We have fought for social justice. We have fought for economic justice. We have fought for environmental justice. We have fought for criminal justice. Now we must add a new fight – the fight for electoral justice.
Barbara Boxer
Pendahuluan
Setelah rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan, bangsa Indonesia telah berhasil melaksanakan pemilihan umum (pemilu) sebanyak tiga kali, yaitu tahun 1999, 2004, dan terakhir tahun 2009. Pemilu legislatif tahun 1999 merupakan momentum awal kebebasan berpolitik sekaligus menjadi landasan utama transisi demokrasi ke arah yang lebih baik. Selain memberikan kesempatan yang luas bagi munculnya partai-partai politik, pemilu 1999 juga memberikan kebebasan bagi rakyat untuk memilih para wakilnya dan bahkan membuka ruang bagi kekuatan di luar negara untuk berperan aktif dalam penyelenggaran pemilu. Banyak kalangan mengakui bahwa pemilu tahun 1999 telah berhasil menurunkan hegemoni Golkar yang selama hampir 32 tahun telah menjadi perisai kekuasaan pemerintahan Orde Baru.
Pemilu kedua tahun 2004 juga memiliki makna tersendiri bagi bangsa Indonesia. Pemilu tahun 2004 ini merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih secara langsung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung presiden dan wakil presiden. Selain berhasil memilih 550 anggota DPR, 128 anggota DPD, dan 14.776 DPRD se-Indonesia, pemilu ini juga telah berhasil memilih Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden RI. Dengan segala tingkat kerumitannya (misalnya; jumlah pemilih yang banyak, jumlah caleg DPR dan DPRD yang besar, infrastruktur yang tidak memadai untuk mendistribusikan logistik pemilu sampai ke pelosok nusantara, dan lain-lain), pemilu 2004 dinyatakan berhasil. Tidak heran bila kemudian Azyumardi Azra menyatakan pemilu ini adalah pemilu historik dan telah mendapat pujian dari banyak pengamat asing[1].
Pemilu berikut adalah pemilu tahun 2009. Selain berhasil memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD se-Indonesia, pemilu ini juga berhasil memberikan kesempatan kedua kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menjadi pemimpin nasional. Terlepas dari sejumlah kendala yang mengiringinya, pemilu 2009 telah berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbaik di kawasan Asia Tenggara. Prestasi ini selanjutnya telah mensejajarkan posisi Indonesia dengan negara-negara maju lain yang telah puluhan tahun lebih dahulu mengadopsi dan mempraktikkan sistem demokrasi di negaranya. Bahkan dalam hasil penelitian terbarunya tahun 2010 yang lalu, Freedom House menempatkan Indonesia sebagai negara demokratis ketiga di dunia setelah India dan Amerika Serikat[2].
Pujian dan apresiasi yang diberikan oleh dunia internasional terhadap Indonesia dalam menumbuhkembangkan demokrasi tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan Indonesia dalam menyelenggarakan ketiga pemilu yang disebutkan di atas. Dalam sebuah negara demokrasi, pemilu merupakan salah satu aspek sangat penting yang selalu dijadikan dasar penilaian. Oleh karena itu, perbaikan dan peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilu harus tetap menjadi prioritas utama sebuah negara demokratik, tidak terkecuali Indonesia.
Dalam membangun pencitraan yang lebih positif terhadap proses demokrasi melalui pemilu, terdapat dua faktor penentu yang harus menjadi perhatian utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang terkait dengan sistem dan perangkat penyelenggara pemilu. Sementara faktor eksternal adalah faktor yang terkait dengan out put dari hasil pemilu itu sendiri[3]. Sistem dan perangkat penyelenggara pemilu berfungsi untuk menjamin bahwa pemilu benar-benar diselenggarakan secara adil, legitimate, dan akuntabel dengan melibatkan partisipasi rakyat seluas-luasnya. Sedangkan out put pemilu harus mencerminkan produk penyelenggara negara yang berkualitas yang diharapkan dapat menjalankan amanah yang dibebankan oleh rakyat.
Dari kedua faktor penentu di atas, faktor yang terkait dengan sistem dan perangkat penyelenggara pemilu merupakan faktor yang paling strategis karena setiap saat dapat dievaluasi dan diperbaiki kualitasnya. Pengalaman pelaksanaan pemilu sejak tahun 1955 dapat dijadikan pelajaran penting dalam merumuskan sistem pemilu yang paling tepat untuk Indonesia. Selain itu, pengalaman tersebut juga dapat dijadikan sebagai bahan refleksi untuk memperbaiki berbagai kendala yang dihadapi oleh aparat penyelenggara pemilu.
Pemilu dan Penyelenggara Pemilu
Penyelenggaraan pemilihan umum pada hakikatnya adalah sebuah proses pelaksanaan amanat konstitusi negara Republik Indonesia. Secara eksplisit, dalam pasal 1 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam konteks inilah pemilu diperlukan sebagai salah satu mekanisme mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat tersebut. Melalui pemilu, rakyat tidak hanya memilih orang yang akan menjadi wakilnya dalam menyelenggarakan negara, tetapi juga memilih program yang dikehendaki sebagai kebijakan negara pada pemerintahan selanjutnya. Oleh karena itu, tujuan pelaksanaan pemilu adalah terpilihnya wakil rakyat dan terselenggaranya pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan pilihan rakyat.
