Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mendengar ungkapan-ungkapan yang membuktikan adanya pandangan relativisme moral dalam masyarakat. Contoh-contoh ungkapan itu antara lain, "Apa yang benar menurutmu, belum tentu benar menurutku", "Kamu tidak berhak mengatakan apa yang harus kulakukan", "Meskipun aku punya pendirian lain, namun aku tidak menyalahkan pendirianmu", dan lain-lain. Kadang-kadang, secara tidak sadar pandangan relativis ini juga diajarkan di sekolah-sekolah. Lihatlah, misalnya, ketika guru mengatakan, "Jangan takut memberikan jawaban. Tidak ada jawaban yang benar dan salah. Saya hanya mau mendengar pendapat kalian saja".
Meski dinyatakan dalam bahasa sederhana yang mudah dicerna, namun ungkapan tersebut sesungguhnya membawa konsekuensi etis. Di dalamnya tersirat adanya pembenaran terhadap relativitas moral. Kebenaran bukanlah milik seseorang atau sekelompok orang. Kebenaran adalah milik siapa saja. Tergantung dari sudut pandang mana kita melihat kebenaran tersebut.
Relativisme moral adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua moralitas yang terdapat di masyarakat adalah benar. Menurut aliran ini, perbedaan penilaian terhadap kebenaran suatu tindakan sangat tergantung dari cara pandang masing-masing orang atau kelompok orang. Contoh yang sering diungkapkan adalah perilaku orang Eskimo yang membunuh orang-orang tua mereka yang sudah uzur. Menurut mereka, tindakan ini adalah bagian dari kebaktian kepada orang tua. Alasannya, sangat tidak manusiawi membiarkan seseorang yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk bertahan hidup di tengah kerasnya alam di kutub Utara. Dengan demikian, tindakan itu dimaksudkan agar orang tua tersebut terhindar dari kesusahan dan penderitaan hidup.Tindakan seperti ini tentu tidak bisa diterima dan dibenarkan oleh orang-orang yang hidup di belahan dunia lain. Pada titik ini, sekali lagi, apa yang menurut suku Eskimo benar ternyata belum tentu benar (atau bahkan bisa dianggap salah) oleh orang-orang lain.
Dalam mempelajari etika, moral relativisme itu dikelompokkan ke dalam dua bagian yaitu relativisme subjektif dan relativisme budaya. Secara sederhana, relativisme subjektif berpendapat bahwa kebenaran moral tergantung pada masing-masing individu. Sementara relativisme budaya mengatakan bahwa kebenaran moral tergantung pada budaya yang terdapat di tengah masyarakat. Kedua relativisme ini sama-sama menolak keberadaan moralitas absolut. Tidak ada moralitas objektif bagi semua orang di semua tempat dan di semua waktu.
Bagi orang yang menganut paham relativis, tentu tidak pada tempatnya untuk mengajukan pertanyaan abstrak tentang apakah suatu tindakan itu benar atau salah. Relativisme moral tidak mengenal baik dan buruk dalam bentuk abstrak; baik dan buruk hanya ada dalam suatu konteks tertentu. Karena itu, suatu tindakan bisa jadi baik bagi seseorang tetapi buruk bagi orang lain. Tetapi ingat, satu tindakan tidak bisa dinilai baik dan buruk sekaligus. Hanya ada satu pilihan, tindakan itu baik atau tindakan itu buruk.
Selain relativisme moral, relativisme juga terdapat dalam ontologi, epistemologi, dan agama. Relativisme ontologis menyebutkan bahwa tidak ada realitas absolut. Masing-masing orang punya persepsi sendiri dalam melihat realitas. Sebagian orang menyatakan realitas itu hanya bersifat empiris, sementara sebagian lain menyatakan bahwa selain realitas empiris ada juga realitas metafisis. Menurut paham relativisme ontologis, kedua pandangan ini dinilai sama-sama benar.
Sementara itu, relativisme epistemologi menyebutkan bahwa tidak ada sesuatu yang absolut dalam ilmu pengetahuan. Menurut paham ini, berkembangnya ilmu pengetahuan justru karena pengetahuan itu tidak absolut. Kalau semua orang mengatakan bahwa pengetahuan itu absolut, niscaya tidak akan ada lagi penemuan-penemuan baru yang muncul. Semua orang akan merasa cukup dengan pengetahuan yang sudah dianggap absolut tersebut.
Sedangkan relativisme agama menyebutkan bahwa tidak ada satu pun agama yang dinilai benar. Atau dalam bahasa positifnya bisa juga disebut bahwa semua agama adalah benar. Masing-masing agama dinilai dapat menuntun manusia menuju kebenaran. Oleh karena itu, satu pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa agamanya adalah agama paling benar. Mereka juga harus meyakini bahwa di dalam agama lain juga terdapat kebenaran yang sama. Dua atau beberapa hal yang memiliki kebenaran yang sama, tidak bisa saling menyalahkan dan menjatuhkan. Karena itu, yang paling mungkin dilakukan adalah sama-sama membuka ruang untuk saling membenarkan.