Fikrah

Meneguhkan Keislaman Melalui Pemaknaan dan Pembumian Ibadah

Ada seseorang yang mengajukan pertanyaan kritis soal ibadah, khususnya puasa, yang rasanya perlu saya jawab. Untuk berbagi dan mendapatkan masukan dari pembaca, berikut adalah diskusi mengenai hal tersebut.

Tanya (T): 

Ustadz. Tanya enteng-entengan. Kalo ramadhan banyak ampunan, bukankah di bulan-bulan biasa lainnya jg manusia juga tetap dapat ampunan?

Kalo ramadhan banyak dilipatgandakan pahala-pahala, bukankah di bulan2 biasa lainnya juga mukmin yang menjalankan perintahNya juga dibalas pahala berlipat-lipat misalnya, sedekah, baca quran, memang tertulis dibalas berlipat pahalanya?

Jika ramadhan ini melatih kita menahan nafsu, bukankah muslim/mukmin yang biasa puasa sunah (Senin, Kamis, Daud) juga memang sudah melatih dirinya tahan nafsu?

Jadi ramadhan sebagai "tamu agung" "tamu istimewa" itu bagaimana?

Jawab (J): 

Iya betul. Tetapi pintu taubat di bulan Ramadan lebih luas seimbang dengan banyaknya saluran amalan ibadah lain, seperti puasa, qiyamul lail, qiraah, dll. Di bulan lain, Allah tetap maha pengampun karena allah itu ghafurur rahim. Tetapi ampunan Allah di bulan suci lebih luas seiring juga dengan dilipatgandakannya pahala. Ada banyak teks hadits nabi terkait dengan keutamaan ramadan dari sisi pengampunan Allah. Bahkan, secara etimologis, ramadan artinya membakar, yakni membakar dosa, dst.

(T):
Istimewanya ramadhan adalah karena "ke-lebih luas-an" itu ya ustadz?

(J):
Ini masih mau jawab yang kedua

(T)
Siap ustadz..

(J)
Berlipatgandanya pahala di bulan ramadan tentu beda dengan bulan lain. Banyak teks hadits shahih yang menjelaskan bahwa pahala di bulan ramadan luar biasa besarnya. Katakanlah, misalnya, soal lailatul qadar. Lailatul qadar itu lebih baik dari 1000 bulan (kurang lebih 85 tahun). Artinya, ibadah pada malam itu saja, pahalanya setara 1000 bulan. Beda dong dengan hari biasanya yang ganjarannya 10 kali lipat.

Lihat penjelasannya dalam ayat berikut:

مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ

"Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al An’am: 160).

Soal menahan nafsu, pastilah puasa ramadan itu menahan nafsu. Ada banyak perbuatan yang dihalalkan pada hari-hari biasa, tetapi dibatasi di bulan ramadan. Misalnya, makan minum dan hubungan suami isteri di siang hari. Di bulan biasa, itu dibolehkan saja, tetapi di bulan Ramadan hanya bisa dilakukan antara waktu ifthar dan sahur. Belum lagi, secara imani, orang banyak dilarang untuk sembarang bicara, melihat, dan berbuat. Betul di bulan lain juga itu dilarang, tapi di bulan ramadan diyakini akan merusak ibadah puasa. Kalau ibadah puasa rusak, berarti fadhilah berlipat ganda dan ampunan yang dijanjikan bisa rusak juga. Maka sekali lagi, secara imani, itu puasa dapat mengendalikan hawa nafsu.

(T):
Siap ustadz.. makin mantap sekarang.. hehe.. tanya lagi boleh ustadz sebelum tadarus?

(J)

Silahkan mas…

(T):
Di Al-Hujurat 14 itu dikatakan org berislam tapi belum beriman (Arab Badui). Nah, rukun Islam kan 5 termasuk puasa. Rukun iman ada 6. Bisa diartikan begini kah?: "Org yg sdh Islam memang rajin puasa ngaji sedekah zakat shalat dll tapi belum tentu mereka itu mengimaninya.."

Mengimani puasa ngaji sedekah zakat shalat dll itu bagaimana ustadz?

(J):
Yg pertama. Bisa ditafsirkan begitu. Tafsir itu tentu harus dibarengi dengan argumen rasional. Argumen itu kelihatannya rasional.

Yg kedua, iman itu prinsipnya termaktub dalam terminologi ini:

اعْلَمْ أَنَّ الْإِيمَانَ تَصْدِيقٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْجَوَارِحِ.

