Fikrah

Penguatan Peran KPU dalam Membangun Tata Politik Demokratis di Indonesia (2)

Evaluasi Terhadap Penyelenggaraan Pemilu

Bila dilihat secara sepintas, tugas-tugas yang disebutkan di atas tidaklah sulit untuk dilaksanakan. Namun dalam tataran praktik, proses penyelenggaraan pemilu selalu saja dihadapkan dengan berbagai macam persoalan. Persoalan-persoalan yang dihadapi tidak saja berkenaan dengan persoalan prosedural administratif, tetapi juga banyak terkait dengan persoalan juridis regulatif. Persoalan-persoalan  tersebut tentu saja berpotensi menimbulkan masalah lanjutan dalam hal legitimasi hasil pemilu.

Berkaca pada pemilu 2009, secara garis besar ada tiga kategori masalah yang ditemukan dalam tahapan pemilu yaitu, masalah-masalah di seputar persiapan pemilu, masalah-masalah di sekitar pelaksanaan pemilu khususnya pada saat pemberian suara dan penghitungan suara, dan masalah dalam penetapan hasil pemilu[1]. Secara sederhana, ketiga kategori masalah tersebut akan dijabarkan secara ringkas dalam uraian berikut.

  1. Masalah seputar persiapan pemilu

Pada proses persiapan pemilu, terdapat sejumlah masalah yang meskipun bersifat teknis, tetapi sangat menganggu jalannya pelaksanaan pemilu. Masalah pertama adalah adalah terkait dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang menjadi basis dari penentuan jumlah pemilih dalam Pemilu 2009. Persoalan utama dari DPT Pemilu 2009 adalah validitasnya yang diragukan. Duplikasi nama pada satu sisi dan tidak terdaftarnya pemilih yang seharusnya memiliki hak memilih pada sisi lain menimbulkan kritik keras tidak hanya dari partai politik peserta pemilu namun juga dari masyarakat yang merasa hak untuk memilihnya tidak dipenuhi oleh negara.

Setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan munculnya persoalan DPT ini. Pertama, penyerahan Data Penduduk Potensial Pemilih (DP4) ke KPU oleh Depdagri lewat dinas kependudukan tidak memaksimalkan up date data potensial pemilih di daerah, khususnya pada daerah yang baru menyelesaikan pemilukada. Kedua, KPU tidak melakukan sosialisasi massif mengenai perubahan sistem pendataan pemilih dari stelsel passif menuju stelsel aktif sehingga pada umumnya masyarakat kurang mengetahui bahwa untuk menjadi pemilih mereka dituntut untuk secara aktif mengecek DPS ke PPS (panitia pemungutan suara).

Mencuatnya masalah DPT ini bukanlah hanya murni kelalaian dari KPU. Dalam konteks ini, pemerintah dan DPR juga semestinya ikut bertanggung jawab. Pemerintah dan DPR adalah pihak yang bertanggung jawab dalam melahirkan produk perundang-undangan yang mengatur jalannya pelaksanaan pemilu. Pada faktanya, sering sekali produk perundang-undangan yang dihasilkan hanyalah merupakan kompromi politik  antar partai sehingga tidak jarang mengabaikan hak-hak rakyat. Termasuk di dalam masalah ini adalah hak-hak politik rakyat untuk ikut dalam pemilu. Selain itu, pemerintah juga terkesan lamban dalam mengucurkan dana yang dibutuhkan KPU untuk melakukan pemutakhiran data dan sosialisasi pemilu kepada masyarakat. Dan faktor yang paling krusial dalam hal ini adalah buruknya sistem pendataan penduduk yang dimiliki oleh pemerintah. Padahal, data penduduk tersebut merupakan modal utama KPU untuk menentukan warga masyarakat yang berhak ikut di dalam pemilu.

