Riset

Kloning Manusia dalam Perspektif Etika dan Agama (1)

Islam merupakan jalan hidup (way of life) yang harus diikuti oleh seluruh umat Islam untuk merealisasikan  seluruh kehendak Tuhan  di muka bumi. Oleh karena itu, segala aktivitas umat Islam harus didasarkan pada prinsip syariat Islam yang asasi (al-‘adillat al-syar’iyat al-asasiyat), yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kedua asas tersebut diyakini akan tetap mampu menjawab segala tantangan zaman hingga hari kiamat. Berkenaan dengan itu, terdapat sebuah tautologi ushul fiqh populer yang berbunyi الإسلام صالح لكل زمان ومكان   (Islam senantiasa cocok di setiap waktu dan tempat)[1]. Tautologi ini merupakan jaminan bahwa seluruh persoalan yang dihadapi umat manusia dapat dicarikan solusinya dalam kedua sumber hukum Islam tersebut.

Akan tetapi, realitas menunjukkan bahwa seluruh persoalan yang dihadapi manusia tidak selamanya sesuai dengan hal-hal yang ideal sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadits[2].  Perbedaan waktu (zaman Nabi dengan sekarang) dan tempat (jazirah Arabia dengan daerah lain) merupakan dua hal yang mendasari munculnya ketidaksesuaian tersebut. Untuk memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam saat ini, para ahli hukum Islam (fuqaha) masih membutuhkan cabang sumber hukum lain yang disebut dengan  al-‘adillat al-syar’iyat al-furu’iyat yaitu ijma’ dan qiyas.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu bukti bahwa Al-Qur’an dan Hadits, sebagai sumber utama hukum Islam, perlu diinterpretasi ulang agar tetap mampu memberikan respon terhadap problematika kehidupan yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Kloning, misalnya, merupakan salah satu wacana ilmu pengetahuan mutakhir yang sulit dirujuk secara langsung kepada Al-Qur’an dan Hadits. Konsekuensinya, para fuqaha diharuskan mencari referensi alternatif untuk menjawab persoalan tersebut. Dengan menggunakan berbagai referensi yang cukup variatif, mereka pun memberikan jawaban yang saling berbeda antara satu dengan lainnya, bahkan tidak jarang penuh dengan nuansa spekulasi[3].

Terkait dengan diskursus masalah kloning, Islam tidak boleh berdiam diri dan bersikap statis. Penerapan teknologi biologi ini memang pada mulanya hanya menyentuh ranah pengetahuan ilmiah belaka karena dia dihasilkan melalui proses scientific exploration (eksplorasi ilmiah). Tetapi secara langsung maupun tidak langsung, kloning dapat saja memporakporandakan sendi-sendi ajaran agama dan etika universal. Pada tataran ini, kloning tidak saja berada pada ranah ilmu pengetahuan, tetapi lebih jauh dari itu ia telah melakukan loncatan yang cukup jauh terhadap disiplin ilmu lain seperti etika, sosiologi, ekonomi, gender, dan juga ilmu agama. 

Bila ditinjau dari sudut etika, penerapan kloning dapat dilihat dari dua sudut pandang berbeda yaitu deontologi dan teleologi. Pada paham deontologi, penilaian etis-tidaknya suatu perbuatan lebih ditekankan kepada perbuatan itu sendiri. Tokoh utama paham ini adalah Immanuel Kant yang terkenal dengan teori categorical imperative-nya. Menurutnya, perbuatan yang secara umum (universal) dinyatakan terlarang, apa pun alasannya tidak boleh dilakukan. Mencuri, membunuh, atau berbohong adalah perbuatan yang secara umum dianggap tidak baik atau jahat, dan karena itu tidak boleh dilakukan meskipun tujuannya, misalnya, untuk menyelamatkan orang lain[4].

