Kunjungan

Suka Duka Belajar di Negeri Orang (9)

Tidak terasa, semester pertama begitu cepat berlalu. Alhamdulillah, nilai yang saya peroleh pada semester tersebut sangat baik. Dengan nilai baik itu, saya berhak mengajukan permohonan kepada Ford Foundation untuk membawa anak dan isteri saya ke Fort Collins.

Sesaat setelah mengetahui hasil ujian, saya pun mengirimkan email kepada pengurus beasiswa Ford. Di dalam email itu secara eksplisit saya sebutkan rencana saya untuk membawa keluarga ke AS. Oleh karena itu, saya mohon agar dikeluarkan surat persetujuan dari Ford sebagai persyaratan untuk memperoleh visa di kedutaan besar AS di Jakarta.

Alhamdulillah, permohonan saya tersebut dikabulkan dengan beberapa catatan. Pertama, saya harus bisa membuktikan bahwa saya memiliki uang sebanyak $ 12000 (waktu itu kurang lebih 120 juta) sebagai jaminan bahwa saya mampu membiayai seluruh kebutuhan keluarga selama di sana. Kedua, selama di AS, seluruh kebutuhan keluarga yang dibawa tidak ditanggung oleh Ford. Ketiga, biaya perjalanan keluarga ditanggung sendiri oleh mahasiswa.

Persyaratan tersebut sebetulnya telah lama saya ketahui bahkan sebelum berangkat ke AS. Karena itu, persyaratan-persyaratan itu telah saya siapkan sebelumnya. Untuk persyaratan pertama, misalnya, saya terpaksa menjual mobil Xenia saya yang kredit-nya sudah mau selesai sekitar 5 bulan kemudian. Sayangnya, uang penjualan mobil itu tidak cukup untuk melengkapi persyaratan. Oleh karena itu, saya harus rela mengirimkan uang buku, sisa pembelian laptop, uang keluarga (yang memang termasuk bagian dari beasiswa) ke Indonesia. Untuk menutupi kekurangannya, saya meminjam sedikit dari keluarga. Alhamdulillah persyaratan pertama pun bisa teratasi.

Setelah semua persyaratan untuk pengajuan visa dikeluarkan Ford, saya kembali ke Indonesia untuk menjemput anak dan isteri saya sekaligus mengikuti ujian desertasi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Agenda "pulang kampung" kali ini menjadi sangat penting. Selama liburan satu bulan, saya harus memastikan bahwa saya bisa menyelesaikan kuliah S-3 saya sebelum kembali lagi ke AS bersama keluarga. Ketika itu, tahap-tahap yang mesti dilalui adalah ujian tertutup, ujian bahasa, perbaikan, dan promosi. Tahapan-tahapan itu tentu tidaklah mudah. Untuk bertemu pembimbing dan penguji saja memerlukan waktu. Ditambah untuk memperbaiki dan meminta persetujuan penguji dan pembimbing terhadap hasil perbaikan itu.

Oh ya, perlu dijelaskan sedikit bahwa selama saya mengikuti kuliah pada semester pertama di CSU, pada waktu yang bersamaan saya juga menulis kelengkapan disertasi saya. Bab demi bab saya perbaiki dan emailkan ke Indonesia. Lalu, isteri saya (yang tidak tahu menahu soal desertasi itu) saya minta bertemu dengan pembimbing untuk mendapatkan koreksian. Untungnya, para pembimbing memahami kondisi saya. Dan berkat bantuan isteri, proses bimbingan pun selesai sebelum saya kembali ke Indonesia. Kuliah seperti ini sebetulnya sudah pernah saya lakoni ketika saya pada waktu yang sama mengikuti kuliah S-2 di dua kampus (UIN Jakarta dan UI) beberapa tahun sebelumnya.

Seperti yang saya doakan, alhamdulillah proses penyelesaian kuliah saya berjalan dengan baik. Semua tahapan tersebut saya lalui dengan baik. Meskipun tidak bisa mengejar wisuda, namun semua kewajiban kuliah saya untuk menyelesaikan studi S-3 dapat saya selesaikan. Karena itu, tidak ada halangan sedikitpun untuk bisa membawa isteri dan anak saya ke AS.

Banyak kawan yang bertanya, mengapa harus membawa anak dan isteri? Bukankah bisa pulang setiap semester untuk bertemu dengan anak dan isteri? Bukankah biaya yang dikeluarkan jauh lebih mahal dari ongkos pulang setiap semester?

Jawaban saya sangat sederhana. Sebagai orang kampung, saya mengatakan bahwa ini adalah kesempatan berharga bagi saya untuk memberikan pengalaman hidup bagi anak dan isteri saya. Tidak ada satu pun jaminan bahwa saya bisa hidup menimba pengalaman hidup di luar negeri bersama keluarga kecuali saat itu. Lagi pula, biarlah susah dan senangnya sekolah di luar negeri turut mereka rasakan. Dan bukankah seluruh proses yang saya jalani juga bukan semata-mata untuk kepentingan pribadi saya, tetapi kepentingan seluruh anggota keluarga? Dan yang lebih penting dari itu, ini adalah bukti kecintaan saya pada anak dan isteri. Dengan alasan ini, tidak ada sedikitpun keraguan bagi saya untuk membawa keluarga. Dan saya masih ingat, dari seluruh penerima beasiswa Ford pada waktu itu, hanya ada dua tiga orang yang "berani" membawa keluarganya.

Setelah urusan visa selesai, akhirnya saya, isteri dan anak saya berangkat ke AS. Perjalanan yang cukup melelahkan. Setelah singgah di Singapore, kami harus transit lagi di Jepang, dan baru kemudian ke Los Angeles. Dan dari Los Angeles terbang lagi sekitar 3 jam menuju Denver-Colorado. Sesampai di Denver, kami kemudian naik bis menuju kota Fort Collins dimana kampus CSU berada.

Ketika kami sampai, suhu udara betul-betul sangat dingin. Salju sudah turun beberapa hari sebelumnya. Dari terminal bis Fort Collins, kami dijemput oleh teman kuliah saya, Wynn Staples. Syukur alhamdulillah, perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan itu berakhir di kompleks Apartment Aggie Village milik kampus. Oleh karena sebelum pulang ke Indonesia saya telah membayar dan memesannya, kami langsung bisa menginap malam itu di apartment tersebut.

Bersambung…

Related Posts