Selain persoalan DPT, masalah kedua yang muncul pada tahap persiapan pemilu adalah keterlambatan DPR dan pemerintah dalam mensyahkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 sebagai landasan yuridis penyelenggaraan pemilu. Akibatnya, KPU terpaksa membuat regulasi sekaligus mensosialisasikannya dalam waktu yang sangat pendek. Keterlambatan lahirnya Undang-undang Nomor 10 ini juga mengakibatkan pemahaman dari seluruh stakeholders menjadi kurang komprehensif. Kondisi ini diperparah pula dengan banyak kelompok masyarakat yang melakukan judicial reviews terhadap Undang-undang tersebut. Paling tidak, tercatat lebih 10 kali Mahkamah Konstitusi menggelar persidangan untuk menguji Undang-undang itu dan terdapat beberapa pasal yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sementara tahapan pelaksanaan pemilu sedang berjalan[2].

  1. Masalah-masalah di sekitar pelaksanaan pemilu

Masalah-masalah teknis di sekitar pelaksanaan pemilu tercatat lebih kompleks dari masalah-masalah pada tahapan persiapan. Meskipun persoalan yang muncul kelihatannya kecil, namun tetap saja sangat menganggu dan mengurangi tingkat legitimasi hasil pemilu. Masalah pertama yang dijumpai di lapangan adalah tidak meratanya pembagian form C-4 (undangan untuk memilih). Oleh karena kurangnya sosialisasi, banyak warga yang sebenarnya sudah terdaftar pada DPT tetapi karena tidak mendapat form C-4 akhirnya tidak mendatangi TPS untuk melakukan pemungutan suara. Selain itu, form C-4 disinyalir juga sangat rawan dengan pelanggaran. Ada banyak temuan di lapangan dimana para pemilih menggunakan form C-4 atas nama orang lain. Modus lain adalah penggunaan kesalahan data yang ada pada DPT. Ada sejumlah kasus dimana ada pemilih yang menggunakan form C-4 milik orang yang meninggal dunia. Hal dimungkinkan terjadi akibat kesalahan input data pada DPT.

Masalah kedua adalah terkait dengan terlalu banyaknya calon yang dimuat di dalam kertas suara.  Dengan alokasi kursi 3-10 di setiap dapil dan dengan sebanyak 38 parpol peserta pemilu (khusus di Aceh 44 parpol), surat suara Pemilu 2009  menjadi sangat lebar karena memuat rata-rata lebih dari 125 orang calon. Surat suara yang sangat lebar ini ternyata tidak sebanding dengan bilik suara yang disediakan untuk melakukan pencontrengan. Akibatnya, para pemilih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menemukan calon yang akan dipilihnya. Tidak heran bila kemudian terdapat antrian yang cukup panjang di TPS-TPS.

Masalah ketiga adalah kurang tersedianya Form C-1 yang merekam hasil hasil penghitungan suara di tingkat TPS. Padahal seharusnya, saksi-saksi dari pihak partai politik berhak mendapatkan form C-1 sebagai data otentik hasil pemilu yang ditandatangani oleh KPPS. Tetapi pada kenyataannya, banyak saksi dan caleg yang tidak mendapatkan form tersebut karena terbatasnya form yang tersedia. Masalah ini mengakibatkan sulitnya para saksi dan para caleg untuk membuktikan perolehan keseluruhan hasil perolehan suara yang mereka kumpulkan dari seluruh TPS yang ada. Sehingga tidak jarang sering ditemukan perbedaan penghitungan suara yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu dengan penghitungan yang dilakukan oleh para saksi dan caleg.

Masalah keempat adalah terkait dengan penghitungan suara. Penghitungan suara pemilu 2009 dinilai sangat lambat karena sistem yang diterapkan memang rumit. Penyelenggara pemilu tidak hanya menghitung perolehan suara parpol, tetapi juga perolehan masing-masing calon yang diajukan parpol mengingat perolehan suara tersebut akan menentukan siapa calon yang terpilih. Akibatnya, meskipun Undang-undang pemilu mengamanatkan bahwa pengumuman hasil pemilu secara nasional harus dilaksanakan dalam jangka waktu 30 hari setelah hari pemungutan suara, KPU hanya mampu mengumumankan perolehan hasil perolehan suara parpol untuk pemilihan anggota DPR dan perolehan suara calon anggota DPD. Sementara, perolehan suara di masing-masing dapil belum bisa ditentukan dan terpaksa dilakukan di luar ketentuan jangka waktu yang ditetapkan Undang-undang pemilu.

