Riset

Amerika Harus Berubah

Resensi buku: "The Post-American World” Karya Fareed Zakaria

Secara umum, Fareed Zakaria dalam “The Post-American World” membicarakan potret masa depan tata dunia baru yang berubah secara gradual. Dia memprediksikan akan terjadi transformasi yang tak terelakkan berupa bangkitnya kekuatan ekonomi baru di negara-negara lain seperti India, Cina, Rusia, Uni Eropa, Brazil, dan Meksiko. Kekuatan baru itu secara otomatis akan memiliki pengaruh yang cukup besar di pentas global. Fenomena ini menggambarkan sebuah perubahan alamiah yang menimbulkan tantangan tersendiri bagi Amerika.

Zakaria menyebutkan bahwa tata dunia baru tidak secara langsung akan mengancam kepemimpinan Amerika. Namun demikian, pengaruh Amerika terhadap negara-negara lain relatif berkurang. Mau tidak mau, Amerika harus mencari pendekatan baru dalam menghadapi perubahan politik dunia.

Amerika Serikat bisa saja tetap menjadi pemimpin dalam tata dunia baru itu. Tetapi berbeda dengan sebelumnya, ia tidak lagi dapat memperoleh keuntungan sebagai kekuatan dominan seperti yang terjadi selama ini. Dalam sistem yang terus berkembang, Amerika diyakini tetap mampu menduduki posisi tertinggi dibanding negara-negara lain meskipun pada saat yang sama negara ini merupakan negara paling merasakan dampak akibat terbentuknya tata dunia baru tersebut. Zakaria mengatakan bahwa Amerika akan menghadapi tantangan baru dari perubahan geopolitik karena secara kasat mata negara inilah yang paling banyak mendapat keuntungan dari sistem yang ada saat ini.

Di bawah sistem yang lama, Amerika selalu memainkan peranan penting pada hampir semua proses pengambilan keputusan dalam bidang ekonomi dan politik. Pada awal tahun 1990-an, mantan menteri luar negeri AS, James Baker, pernah menggambarkan bahwa posisi Amerika kala itu adalah sebagai fokus utama dari sistem yang ada dimana hampir setiap negara membutuhkan AS untuk mendapatkan keinginan-keinginannya. Hari ini, berbagai negara dan para aktor dunia internasional secara langsung sudah dapat saling berinteraksi tanpa harus melibatkan AS.

Tata dunia baru, menurut Zakaria, tidak lagi membutuhkan suatu negara tertentu yang dapat mengintegrasikan berbagai kepentingan. Artinya, AS tidak lagi menjadi faktor penentu dalam merumuskan aturan permainan (the rules of the game) dalam pergaulan internasional. Di masa lalu, negara-negara yang baru bergabung ke dalam percaturan global selalu berusaha menyesuaikan diri dengan sistem yang diadopsi Barat. Kini, semua negara dapat membawa sistem, nilai, dan metode sendiri-sendiri untuk ditawarkan ke negara-negara lain. Akibatnya, kekuatan baru dengan sendirinya akan mendefinisikan ulang sistem yang ada selama ini.

Analisis Zakaria tentang dunia modern memunculkan suatu rumusan baru yang membedakan antara Americazation, Westernization, dan standardization.  Menurutnya, negara-negara berkembang secara perlahan tapi pasti akan menjadi negara-negara modern. Mereka mengadopsi metode sendiri yang disesuaikan dengan kebudayaan masyarakat. Modernitas menjadi sesuatu yang sangat cair karena sangat ditentukan oleh letak geografis, sejarah, kepentingan, model bisnis, dan kapabilitas masing-masing negara.

Berkaca pada analisis Zakaria ini, dengan mudah disimpulkan bahwa meskipun kekuatan Barat mengusasi proses modernisasi, namun mereka tidak dapat mengontrol tujuan dari modernisasi itu. Semakin banyak negara yang mengambil peran dalam perdagangan global, tata dunia menjadi semakin kompleks dan multikultural. Meski bahasa Inggris diyakini akan tetap mendominasi dalam transaksi bisnis modern, namun norma baru juga akan diintegrasikan ke dalam struktur budaya dan bahasa lokal.

