Ada banyak cerita yang dapat diambil dari pengalaman saya mengikuti Dialog Bilateral Hak Asasi Manusia Antara Indonesia dan Norwegia (Bilateral Human Rights Dialogue Between Norway and Indonesia). Sebagai informasi, dialog bilateral ini dilakukan sekali setahun dan pertama kali dilakukan pada tahun 2001 yang lalu. Pelaksanaannya dilakukan secara bergantian. Bila tahun ini dilaksanakan di Norwegia, maka tahun depan dilaksanakan di Indonesia. Begitu juga sebaliknya.
Biasanya ada tiga kelompok isu besar yang dibicarakan yaitu; hak-hak asasi anak, HAM dan sistem keamanan negara, serta HAM dan dialog lintas iman. Berdasarkan isu itu, peserta yang diundang adalah para aktivis perlindungan anak, aparat keamanan (TNI dan Polri), dan juga para tokoh agama. Sejauh ini, dari sepuluh kali pelaksanaan dialog, saya berkesempatan menjadi delegasi resmi Indonesia sebanyak tiga kali, dua kali saya ikuti di Norwegia dan satu kali di Jakarta. Terakhir saya mengikuti kegiatan ini di Oslo dari tanggal 20-22 Juni 2011. Seperti biasanya, saya bersama beberapa tokoh-tokoh agama di Indonesia masuk dalam kelompok HAM dan dialog lintas iman.
Dari sekian banyak topik yang dibicarakan di kelompok kami, ada satu masalah, menurut saya, yang paling krusial bagi delegasi Norwegia. Saking krusialnya, mereka selalu menanyakan masalah ini dalam setiap dialog yang dilakukan. Masalah itu adalah "mengapa di dalam KTP Indonesia dicantumkan kolom agama?".
Bagi mereka, pencantuman kolom agama di kartu tanda penduduk adalah salah satu bentuk diskriminasi.Pasalnya, dengan mencantumkan agama di dalam KTP itu berarti hanya menguntungkan bagi kelompok mayoritas dan sebaliknya menjadi beban bagi kelompok minoritas. Sering sekali mereka mencontohkan seseorang yang hendak melamar pekerjaan. Dalam lamaran tersebut, biasanya selalu dilampirkan KTP. Nah, mereka sangat khawatir bila calon-calon dari agama minoritas tidak diloloskan karena subjektivitas para penilai yang rata-rata berasal dari kelompok agama mayoritas.Bila itu terjadi, pencantuman kolom agama di dalam KTP akan melegalkan tindakan diskriminatif di tengah-tengah masyarakat.
Menanggapi keberatan tersebut, pihak Indonesia menjawab dengan mengatakan bahwa pencantuman kolom agama dalam KTP bukan bentuk diskriminasi. Bahkan sebaliknya, pencantuman kolom agama itu justru memberikan penghargaan terhadap setiap penganut agama. Sebagai contoh, bila seseorang menghadapi kecelakaan di jalan raya. Lalu, tidak ada satu orang pun kerabat yang mengenalinya. Pertanyaannya, dengan cara bagaimana orang akan mengkebumikan orang tersebut? Apakah dengan cara Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu, atau Kongkhucu? Sementara, penghormatan terhadap penganut agama sangat dilindungi di Indonesia. Buktinya, sila pertama Pancasila berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dengan adanya kolom agama di KTP, maka secara pasti orang tersebut akan diberikan penghormatan terakhir sesuai dengan agama dan keyakinan yang dimilikinya. Pada titik ini, pencantuman kolom agama menemukan urgensitasnya.