  1. Masalah penetapan hasil pemilu

Masalah yang tidak kalah krusialnya dalam pelaksanaan pemilu 2009 adalah masalah penetapan hasil pemilu. Penetapan hasil pemilu ini sering sekali menjadi sumber sengketa yang pada akhirnya harus diselesaikan melalui jalur pengadilan di Mahkamah konstitusi. Salah satu masalah yang terkait isu ini adalah rumitnya penentuan perolehan kursi masing-masing partai. Masalah ini diawali dengan lahirnya Peraturan KPU No. 15 Tahun 2009 tentang Penghitungan Perolehan Kursi, Penetapan Calon Terpilih, dan Penggantian Calon Terpilih  Dewan Perwakilan Rakyat. Peraturan KPU ini menetapkan adanya tiga tahapan penghitungan perolehan kursi. Selain penghitungan perolehan suara yang rumit, Peraturan KPU ini juga dinilai bermasalah terutama pada penghitungan tahap kedua. Calon-calon yang merasa dirugikan dengan peraturan itu kemudian mengajukan pengujian kepada MA. Di tingkat MA, permohonan mereka dikabulkan. Sementara di pihak lain, akibat dikabulkannya permohonan itu, banyak pula calon lain yang merasa diperlakukan tidak adil sebagai implikasi dari putusan MA tersebut. Untungnya, keputusan MA itu kemudian diluruskan oleh Mahkamah Konstitusi yang menetapkan bahwa Peraturan KPU tentang penghitungan tahap kedua itu sudah sesuai dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008.

Penghitungan hasil perolehan suara tahap ketiga juga tidak lepas dari masalah. Hal ini dikarenakan kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh KPU terhadap Undang-undang pemilu. Menurut KPU, sisa suara yang diangkat ke tingkat provinsi adalah sisa suara dari dapil-dapil yang masih ada sisa kursinya. Namun setelah dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi, tafsiran KPU tersebut dinyatakan salah. Sebagai gantinya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa sisa suara yang diangkat ke tingkat provinsi adalah sisa suara dari semua dapil di suatu provinsi. Silang sengketa mengenai penafsiran dan penerapan ketentuan Undang-undang pemilu sebagaimana dijelaskan di atas tentu saja beimplikasi pada lambatnya proses penentuan kursi masing-masing partai peserta pemilu.

Masalah lain yang terkait dengan penetapan hasil pemilu ini adalah banyaknya sengketa yang melibatkan para peserta pemilu. Hal ini dibuktikan dengan ratusan kasus sengketa pemilu yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi. Munculnya sengketa pemilu ini kadang-kadang tidak terkait sama sekali dengan KPU sebagai penyelenggara pemilu. Tetapi, kebanyakan sengketa itu diakibatkan sistem pemilu yang diterapkan. Pada titik ini, dapat dikatakan bahwa sengketa pemilu yang terjadi lebih banyak dikarenakan faktor-faktor yuridis daripada faktor-faktor prosedural administratif.

