Kunjungan

Suka Duka Belajar di Negeri Orang (4)

Selain harus mengikuti perkuliahan di jurusan ilmu filsafat, saya juga harus mengikuti pelajaran bahasa Inggris, khusus bagi graduate student. Di CSU terdapat sebuah lembaga yang bernama Intesive English Course (IEP). Selain untuk memperdalam pengetahuan tentang bahasa Inggris, di sini juga para mahasiswa international diajarkan bagaimana menulis karya ilmiah dalam bahasa Inggris dengan baik. Tujuannya adalah agar para mahasiswa dapat mengikuti perkuliahan sebagaimana layaknya rata-rata mahasiswa native speaker.  Saya sangat beruntung karena semua biaya untuk belajar di tempat itu ditanggung sepenuhnya oleh Ford Foundation.

Selain memberikan keuntungan yang banyak, ternyata belajar di IEP sekaligus juga menjadi beban. Pasalnya, belajar di IEP itu tidak main-main. Semua peserta harus mengikuti minimal 80 persen pelajaran. Tidak bisa bolos dan juga terlambat. Harus mengerjakan semua tugas-tugas yang diberikan. Dan yang lebih penting perkuliahan dilaksanakan setiap hari sepanjang semester mulai hari Senin-Jum’at. Kalau ternyata kehadiran dan keaktifan dinilai tidak maksimal, pihak IEP dengan tegas akan melaporkannya ke Ford Foundation. Tentu ini akan menjadi bagian evaluasi bagi pihak penyandang dana yang membiayai sebagian besar keperluan saya selama di AS.

Beban akan menjadi sangat terasa karena pada saat yang sama saya harus kuliah magister di jurusan ilmu filsafat. Beban tugas kuliah di filsafat tentu jauh lebih besar dan sulit. Harus menggunakan segala kemampuan dan kecerdasan agar bisa survive. Apalagi, niat saya untuk membawa anak dan isteri  sudah bulat. Kalau niat ini mau direalisasikan, maka tidak boleh tidak nilai semester pertama saya harus memuaskan pihak sponsor. Itu adalah persyaratan utama yang mereka berikan. Selain itu, mereka juga mewanti-wanti bahwa Ford Foundation sama sekali tidak akan memberikan bantuan living cost bagi keluarga yang dibawa. Biaya mereka di sana harus ditanggung oleh mahasiswa yang bersangkutan.

Oleh karena antara apartment saya dengan kampus berjarak sekitar 3 KM, saya memerlukan kenderaan yang murah meriah. Saya memutuskan membeli sepeda yang harganya relatif murah. Saya ingat waktu itu, saya membeli sepeda di Wall Mart, sebuah pusat perbelanjaan yang cukup besar semisal Giant atau Carefour di Indonesia. Harga sepeda itu adalah USD 80. Dengan sepeda itu, saya bisa berangkat dari apartment ke kampus setiap hari.

Sebenarnya, ada bis yang dioperasikan oleh pemerintah kota Fort Collins bekerjasama dengan CSU. Setiap mahasiswa otomatis mendapat satu kartu bis. Dengan kartu itu, mahasiswa tidak dipungut ongkos kemana pun ia pergi di seluruh kota Fort Collins. Sayangnya, bis tersebut jumlahnya terbatas. Lagi pula, bis tersebut punya waktu-waktu khusus untuk singgah di setiap halte yang dilaluinya. Untuk menghindari agar tidak tertinggal bis, maka sepeda adalah pilihan terbaik. Naik sepeda di kampus tidaklah membuat kita minder. Sebagian besar mahasiswa di CSU memiliki sepeda. Apalagi mereka yang tinggal di sekitar kampus.