Pemilu sebagai mekanisme pokok prosedur demokrasi mendapatkan jaminan konstitusional sebagai hasil dari Perubahan Ketiga UUD 1945, yang diatur dalam satu bab tersendiri. Perubahan itu sangat penting artinya guna menegaskan sekaligus menjaga keberlanjutan demokrasi melalui mekanisme pemilu yang harus dilakukan secara berkala. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 E ayat (1) UUD 1945 itu memberikan pedoman dasar baik yang bersifat prosedural maupun substansial. Dari sisi prosedural, pemilu harus dilakukan lima tahun sekali, secara langsung, umum, dan rahasia. Dari sisi substansial pemilu harus dilakukan secara bebas, jujur, dan adil[4].
Untuk menjamin terlaksananya Pemilu yang benar-benar sesuai dengan kaidah konstitusional itu, penyelenggara pemilu memiliki peran yang penting. Asas jujur dan adil hanya dapat terjadi jika penyelenggara pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah, baik pusat maupun daerah, karena rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh kekuatan politik yang sedang berkuasa. Itulah sebabnya mengapa pasal 22 E ayat (5) UUD 1945 mempertegas bahwa pemilu harus diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri.
Komisi pemilihan umum (KPU) merupakan garda terdepan dalam setiap penyelenggaraan pemilu. Komisi ini tidak hanya berurusan dengan partai politik peserta pemilu, tetapi juga harus berhadapan langsung dengan pemerintah dan masyarakat luas. Dalam kondisi seperti ini, tidak jarang KPU berada pada posisi dilematis. Di satu pihak, KPU berusaha untuk melayani dan memenuhi kepentingan semua pihak (partai politik, pemerintah, dan masyarakat). Sementara di pihak lain, KPU harus betul-betul konsisten untuk menerapkan seluruh ketentuan perundang-undangan yang berlaku dimana banyak kepentingan para pihak itu dibatasi.
Meskipun harus berhadapan dengan para pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu, KPU dituntut untuk senantiasa konsisten melaksanakan segala tugas dan wewenangnya. Tugas dan wewenang KPU ini diatur sedemikian rupa pada pasal 8 Undang-undang No. 15 Tahun 2011. Berkenaan dengan teknis penyelenggaraan pemilu, tugas dan wewenang tersebut dapat disederhanakan ke dalam delapan tahapan pemilu yang harus dikawal KPU agar terlaksana sesuai dengan jadwal yang ditetapkan. Kedelapan tahapan itu adalah 1) pendaftaran dan/atau pemuktahiran daftar pemilih, 2) pendaftaran, penelitian dan penetapan peserta pemilu, 3) pembentukan dan/atau perubahan daerah pemilihan, 4) pendaftaran, penelitian dan penetapan calon atau daftar calon, 5) pelaksanaan kampanye, dan pelaporan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye, 6) pemungutan dan penghitungan suara di tempat pemungutan suara, dan rekapitulasi hasil perhitungan suara pada berbagai tingkat di atas tempat pemungutan suara, 7) pembagian kursi dan/atau penetapan calon terpilih, dan 8) penyelesaian perselisihan hasil pemungutan suara[5].
Selain bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kedelapan tahapan proses pemilu tersebut beserta tugas-tugas dan wewenang lainnya, KPU juga dituntut untuk melaksanakan pemilu secara aman dan damai. Dalam kaitan ini, KPU harus benar-benar bekerja secara transparan, mandiri dan independen (non partisan). Independensi dan profesionalitas petugas penyelenggara pemilu merupakan salah satu faktor utama dalam menciptakan pemilu yang demokratis dan damai. Keberpihakan penyelenggara pemilu kepada salah satu kontestan tertentu akan mendorong munculnya kecurangan-kecurangan yang pada akhirnya dapat menimbulkan konflik dan tindak kekerasan di tengah-tengah masyarakat. KPU harus menjadi wasit yang baik dalam mengawal seluruh proses kompetisi demokrasi yang diselenggarakan.
Bersambung…
Reminders: Hindari Plagiasi, tulisan ini telah diterbitkan di dalam jurnal "Analisis CSIS" Edisi Mei 2012. Bila hendak mengutip, silahkan mengutip sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menghargai pemikiran penulisnya.
[1] Lebih jauh mengenai pemilu historik ini, lihat Azyumardi Azra. Dari Harvard Sampai Makkah (Jakarta: Republika, 2005), h. 84-85.
[2] Lebih jauh mengenai laporan ini, lihat Michael Buehler, Countries at the Crossroads: Indonesia. [diakses 28 Desember 2011] dari url: http://freedomhouse.org/template.cfm?page=140
&edition=9&ccrpage=43&ccrcountry=188
[3] M. Husni Thamrin Nasution, “Stretegi Mensukseskan Pemilu Legislatif 2009 (Suatu Solusi Konflik)”. Jurnal Perspektif. 2009; April 1 (2): 2.
[4] M. Akil Mochtar, “Kedudukan dan Peran KPU Provinsi”, [diakses 29 Desember 2011] dari url: http://www.akilmochtar.com/wp-content/uploads/2011/06/KEDUDUKAN-DAN-PERAN-KPU-PROVINSI.pdf .
[5] Ramlan Surbakti dkk., Perekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis (Jakarta: Kemitraan, 2008), h. 16.