Tawaran Solusi

Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia, masalah-masalah yang disebutkan di atas tentu saja perlu dicarikan solusinya. Dalam konteks ini, ada beberapa rekomendasi yang bisa dipertimbangkan sebagai alternatif pemecahan terhadap masalah yang ada. Terkait dengan masalah DPT, sebaiknya Depdagri bekerjasama dengan berbagai instansi  terkait jauh-jauh hari telah melakukan pendataan terhadap penduduk yang potensial menjadi pemilih pada pemilu yang akan datang. Agar validatas data lebih terjamin, data-data yang dimiliki oleh Depdagri selanjutnya dibandingkan dengan data-data yang dimiliki oleh BPS. Dengan demikian, sumber data dalam pembuatan DPT yang diserahkan kepada KPU sudah memenuhi unsur-unsur yang disyaratkan dalam Undang-Undang. Hal ini sangat sejalan dengan aturan Undang-undang yang menyatakan bahwa KPU hanya melakukan pemutakhiran data pemilih bukan membuat data baru. Meski demikian, KPU tetap harus diberi jangka waktu dan pembiayaan yang cukup untuk melakukan pemutakhiran data sehingga didapatkan hasil yang benar-benar valid dan sempurna. Pada titik ini, partisipasi aktif masyarakat sangat diperlukan terutama untuk memastikan bahwa hak-hak politik warga negara dapat disalurkan dengan sebaik-baiknya.

Agar proses penyelenggaraan pemilu dapat berjalan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, pemerintah dan DPR diminta untuk segera menetapkan Undang-undang pemilu yang akan digunakan pada pemilu 2014 yang akan datang. Sekurang-kurangnya Undang-undang itu harus diproses dan disahkan 2 tahun sebelum penyelenggaraan Pemilu sehingga masih tersedia waktu untuk menyusun seluruh Peraturan KPU dan men­sosialisasikannya kepada parpol selaku peserta Pemilu, calon Anggota DPD, Badan Pengawas Pemilu, pemantau Pemilu dan masyarakat luas.

Terlebih lagi, perdebatan yang cukup panjang mengenai Undang-undang pemilu belum tentu berdampak positif bagi penyelenggara pemilu. Bahkan sebaliknya, berdasarkan pengalaman pemilu yang lalu, alotnya pembahasan Undang-undang tersebut ternyata berdampak buruk bagi kinerja KPU. Padahal secara faktual, sistem pemilu yang diperdebatkan cukup panjang itu tetap menyisakan sejumlah persoalan terbukti dengan banyaknya sengketa pemilu yang disidangkan di Mahkamah Konstitusi.

Mengenai masalah-masalah teknis yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilu, termasuk di antaranya form C-4 dan form C-1 sesungguhnya dapat diselesaikan oleh KPU. Masalahnya adalah bagaimana KPU bisa memanfaatkan seluruh jaringan yang ada agar kasus-kasus seperti ini dapat dihindarkan. Dalam masalah ini, tentu kemampuan manajerial anggota KPU merupakan sesuatu yang harus dipertaruhkan. Oleh karena itulah, KPU membutuhkan orang-orang yang sudah mempunyai pengalaman dalam mengembangkan dan mengelola jaringan, termasuk di antaranya aktivis-aktivis yang dibesarkan oleh organisasi yang memiliki jaringan sampai ke tingkat desa.

Sementara itu, masalah lambatnya proses penghitungan suara sangat terkait dengan sistem pemilu yang ditetapkan oleh Undang-undang. Berkenaan dengan ini, salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu. Semakin sedikit jumlah peserta pemilu, tentu akan semakin mudah pula melakukan rekapitulasi hasil pemilu. Sedikitnya ada dua cara yang dapat dilakukan dalam menyederhanakan jumlah parpol peserta pemilu. Pertama, persyaratan parpol sebagai peserta Pemilu harus diperketat mengingat tidak semua parpol yang baru ternyata telah siap untuk ikut berkompetisi, baik dalam persyaratan pembentukan kepengurusan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota maupun persyaratan lain menyangkut dukungan penduduk dan kantor tetap. Kedua, meningkatkan ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Dengan meningkatkan PT, diharapkan akan terjadi seleksi alam. Pada akhirnya, hanya partai-partai yang mendapat dukungan pemilihlah yang akan tetap eksis untuk tetap ikut dalam pemilu-pemilu yang akan datang.

