Kunjungan

Suka Duka Belajar di Negeri Orang (5)

Kuliah perdana dengan Rolston dilaksanakan setiap hari Rabu pukul 19.00 malam. Dia punya metode unik untuk mengingat ke-12 orang mahasiswanya. Seluruh mahasiswa diminta untuk duduk dalam posisi bujursangkar. Lalu dia mengambil selembar kertas yang telah disiapkan sebelumnya. Kertas itu ternyata sudah digambar persis seperti posisi tempat duduk mahasiswa. Sambil berkenalan, dia mengabsen mahasiswa satu persatu. Posisi tempat duduk setiap mahasiswa  kemudian ditandainya di kertas yang ada di tangannya. Setelah semua diabsen, dia minta agar minggu depan dan seterusnya semua orang duduk di tempat yang sama.

Dia memulai perkuliahan dengan memperkenalkan diri. Tidak banyak yang dia sampaikan. Dia hanya mengatakan bahwa hidupnya lebih banyak dihabiskan untuk memahami lingkungan dan pemikiran manusia tentang lingkungan. Sebagai seorang yang berlatar belakang biologi dan teologi, dia juga mengatakan bahwa dia juga memiliki minat yang kuat untuk mempelajari dan meneliti relasi sains dan agama. Sebagaimana layaknya professor-preofessor lain, ia tidak lupa memperkenalkan sederetan buku dan karya-karya ilmiah yang ia tulis sepanjang karir akademiknya. Termasuk perdebatan-perdebatan filosofisnya dengan banyak ilmuwan lain. Agar lebih kenal tentang dia, dia menyarankan agar mahasiswa membaca tentang kiprahnya di internet.

Sekarang giliran mahasiswa memperkenalkan diri. Dia memanggil nama mahasiswa satu per satu secara acak. Ada 3 hal minimal yang harus disebut mahasiswa: asal dan latar belakang pendidikan S1, mengapa belajar filsafat, dan apa yang akan dilakukan setelah selesai program magister. Kelihatannya, dia sengaja memanggil saya setelah semua mahasiswa lain memperkenalkan diri. Ketika saya bicara, semua mata mahasiswa lain tertuju kepada saya. Mungkin mereka mau mengetahui asal negara dan motivasi apa yang membuat saya tertarik belajar filsafat.

Setelah menyebut nama, saya menjelaskan bahwa saya bisa sampai di CSU atas kebaikan Ford Foundation yang memberikan beasiswa kepada saya. Ada dua alasan mengapa saya tertarik belajar filsafat. Pertama, karena di Indonesia saya mengajar filsafat dan sudah pernah belajar filsafat sebelumnya. Kedua, saya meyakini bahwa filsafat bukanlah ilmu yang abstrak yang tidak bisa dibumikan. Justru saya meyakini bahwa perkembangan alam pikiran manusia sangat menentukan kualitas peradaban manusia. Banyak sekali contoh dimana pemikiran filsafat menjadi garis perjuangan suatu kelompok masyarakat tertentu dalam merubah kondisi sosial politik mereka.

Saya tidak tahu apakah penjelasan saya itu dipahami oleh mereka semua yang ada di kelas. Yang jelas, setelah saya selesai bicara, Rolston mengatakan, “Selamat bergabung di dunia yang hanya disenangi oleh orang-orang pilihan”. Lega juga rasanya. Meskipun saya pikir apa yang disampaikannya terlalu berlebihan. Pada faktanya, banyak juga orang yang belajar filsafat tetapi agak sulit mengubah kondisi personalnya. Lalu, bagaimana mau merubah kondisi sosial masyarakat di sekitarnya? Berarti, tidak semua orang yang belajar filsafat itu adalah manusia-manusia pilihan.

Rolston memulai kuliahnya dengan menjelaskan posisi filsafat lingkungan dan etika lingkungan dalam stratifikasi ilmu pengetahuan. Dia menjelaskan, meskipun pada awalnya filsafat lingkungan hanyalah berkutat pada wilayah etika (bagaimana memperlakukan lingkungan secara benar), namun sejalan dengan perkembangannya, filsafat lingkungan juga mempelajari secara serius tentang persoalan ontologi dan epistemologi lingkungan.  Dengan demikian, filsafat lingkungan adalah suatu disiplin ilmu filsafat yang berdiri sendiri sejajar dengan cabang-cabang ilmu filsafat lainnya.

Dari tiga jam kuliah yang disampaikan Rolston, terus terang saya mengakui bahwa hanya sekitar 75 persen yang saya pahami. Selebihnya, saya hanya bisa meraba-raba tentang apa yang dia sampaikan. Ketika itu saya berpikir, kalau hanya mengerti 75 persen maka pelajaran ini tentu tidak bisa dikuasai dengan baik. Saya harus mencari strategi dan cara bagaimana agar saya bisa memahami semua apa yang disampaikan. Selama kuliah perdana itu, perasaan saya tentu sangat galau. Kadang terbetik di hati saya, mengapa tidak mengambil jurusan lain saja? Kalau mengambil jurusan Asian Studies atau Middle Eastern studies tentu akan lebih mudah dipahami. Kalau mengambil kedua jurusan tersebut, tentu akan sedikit lebih santai. Tetapi saya sadar bahwa ini adalah tantangan yang harus dihadapi dan ditaklukkan.

Kuliah perdana selesai pada pukul 22.00. Saya sengaja menunggu Rolston merapikan semua perlengkapannya. Setelah semua mahasiswa keluar kelas, saya mendatangi Rolston. Secara jujur saya mengatakan bahwa dari semua penjelasan yang disampaikan di kelas hari itu, hanya 75 persen yang saya pahami. Dia lalu mengatakan, “Memang ini pelajaran sulit. Tetapi Anda tidak bisa menghindar dari mata kuliah ini. Mata kuliah ini adalah kekhususan yang dimiliki oleh department filsafat CSU”. Kemudian dia bertanya, “Apa yang bisa saya bantu supaya Anda bisa mengikuti kuliah ini?” Saya sangat gembira mendengar pertanyaan itu. Kelihatan sekali kalau Rolston ini adalah betul-betul seorang pendidik yang siap membantu agar anak didiknya bisa memahami pelajaran yang disampaikannya.

Saya kemudian bertanya, “Apakah memungkinkan bila saya diberi waktu konsultasi sebelum perkuliahan dimulai?” Tugas-tugas reading dan writing yang diwajibkan dalam mata kuliah itu betul-betul sangat berat. Saya berharap sebelum perkuliahan dimulai, pemahaman saya terhadap reading assignment dan tugas menulis resumenya bisa dikoreksi sebelum dibahas di kelas.

Tawaran saya itu disambut Rolston dengan senang hati. Dia meminta saya datang 30 menit lebih awal sebelum perkuliahan dimulai. Semua tugas yang akan dikumpul dibawa dan akan dipresentasikan kepada dia terlebih dahulu. Mendengar jawaban Rolston itu, hati saya luar biasa gembira. Setidaknya, ada harapan kalau saya masih bisa mengikuti dan menguasai mata kuliah tersebut.

Bersambung …

Related Posts