Sebaliknya paham teleologi lebih menilai pada tujuan atau akibat yang dituju dari perbuatan itu. Kalau tujuannya berupa suatu kebaikan, perbuatan itu masih diperbolehkan untuk dilakukan. Oleh karena itu, sering juga penganut paham ini disebut sebagai konsekuensialis. Jadi, menurut faham ini, mencuri, membunuh, dan berbohong untuk menyelamatkan nyawa seseorang diperbolehkan. Itu tidak berarti bahwa paham deontologi tidak membolehkan menyelamatkan orang lain. Hanya saja, ia menekankan agar penyelamatan itu tidak dilakukan melalui perbuatan yang secara umum dianggap tidak baik[5].

Dalam kehidupan sehari-hari sangat jarang ditemukan orang yang sepenuhnya, secara mutlak, menganut paham deontologi ataupun teleologi saja. Lebih banyak terlihat mereka yang mencampurkan kedua paham tersebut. Yang jelas, kedua paham besar etika itu menghendaki bahwa apa pun yang dilakukan adalah demi kebaikan dan untuk kesejahteraan manusia. Dalam rangka menggabungkan kedua paham itu, para ahli biologi kemudian menyusun suatu etika baru yang disebut dengan istilah bioetik (etika biologi).

Dalam membicarakan kloning dari sudut pandang bioetik (tanpa mengaitkannya dengan agama), paham deontologi akan melihat apakah perbuatan penerapan kloning itu perbuatan yang secara umum dianggap jahat (evil) bagi kehidupan manusia sehingga tidak boleh dilakukan, ataukah justru sebaliknya lebih banyak mendatangkan kebaikan bagi manusia. Selanjutnya bila paham teleologi yang dipakai, ia akan menilai apakah tujuan dan akibat yang ditimbulkan oleh kloning baik atau tidak. Jawaban yang diberikan oleh kedua jenis paham etika tersebut tidak dapat diuraikan secara sederhana. Masih diperlukan kajian yang lebih dalam untuk memilah secara jelas duduk persoalan yang terkait dengan kloning itu sendiri.

Bersambung pada bagian II

Reminders: Hindari Plagiasi, tulisan ini telah diterbitkan dalam bentuk buku. Bila hendak mengutip, silahkan mengutip sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menghargai pemikiran penulisnya.

Sumber: Tulisan ini adalah bahagian pertama bab I buku saya "Kloning Menurut Pandangan Islam"  yang diterbitkan oleh Teraju (group Mizan).


[1] Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Logos, 1997), h. 14.

[2] Pada saat ajaran Islam diturunkan, segala persoalan yang belum jelas kedudukannya dalam hukum Islam dapat ditanyakan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam konteks tertentu, nabi secara langsung menjawab dan memberikan solusi terhadap persoalan itu. Dalam ilmu musthalah al-hadits, tindakan rasul itu diklasifikasikan dalam ilmu asbab al-wurud al-hadits. Lihat, ‘Ajjaj al-Khatib,  Ushul al-Hadits, ‘Ulumhu wa Mushthalahuhu, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 290.  Sementara dalam konteks lain, rasul tidak langsung memberikan jawaban, akan tetapi menunggu petunjuk dari Allah SWT melalui turunnya wahyu. Keterkaitan antara pertanyaan para sahabat dengan jawaban yang diberikan Al-Qur’an dalam ‘Ulum al-Qur’an disebut dengan asbab al-nuzul. Lebih jauh lihat, Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, (tanpa tempat terbit : Mansyurat al-‘Asr al-Hadits, 1973), h. 75-95. Keberadaan Asbab al-wurud  dan asbab al-nuzul merupakan bukti konkrit bahwa persoalan yang dihadapi manusia selalu berkembang sesuai dengan tingkat intelegensia yang mereka miliki.

[3] Saleh Partaonan Daulay dan Mhd. Syahnan, “Human Cloning in Islam : An Ethical and Jurisprudential Analysis”, Dalam Jauhar, Vol. 2 No. 2. Desember 2001, h. 332. 

[4] Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika, (Yogyakarta : Kanisius, 1997), h. 145-149.

[5] Franz Magnis Suseno, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta : Kanisius, 1992), h. 27-40.

 

Related Posts