Hegemoni dan Arogansi Imperialis

Satu hal yang sangat paradoks dalam sejarah Amerika Serikat adalah meskipun mereka secara konsisten menolak sistem kerajaan, tetapi negara ini mengadopsi pendekatan imperialis dalam kebijakan-kebijakan luar negerinya. Mengenai hal ini, Zakaria merujuk pada sikap Amerika ketika Uni Soviet runtuh pada tahun 1991. Ketika itu, menurut Zakaria, Presiden George H.W Bush menerapkan prinsip multilateralisme sebagai landasan dalam menentukan kebijakan-kebijakan luar negerinya. Anehnya, pada saat itu Amerika juga mengklaim sebagai satu-satunya negara super power. Prinsip multilateralisme tentu sangat bertentangan dengan klaim AS sebagai satu-satunya negara adidaya.

Pada tahun 1990-an, kekuasaan dunia berada di tangan Amerika Serikat. Posisi ini semakin kuat pada masa pemerintahan Clinton, terutama ketika Eropa berusaha untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di negara-negara bekas Uni Soviet. Kebijakan luar negeri AS kemudian berubah drastis setelah peristiwa 11 September 2001 dimana teror menghantui Amerika. Fenomena ini semakin jelas terlihat ketika Amerika menginvasi Irak pada tahun 2003. Menurut Zakaria, pendekatan inilah yang disebut sebagai arogansi imperialis dimana ada keinginan terselubung untuk mendirikan kerajaan dunia.  

Sekarang, dunia menjadi takut terhadap kekuatan Amerika. Zakaria mengutip sebuah survey yang mengatakan bahwa mayoritas penduduk Eropa menyebutkan bahwa AS adalah ancaman paling besar bagi terciptanya perdamaian dunia. Masalahnya, menurut Zakaria, bukan saja karena adanya agresi militer AS ke beberapa negara, tetapi lebih jauh dari itu, kebijakan luar negeri AS hanya terfokus pada agenda nasional dan melupakan kepentingan-kepentingan global yang lebih luas. Secara eksplisit Zakaria menggambarkan kondisi ini dengan mengatakan, “Orang asing menilai bahwa pemerintah Amerika tidak memiliki tujuan yang jelas dalam memimpin dunia”.

Membangun Kerjasama

Belajar dari sejarah kontemporer AS, Zakaria menyarakan agar para pemimpin AS memilih model kompromi ala Otto von Bismarck. Menurut model ini, AS seharusnya menjalin hubungan baik dan kerjasama dengan kekuatan-kekuatan baru seperti Rusia dan Cina, bukan malah mengesampingkan dan menjauhi mereka.

Zakaria menyebutkan bahwa tata dunia baru menginginkan pemimpin yang dapat merangsang munculnya kompromi dan kerjasama dalam semua bidang. Untuk menciptakan kompromi dan kerjasama itu, Washington dituntut untuk membagi otoritasnya dalam setiap proses pengambilan kebijakan kepada pemilik modal dari negara lain, institusi-institusi multilateral, dan NGO.

Selain itu, Zakaria menyebutkan bahwa Amerika menempati posisi terbaiknya ketika mereka menciptakan lembaga-lembaga international dan manajemen keuangan global, dimana lembaga-lembaga itu terbukti telah bermanfaat bagi dunia secara keseluruhan. Oleh karena itu, Zakaria menegaskan bahwa Amerika harus lebih memilih pendekatan kooperatif dalam membangun kemitraan internasional ketimbang menebar ancaman dan rasa takut. Dalam memperjuangkan kepentingan nasionalnya, Amerika diharuskan secara proaktif memikirkan dan mempertimbangkan kepentingan negara-negara lain.

Referensi: Zakaria, Fareed. 2009. The Post-American World (New York: W.W Norton & Company Inc).

Related Posts