BeritaHot IssueNasional

Ulasan Permenkes PSBB: Tak Efektif, Birokratis, dan Tak Ada Sanksi

Menteri Kesehatan, Terawan, akhirnya menerbitkan Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang mengatur detail syarat pemerintah daerah mengajukan PSBB.

Namun Permenkes yang diterbitkan Sabtu (5/4) itu dinilai tidak efektif. Alih-alih ingin mencegah penyebaran COVID-19, justru Pemda dibebankan syarat berbelit agar daerahnya ditetapkan PSBB.
“Ketentuan yang ada di dalam Permenkes tidak begitu jauh berbeda dengan apa yang ada di peraturan pemerintahnya (PP tentang PSBB). Yang baru hanya mendetailkan prosedur pengajuan PSBB oleh kepala daerah,” ucap anggota Komisi IX DPR, Saleh Daulay, kepada kumparan, Miggu (5/4).
Berikut ulasan Permenkes soal PSBB:
  1. Tidak Efektif
Permenkes 9/2020 adalah kelanjutan dari Peraturan Pemerintah (PP) 21/2020 yang diterbitkan Presiden Jokowi, yang ternyata tidak mengatur apa pun, selain melempar tanggung jawab PSBB pada Pemda.
Dengan begitu, dalam Permenkes, Terawan hanya menegaskan apa yang ada dalam PP dan UU soal cakupan PSBB. Tidak ada yang signifikan selain peliburan tempat kerja dengan pengecualian instansi tertentu.
Namun transportasi massal yang menjadi kekhawatiran penularan virus tidak dihentikan, hanya diatur jarak penumpangnya.
Pasal 13
(1) Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan;
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum;
d. pembatasan kegiatan sosial dan budaya;
e. pembatasan moda transportasi; dan
f. pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.
“Setelah membaca semua pasal-pasalnya, saya berkesimpulan bahwa Permenkes ini tidak efektif dalam mengatur kerja-kerja besar perang melawan corona,” kritik Saleh Daulay.
  1. Terkendala Syarat Data COVID-19
PSBB diajukan oleh gubernur/wali kota/bupati kepada Menkes Terawan dengan beberapa persyaratan yang tidak mudah terkait jumlah kasus di daerah.
Pasal 4
(1) Gubernur/bupati/wali kota dalam mengajukan permohonan PSBB kepada Menteri harus disertai dengan data:
a. peningkatan jumlah kasus menurut waktu;
b. penyebaran kasus menurut waktu; dan
c. kejadian transmisi lokal.
(2) Data peningkatan jumlah kasus menurut waktu disertai dengan kurva epidemiologi.
(3) Data penyebaran kasus menurut waktu disertai dengan peta penyebaran menurut waktu.
(4) Data kejadian transmisi lokal disertai dengan hasil penyelidikan epidemiologi yang menyebutkan telah terjadi penularan generasi kedua dan ketiga.
(5) Selain data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) gubernur/ bupati/wali kota dalam mengajukan permohonan PSBB kepada Menteri juga menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, dan aspek keamanan.
“Soal kurva epidemologi, memang sekarang ini sudah ada? Seperti apa kurva tersebut? Yang berhak membuatnya siapa? Begitu juga dengan peta penyebarannya. Seperti apa peta penyebaran yang dimaksud?,” ujar Saleh Daulay.
“Sejauh ini pemerintah belum pernah merilis secara resmi peta penyebaran. Yang ada hanya penambahan jumlah yang positif dan meninggal saja. Kalau di pusat saja hal itu sulit dikerjakan, saya khawatir, ini malah akan menyulitkan dalam proses penerapan PSBB di daerah,” imbuhnya.
  1. Birokratis
Pengajuan oleh gubernur/wali kota/bupati kepada Menkes akan diproses lewat birokrasi panjang, yaitu diproses tim yang dibentuk Menkes dan dikaji Gugus Tugas. Setelah dua hari kajian, baru penetapan PSBB terbit.
Pasal 5:
(1) Dalam rangka penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar, Menteri membentuk tim.
(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
a. melakukan kajian epidemiologis; dan
b. melakukan kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan.
(3) Dalam melakukan kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tim berkoordinasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) khususnya terkait dengan kesiapan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Daerah
“Sepintas, prosedur biroraktif seperti itu sangat baik. Tetapi karena panjangnya alur birokrasi, dikhawatirkan akan memperlambat tugas dalam penanganan COVID-19. Sementara, sebagaimana kita ketahui bersama, penyebaran virus ini berlangsung cukup cepat,” lanjut Saleh Daulay.
  1. Tidak Ada Sanksi
Permenkes sepanjang 28 halaman yang menjadi pedoman PSBB, ternyata tidak mengatur soal sanksi. Artinya pelanggaran PSBB seperti kantor tetap mempekerjakan karyawan atau transportasi umum tak menjaga physical distanting, tak disanksi.
“Baik di dalam Peraturan Pemerintah No. 21/2020 maupun di dalam Permenkes No. 9/2020 ini tidak ditemukan sanksi bagi yang melanggar. Itu artinya, penetapan PSBB dengan serentetan birokrasinya boleh saja tidak ditaati. Dan ketidaktaatan itu sebenarnya sudah terjadi dan dapat dilihat di tengah masyarakat,” lanjut Saleh.
“Saya khawatir, peraturan pemerintah dan permenkes PSBB ini hanya akan menjadi dokumen kearifan. Dokumen kearifan yang berada di tempat yang tinggi tetapi tidak terimplementasi di bumi.” – Saleh Daulay
Waki Ketua Fraksi PAN itu menyebut mestinya, PSBB diatur efektif tanpa birokrasi dan syarat berbelit. Misal dengan cukup memberi wewenang pada Gugus Tugas.
“Saya melihat bahwa prosedur penetapan PSBB jauh lebih mudah jika diajukan oleh Gugus Tugas. Tidak seperti kepala daerah, pengajuan oleh gugus tugas tidak perlu menyampaikan informasi mengenai kesiapan daerah tentang aspek ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat, sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan operasionalisasi jaring pengaman sosial, serta keamanan. Dalam permenkes, itu menjadi tugas dari kepala daerah,” pungkas mantan Ketum PP Pemuda Muhammadiyah itu.

Sumber: https://kumparan.com/

Related Posts