Terkait dengan penentuan perolehan kursi masing-masing partai politik juga terkait dengan penyempurnaan Undang-undang yang telah ada. Namun demikian, bila sistem pemilu yang lalu hendak dipertahankan pada pemilu 2014, hal yang paling penting dilakukan adalah memperjelas substansi ketentuan Undang-undang yang mengatur penghitungan kursi DPR dan DPRD. Termasuk dalam bagian ini adalah memperjelas kriteria mengenai sisa suara yang dapat ditarik ke tingkat provinsi dan kriteria penempatan peroleh kursi tahap II pada daerah pemilihan yang masih memiliki sisa kursi yang terbagi. Kejelasan mengenai masalah ini sekaligus diyakini dapat mengurangi sengketa hasil pemilu.

Hal lain yang mungkin tidak kalah penting diuraikan dalam bagian ini adalah penggunaan kartu tanda penduduk (KTP) sebagai kartu pemilih. Sebagaimana diketahui, pada pemilu yang lalu Mahkamah Konstitusi sudah membolehkan penggunaan KTP sebagai identitas diri pemilih, bukan hanya kartu pemilih yang dikirimkan oleh pihak KPU. Penggunaan KTP ini menjadi semakin kontekstual dibicarakan karena terkait dengan program pemerintah untuk menerapkan e-KTP (KTP elektronik). Melalui e-KTP diharapkan seluruh warga negara hanya memiliki satu kartu identitas (single identity).  Bila program ini berjalan dengan baik, maka masalah DPT dan yang sejenisnya akan dapat dihindari sedini mungkin. Lebih dari itu, bila e-KTP juga dapat dijadikan sebagai kartu tanda pemilih yang sah, maka pemerintah dan KPU tidak perlu lagi membuang anggaran untuk membuat kartu pemilih.

Penutup

Penyelenggaraan pemilu yang demokratis harus ditopang oleh dua elemen, yaitu elemen prosedural dan elemen substansial. Kedua elemen ini harus berjalan secara beriringan. Elemen prosedural pada intinya adalah bagaimana seluruh proses dan tahapan pemilu diselenggarakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sementara elemen substansial adalah bagaimana melalui mekanisme pemilu seluruh suara rakyat yang berhak dapat disalurkan secara benar. Pembumian kedua elemen ini dapat dilaksanakan dengan sempurna jika KPU sebagai institusi penyelenggara pemilu dapat menjalankan fungsinya dengan baik.

Ada tiga komponen yang harus terlibat aktif untuk membantu KPU dalam penyempurnaan pelaksanaan pemilu, yaitu pemerintah, DPR, dan masyarakat. Kesemua elemen ini harus bekerjasama dalam memperjuangkan terselenggaranya pemilu yang adil. Perjuangan terhadap pemilu yang adil pada akhirnya akan melahirkan keadilan sosial, keadilan ekonomi, keadilan lingkungan, dan keadilan terhadap pelaku-pelaku kriminal. Dengan kata lain, berbagai macam perjuangan keadilan yang dikemukakan Barbara Boxer pada bagian awal tulisan ini justru harus dimulai dengan perjuangan untuk mewujudkan pemilu yang adil.

Reminders: Hindari Plagiasi, tulisan ini telah diterbitkan di dalam jurnal  "Analisis CSIS" Edisi Mei 2012. Bila hendak mengutip, silahkan mengutip sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menghargai pemikiran penulisnya.


                [1] Lili Romli, Evaluasi Pemilu Legislatif 2009: Tinjauan Atas Proses Pemilu, Strategi Kampanye, Perilaku Memilih, Dan Konstelasi Politik Hasil Pemilu (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 209), h. 91.

                [2] Lebih lanjut mengenai hambatan ini lihat,  Syafriadi S. Yatim dkk (Ed.), Buku Saku Pemilu 2009  (Jakarta: Biro Teknis dan Hupmas KPU, 2010), h. 49.

 

Related Posts