Mengapa tidak membawa mobil sendiri? Mengenderai mobil ke kampus agak sulit. Setiap kenderaan yang parkir dikenakan biaya. Ongkos parkirnya relatif mahal. Bila ketahuan tidak membayar parkir atau parkir di tempat yang tidak semestinya, akan diberikan tiket dan berurusan dengan pihak kepolisian. Denda parkir sembarangan sangat mahal. Kalau mau mengenderai mobil ke kampus, sebaiknya dilakukan setelah jam-jam wajib parkir lewat. Biasanya sore hari sampai malam. Saya sering mengenderai mobil ke kampus bila saya harus pergi ke perpustakaan sore sampai malam hari. Di luar itu, sepeda adalah pilihan terbaik. Keuntungan lain naik sepeda adalah kita bisa mengitari gedung-gedung kampus dengan cepat. Apalagi jarak antara satu gedung dengan gedung yang lain lumayan jauh. Kalau sedang di kampus, saya juga biasanya naik sepeda ke Mesjid untuk melaksanakan sholat Jumat.

Sementara, mobil yang saya beli dari Siphelo saya gunakan untuk pergi ke mall membeli kebutuhan sehari-hari. Kadang-kadang, mobil itu juga saya kenderai untuk berkunjung ke rumah kawan-kawan yang berasal dari Indonesia. Bila musim salju, memiliki mobil sangat penting. Kalaupun berniat naik bis, terpaksa harus rela menunggu di halte beberapa menit dengan suhu udara yang sangat dingin. Fort Collins, dan juga Colorado secara umum, dikenal sebagai salah satu tempat yang cukup dingin di AS. Sewaktu saya tinggal di sana, suhu udara pernah mencapai -20 derajat celcius. Tentu dinginnya luar biasa.

Kembali ke soal belajar. Setelah konsultasi dengan dosen pembimbing, saya akhirnya mengambil dua mata kuliah pada semester I. Meski diperkenankan mengambil 4 mata kuliah, tawaran itu saya tolak. Saya ingin fokus di dua mata kuliah wajib saja. Targetnya adalah mendapat nilai yang bagus sehingga diperkenankan membawa keluarga. Mata kuliah yang saya ambil waktu itu adalah Environmental Philosophy dan Seminar in Major Philosophical Texts.

Mata kuliah pertama berbicara tentang seluk beluk filsafat lingkungan baik dari sisi ontologis, epistemologis, dan juga aksiologis. Mata kuliah ini diajarkan oleh seorang filosof lingkungan yang bernama Holmes Rolston III. Dia dikenal sebagai filosof lingkungan karena banyak menulis teori-teori baru dan original tentang lingkungan. Gelar kebesaran dia dalam bidang ini adalah the father of environmental ethics (bapak etika lingkungan). Meski usianya sudah 70 tahun, tetapi dia kelihatan sangat sehat dan energik. Pada saat saya mengikuti mata kuliahnya, dia sudah memasuki masa pensiun. Tetapi karena kecintaannya terhadap dunia akademik dan ditambah lagi belum ada professor lain yang bisa mengajarkan mata kuliahnya, maka dia meminta agar tetap memangku mata kuliah tersebut.

Mata kuliah kedua adalah membaca teks filsafat yang ditulis langsung oleh filosofnya. Kali ini, tema yang diangkat adalah contractarianism in political philosophy. Ada dua buku wajib yang dibaca ketika itu. Pertama adalah Theory of Justice karya John Rawls dan kedua Morals by Agreement karya David Gauthier. Mata kuliah ini diasuh oleh Richard Kitchener, seorang professor senior di jurusan tersebut. Buku pertama sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia meskipun menurut saya terjemahannya masih perlu disempurnakan. Sementara buku kedua adalah buku yang seumur hidup saya baru baca dan lihat di sana. Artinya, saya sama sekali tidak punya pengetahuan tentang buku itu dan juga tentang penulisnya David Gauthier.

Sepintas lalu, kedua mata kuliah itu asyik-asyik saja. Tetapi pada praktiknya, kedua mata kuliah betul-betul sangat berat. Perlu usaha-usaha yang cukup gigih untuk menaklukkannya. Apalagi, kedua mata kuliah itu adalah dua dari enam mata kuliah wajib yang harus lulus bila mau menyandang gelar magister filsafat dari CSU.

Bagaimana menaklukkannya, ikuti cerita berikutnya…. he he he…

Bersambung….

 

 

 

Related Posts