Berita

Bangun Kembali Panggung Sejarah Pemuda Indonesia

JAKARTA – Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-84 jangan sekadar ritual untuk mengingat sejarah, melainkan harus menjadi momentum bagi generasi muda untuk kembali membangun panggung sejarahnya dalam kepemimpinan nasional. "Untuk itu, regenerasi kepemimpinan nasional menjadi penting. Dengan regenerasi maka kekuatankekuatan politik tidak hanya berkutat pada elite-elite politik lama. Pemuda harus tampil dalam panggung politik nasional," tegas sosiolog dari Universitas Airlangga Surabaya, Airlangga Pribadi, saat dihubungi Koran Jakarta, Jumat (26/10).

Airlangga mengingatkan sejatinya Sumpah Pemuda yang disuarakan jauh sebelum kemerdekaan adalah pembuktian bahwa pemuda bisa punya panggung sejarahnya sendiri. Peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-84 yang jatuh pada 28 Oktober 2012 harus menjadi spirit bagi kaum muda untuk merebut tampuk kepemimpinan nasional secara demokratis.

"Elite-elite partai politik seharusnya menyadari bahwa regenerasi kepemimpinan nasional itu sangat penting untuk menjaga kesinambungan bangsa," tegas Airlangga.

Sementara itu, Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah, Saleh Daulay, mengatakan Sumpah Pemuda sejatinya adalah perjanjian luhur para pemuda Indonesia dalam membingkai semangat nasionalisme. Di dalam Sumpah Pemuda terdapat ikrar untuk bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, yaitu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.

"Melalui Sumpah Pemuda, seluruh komponen anak bangsa dipersatukan. Semua orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Tidak boleh ada tindakan diskriminatif atas dasar perbedaan suku, budaya, ras, letak geografis, dan juga agama," kata dosen filsafat politik UIN Syarif Hidayatullah itu.

Karena itu, kata Saleh, Sumpah Pemuda juga harus dimaknai sebagai deklarasi pemberlakuan nilai-nilai keadilan bagi seluruh anak bangsa. Sayangnya, di era kekinian, kelihatannya terjadi penyimpangan terhadap ketiga perjanjian luhur itu. "Saat ini, banyak komponen masyarakat yang merasa tidak memiliki Indonesia sebagai tanah airnya. Masih ada banyak rakyat Indonesia yang tidak memiliki lahan pertanian," ujar Saleh.

Bahkan, sebagian di antaranya, kata Saleh, tak memiliki lahan untuk sekadar pertapakan rumah. Mereka merasa terasing di tanah air sendiri, sementara di lain pihak, ada satu atau dua korporasi yang memiliki lahan lebih dari 2 juta hektare. "Mereka merasa paling memiliki terhadap tanah air ini," ujar dia.

Dari sisi semangat kebangsaan, saat ini bisa disaksikan masih ada beberapa komponen anak bangsa yang ingin melepaskan diri dari ikatan kebangsaan. Mereka merasa bukan lagi bagian dari rumah besar Indonesia. Mereka ingin membangun rumah baru yang mereka yakini lebih menjanjikan. "Yang perlu dilakukan untuk menjahit nasionalisme yang mulai robek ini, menurut saya, adalah dengan menerapkan keadilan bagi semua," kata dia. ags/P-4

Sumber: http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/104106/hl

Related Posts