Belajar sambil bekerja bukan sesuatu yg baru saya lakukan. Seingat saya, saya telah bekerja sejak saya kuliah di USU, bahkan sejak di MAN 1 Medan. Kunci suksesnya adalah bagaimana membagi waktu. Belajar dan bekerja harus benar-benar seimbang, tidak ada yang boleh keteter. Apalagi, program study yang saya tekuni adalah filsafat yang sering sekali dikenal sebagai program study yang sulit.
Selain bekerja, ada tambahan tugas lain yaitu mengurus keluarga. Tugas ini sangat dirasakan apalagi setelah istri saya dinyatakan positif hamil. Kami harus melakukan kontrol setiap bulan ke Balai pengobatan. Di sana dokter akan memeriksa kesehatan ibu dan janin yang dikandungnya serta mendiskusikan hal-hal lain yang terkait dengan masalah kesehatan. Hal ini penting mengingat istri saya melahirkan Kaisa, anak pertama saya, melalui proses operasi. Hal ini tentu perlu dipantau kesehatan mereka secara intensif dan teratur.
Istri saya memberanikan diri memprogramkan kehamilan setelah melakukan serangkaian wawancara dengan mahasiswa-mahasiswa internasional lainnya. Menurut informasi mereka, mahasiswa atau pasangannya yang hamil biaya kebutuhan medisnya akan disubsidi oleh negara, termasuk kebutuhan gizi ibu dan bayi yang dikandungnya ini yang disebut dengan program food stamp, subsidi makanan bagi keluarga tertentu yang membutuhkan.
Saya diminta untuk datang ke kantor dinas sosial yang menanganinya minimal sekali dalam sebulan. Di sana, mereka akan memberikan kertas sejenis cek yang dapat ditukarkan dengan makanan-makanan tertentu di Supermarket-supermarket yang telah berkerjasama dengan dinas sosial itu. Makanan tersebut dapat berupa susu, telur, sereal, keju, roti, dan lain-lain..
Dengan program food stamp pemerintah Amerika kelihatannya ingin memastikan bahwa kebutuhan gizi dan nutrisi ibu dan anak yang dikandung benar-benar memenuhi standar kesehatan. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa setiap anak yang lahir di Amerika adalah otomatis menjadi warga Negara Amerika. Karena itu, Negara bertanggungjawab menjaga kesehatannya bahkan sejak masa kecil. Tidak mengherankan bahwa program ini dapat menghabiskan belanja Negara dengan jumlah yang cukup besar. Bahkan sebagian pengusaha besar di sana mengeritik program ini karena dinilai hanya menguntungkan masyarakat miskin atau yang berpenghasilan rendah. Dalam beberapa kesempatan, mereka menyebut program ini sebagai program sosialis di Negara kapitalis.
Menurut saya ada banyak program lain yang sejenis dengan food stamp di Amerika. Katakanlah misalnya, asuransi kesehatan dan biaya pendidikan. Kedua program ini tentu sangat genting karena pasti akan sangat dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, belum lagi biaya kesehatan dan pendidikan yang sangat tinggi di Negara tersebut. Tanpa program seperti ini tidak bisa dibayangkan berapa banyak kelompok masyarakat yang tidak dapat mengakses layanan kesehatan dan juga pendidikan.
Apapun kritik yang dilontarkan, menurut saya program ini sangatlah baik. Namun harus diketahui bahwa tingkat keberhasilan program ini tidak dapat dilepas dari sistem pendataan kependudukan Amerika.
Di sana tidak dimungkinkan ada warga negara yang memanipulasi data sehingga berhak menerima bantuan itu. Hal ini dikarenakan setiap orang yang tinggal di Amerika dalam kurun waktu yang lama akan dibekali dengan SSN (Social Security Number).
Melalui Social Security Number Negara dapat memantau penghasilan setiap warga negara. Hal itu dimungkinkan karena data yang terekam di dalam SSN sangat terkait dengan sistem pembayaran pajak mereka. Sementara besaran pajak nilai pajak yang harus dibayarkan sangat terkait dengan penghasilan yg secara ketat dicatat didalam SSN.
Berkenaan dengan ini, ada warga Amerika yang mengatakan, tidak ada harta kekayaan warga Amerika yang dapat disembunyikan dari kewajiban membayar pajak. Penghasilan seseorang sangat terbuka untuk diperiksa khususnya oleh petugas pajak. Seiring dengan itu, sistem pembayaran pajak di Amerika dilakukan dengan cara yang adil. Setiap akhir tahun akan ada evaluasi terhadap pembayaran pajak masing-masing, jika ternyata pembayarannya lebih dari yang semestinya, negara berkewajiban untuk mengembalikan melalui program melalui tax refund. Tidak heran jasa konsultan pajak tumbuh bagai jamur pada saat evaluasi tersebut. Bagi masyarakat yang membayar pajak diatas rata-rata mereka biasanya mempergunakan jasa konsultan, dengan begitu maka yakin tidak akan membayar lebih dari yang semestinya menjadi kewajiban mereka.
Dengan pola sistem pembayaran pajak seperti itu, sangatlah wajar jika kemudian pengumpulan pajak bisa dimaksimalkan. Dan dana pajak tersebut sebanyak-banyaknya dipergubakan untuk pembangunan.
Bandingkan dengan pembayaran pajak di Indonesia. Hampir setiap tahun di Indonesia pengumpulan pajak tidak mencapai target sebagaimana yang telah ditargetkan, akibatnya dalam beberapa kasus tertentu negara terpaksa harus menambah hutang keluar negeri. Secara perlahan hutang itu akan menjadi beban pada periode pemerintahan berikutnya. Dan sayangnya tidak ada yang bisa menjelaskan kapan hutang-hutang dari luar negeri tersebut dapat diselesaikan dan dilunasi.
Sebagai contoh, program BPJS Kesehatan yang selalu selalu defisit. Untuk tahun 2017, misalnya, BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar 6 triliun rupiah dari anggaran yang dialokasikan sebesar 25 triliun rupiah. Anggaran sebesar ini baru mampu menutupi kebutuhan sebanyak 90,2 juta masyarakat kurang mampu. Padahal laporan pemerintah menyebutkan bahwa jumlah masyarakat 104 juta warga negara yang mestinya ditanggung oleh negara yang semestinya direalisasikan pada tahun 2019, dimana tahun tersebut ditetapkan sebagai awal dimulainya Universal Health Coverage.
Bersambung..