Jumat, 09 Agustus 2013, 17:14 WIB
Jakarta – Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Saleh Partaonan Daulay, mengatakan pernyataan Denny JA soal sidang Itsbat yang mengatakan bahwa sidang isbat mempertontonkan kebodohan muslim Indonesia di mata dunia perlu diperhatikan dan dijadikan renungan.
Sebagai pengamat sosial politik, pernyataan itu menurut Saleh pasti didorong oleh pandangan objektif.
"Tidak mungkin pandangan itu disampaikan atas dasar pesanan ormas atau kelompok-kelompok tertentu. Saya kira Denny JA tidak memiliki kepentingan apa pun menyangkut sidang itsbat. Bisa saja, pernyataan itu beranjak dari kegelisahannya selama ini," ujarnya Jumat (9/8).
Selain itu, lanjutnya, pandangan Denny itu juga bisa jadi beranjak dari rasa nasionalisme. Kemungkinan besar, Denny merasa kasihan dan iba melihat cara umat Islam menetapkan puasa dan lebaran.
Saleh berpendapat, sebagai orang Indonesia, Denny merasa terpanggil untuk angkat bicara walaupun bidang kajiannya selama ini bukan agama dan astronomi.
Lebih lanjut dikatakan Saleh penetapan awal puasa dan Idul Fitri bukanlah sesuatu yang harus ditetapkan secara demokratis dalam sidang itsbat. Walaupun dihadiri dan disepakati oleh seluruh ormas, bukan berarti keputusan itu harus diikuti oleh seluruh warga negara.
Selain itu, tegasnya, tidak ada juga undang-undang atau aturan yang mengharuskan warga negara mengikuti hasil sidang itsbat itu. Kalaupun undang-undang dan aturannya dibuat, dipastikan akan kontraproduktif karena tidak semua warga negara bisa mengikutinya.
"Penetapan awal Ramadan dan idul fitri adalah bagian dari keyakinan. Negara tidak bisa mencampuri keyakinan warga negara," ucapnya.
Walaupun ada pernyataan bahwa sidang itsbat tidak memiliki muatan politik apa pun, tetapi menurut Saleh, tetap saja sinyalemen ke arah itu masih ada.
Saleh mengatakan, "Pasalnya, satu-satunya negara di dunia yang menetapkan 1 Ramadan dan 1 Syawal melalui sidang itsbat hanya Indonesia. Kalau bukan bermotif politik, lalu apa yang melatarbelakanginya? Katanya untuk kebersamaan. Kalau untuk kebersamaan, lalu mengapa pendapat sebagian diterima sebagian lain ditolak? Jangan-jangan, sidang itsbat itu sendirilah sumber ketidakbersamaan itu. Kalau semua orang dibiarkan melaksanakan agama sesuai keyakinannya, dipastikan kebersamaan tetap terjalin. Buktinya, umat Islam dan umat beragama lain bisa rukun walaupun ada perbedaan teologis yang mustahil disatukan".
Sebelumnya, Pengamat Politik, Denny JA mengimbau agar sidang Isbat jangan dibiayai pemerintah.
"Masyarakat membutuhkan kepastian (mengenai Idul Fitri) lebih awal. Pemerintah sudah membuat tanggal merah hari Lebaran dalam kalender yang kita terima sejak 1 januari. Seharusnya pemerintah konsisten. Lagi pula menentukan Lebaran di H-1 setelah Magrib hanya mempertontonkan keterbelakangan umat Islam di era science," ujarnya.
Denny JA juga mengatakan bahwa kini adalah era dimana manusia sudah bisa menjelajah antariksa dan komputer telah menyatukan dunia. Menteri Agama harus memperhatikan hal ini sehingga tidak lagi menghamburkan uang rakyat untuk membiayai Sidang Isbat di H-1.
Denny juga mengatakan bahwa sidang Isbat juga mempertontonkan kebodohan umat Islam Indonesia di dunia internasional yang sudah bisa memprediksi waktu melalui science dan teknologi sejak jauh hari.
sumber : beritasatu