Artinya, iman itu adalah pengakuan dan peneguhan dengan hati, diungkapkan dengan perkataan, dan dilaksanakan dengan anggota tubuh.

Rukun islam itu, dimulai dengan pengakuan bahwa tidak ada ilah (tuhan) selain Allah. Pengakuan dari hati nurani yang terdalam itu belumlah cukup. Perlu diikrarkan dengan lisan dalam bentuk pengucapan syahadatain. Seseorang itu belum beriman jika hanya sampai di situ. Konsekuensi dari pengakuan hati dan ikrar dengan lisan adalah al-amr bil ma'ruf wa al-nahyu 'an al-munkar. Semua ini masuk pada kategori pelaksanaan ibadah, termasuk shalat, puasa, zakat, haji, dan seluruh perbuatan baik lainnya.

Secara teologis, semua perbuatan baik yang diiringi dengan niat adalah ibadah. Makanya, orang menuntut ilmu, berdiskusi, bekerja, menerima tamu, jawab WA, dan lain-lain bisa bermakna ibadah jika diniatkan untuk ibadah.

Nah, bagaimana cara mengimani ibadah (shalat, puasa, zakat, haji, dll)? Tentu harus dimulai dulu dengan pengakuan dari hati dalam menyelaraskan antara ikrar lisan dengan manifestasi iman dalam bentuk perbuatan. Ini penting, sebab inti ibadah itu adalah mengingat Allah. Apapun bentuk ibadahnya tujuannya untuk mengingat Allah. Sebagai contoh, di dalam alquran disebutkan,

أقم الصلاة لذكري

"Tunaikanlah shalat untuk mengingatku".

Jadi ghayah dari ibadah shalat adalah mengingat  Allah. Begitu juga ibadah lainnya.

Mengimani ibadah tidak bisa terjadi begitu saja. Perlu ada jalan   (شريعة) yang harus dilalui. Karena itu, semua ketentuan syar'i ibadah itu harus dikerjakan sebagaimana adanya. Di sinilah letak fiqih diperlukan untuk memahami secara utuh tata cara ibadah yang benar.

Ibadah itu hanya dapat dikatakan ibadah jika merujuk pada ketentuan syar'inya. Ibadah yang tidak ada dalam ketentuan syar'i tidak dibenarkan. Karena itu, ibadah harus merujuk pada praktik ibadah rasul. Seperti shalat, rasul mengatakan:

صلوا كما رأيتموني أصلي

"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku shalat".

Tentu ibadah lain pun begitu. Harus merujuk pada praktik ibadah rasul. Ibadah yang tidak merujuk pada rasul, itulah yang dinamakan bid'ah.

Jika ketentuan syar'inya telah dipenuhi, maka langkah yang kemudian perlu dilakukan adalah pembumian makna ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Ini yang sulit. Di sinilah kebanyakan umat muslim sering sekali lalai. Termasuk pertanyaan tadi berada pada posisi ini. Banyak orang Islam, tapi tidak mengimani Islamnya. Banyak orang puasa, tapi tidak menambah iman. Banyak orang ibadah, tetapi tetap dinodai maksiat, dst.

Ibadah yang dilaksanakan itu selalu diarahkan pada upaya pembenahan perilaku dan akhlak. Puasa, misalnya, banyak sekali hal yang bisa disarikan untuk meningkatkan akhlak. Katakanlah, puasa itu sangat identik dengan kejujuran. Dalam puasa, kejujuran menjadi kunci utama. Hanya kita dan Allah yang tahu bahwa kita jujur dalam puasa atau tidak. Jika ini diimani, maka akan berimplikasi dalam menanamkan kejujuran dalam kehidupan sehari-hari.

Pembumian dan pemaknaan ibadah dalam kehidupan sehari-hari merupakan intisari dari korelasi dan relevansi antara islam dan iman. Itulah yang dimaksud dalam surat al-hujurat tadi, banyak orang yang Islam tapi belum beriman. Makanya dalam ayat itu disebut, "hai orang-orang Islam, berimanlah kamu …". Itu menandakan, sekali lagi, orang Islam pun harus bersungguh-sungguh untuk beriman. Di sinilah pentingnya, kita sebagai muslim untuk selalu melakukan muhasabah (introspeksi diri) dalam melihat dan mengukur derajat keimanan dan keislaman kita.

Demikian, semoga bermanfaat.

Related Posts