistribusian naskah soal," tukas Saleh.

Oleh karena itu, tegas pengajar ilmu sosial politik di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, sebaiknya M. Nuh gentlement mengakui kegagalannya. Di negara lain, kalau seorang pejabat negara jelas-jelas gagal melaksanakan tugasnya, dengan legowo mereka mengundurkan diri.

"Ini sudah jelas semrawut, masih cari alibi sana-sini. Jangan karena hubungan dekat dengan presiden, lalu tidak mau mundur. Walau mundur, pasti tetap bisa membantu presiden. Masih tetap bisa berhubungan," katanya lagi.

Selain itu, Saleh mengatakan tidak bisa mempersoalkan DPR dalam masalah ini. Pasalnya, ini masalah implementasi kebijakan yang menjadi domain pemerintah. DPR tugasnya membuat aturan, menganggarkan, dan mengawasi. "Aturan, anggaran, dan pengawasan kan sudah ada. Yang tidak baik adalah pelaksanaannya," ucap Saleh.

Sumber: www.pesatnews.com

Related Posts