Kunjungan

Potret Mahasiswa Asal Saudi di Colorado

Interaksi pertama saya dengan mahasiswa asal Arab Saudi dimulai ketika ada orientasi mahasiswa baru yang dilaksanakan oleh International Office, seminggu setelah saya tiba di sini. Ketika itu, para mahasiswa baru (dari semua jurusan) dipersilahkan untuk memperkenalkan diri dengan menyebut nama dan asal negara masing-masing. Satu per satu para mahasiswa pun menyebut nama dan negaranya. Betapa gembiranya hati saya mendengar dan melihat banyaknya mahasiswa asal Timur Tengah, terutama Haramain, yang belajar di sini. Setidaknya, saya tidak akan sendirian kalau mau mencari mesjid, begitu pikiran saya kala itu.
 

Alhamdulillah, saya tidak menemui kesulitan untuk mulai berinteraksi dengan mereka. Ada beberapa modal utama yang membuat saya mudah berinteraksi dengan mereka. Pertama, saya berasal dari Indonesia yang mereka tahu sebagai negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Kedua, sebagai alumni pesantren dan Sastra Arab, saya bisa berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab Fushah. Ketiga, saya juga memiliki pengetahuan yang cukup untuk berdiskusi mengenai persoalan agama Islam dengan mereka.

Pada mulanya, saya berharap akan memiliki teman yang bisa saya ajak bicara soal perkembangan sains di dunia Islam. Harapan ini tentu tidak mengada-ada sebab data statistik menunjukkan bahwa mahasiswa asing paling banyak yang belajar di sini, dan juga di universitas-universitas lain di AS, berasal dari Arab Saudi. Sebagai catatan, di CSU saja, jumlah mereka mencapai 200 orang. Dari sisi ini, kebijakan Arab Saudi untuk mengirimkan para mahasiswanya ke Barat perlu diacungi jempol.

Namun, harapan saya itu semakin hari semakin luntur setelah mengenal dan mulai bergaul dengan mereka. Ekspektasi saya untuk mendapatkan mahasiswa asal Haramain yang alim, rendah hati, dan suka membantu (seperti halnya banyak habib-habib yang saya kenal di Indonesia) ternyata jauh dari kenyataan. Justru sebaliknya, mereka ini bahkan kelihatan seperti dikenai racun "shock culture" dan tidak siap menerima sesuatu yang berbeda. Secara perlahan tetapi pasti, satu per satu bermunculanlah beberapa kasus yang membuat saya kecewa dengan mereka.

Ketika itu, seorang teman mahasiswa Amerika bertanya kepada saya. "Saleh, apakah orang Islam boleh meminum alkohol?", katanya. Saya jawab, "Orang Islam tidak boleh meminum alkohol meskipun kadarnya sedikit." Lalu dia bilang, "Lho, tadi malam itu ada seorang mahasiswa asal Arab Saudi yang sama-sama mabuk dengan saya di down town. Berarti dia tidak mengikuti aturan dong?" Saya tertegun mendengar kalimat terakhirnya ini. "Barangkali Anda salah. Mungkin Anda tidak jelas melihat dia karena Anda sedang mabuk," kata saya membela mahasiswa Haramain tadi. "Saya pasti tidak salah sebab saya duduk di sana bersama dia sebelum kami memulai minum," katanya meyakinkan saya. Mendengar itu, saya terdiam dan mencoba membela Islam dengan cara mengeleminir tindakan partikular ini dengan aturan general agama Islam.

Di hari yang lain, saya melihat dengan mata kepala sendiri salah seorang mahasiswa Arab Saudi berjalan dengan seorang mahasiswi Amerika. Pemandangan ini menurut saya normal-normal saja. Yang membuat dia berbeda adalah ketika mereka berpegangan tangan dan berangkulan di muka umum seperti jamaknya perilaku mahasiswa-mahasiswa Amerika lainnya. Sudah tentu adegan ini dibumbui dengan beberapa ciuman di sana sini. Saya semakin kecewa terutama setelah mendengar banyak informasi dari teman-teman lain bahwa orang Timur Tengah di sini sering juga melakukan hubungan bebas dengan mahasiswa Amerika.

Di kesempatan lain, saya mengenal beberapa orang mahasiswa Arab Saudi yang cara berpakaiannya meniru gaya urakan anak-anak Amerika. Dalam bahasa Inggris, berpakaian bergaya urakan ini disebut 'sagging'. Sagging itu artinya adalah memakai celana jeans yang sengaja dipelorotkan agar celana dalamnya terlihat jelas dari luar. Karena jengkelnya, saya pernah protes ke mahasiswa Arab Saudi yang saya kenal baik dengan mengatakan apakah kita harus juga seperti mereka dalam hal berpakaian? Dia katakan bahwa dia tidak bisa menegur temannya itu sebab takut dianggap mencampuri urusan pribadi.

Hal lain yang membuat saya merasa tidak nyaman melihat anak-anak Haramain ini adalah gaya hidup glamour mereka. Sebagai catatan, CSU mengeluarkan standard hidup "anak kos" di daerah ini adalah 1.200 Dollar sebulan. Standard ini dikeluarkan untuk dijadikan acuan dalam menentukan besaran jumlah beasiswa bagi mahasiswa asing agar bisa hidup secara berkecukupan di sini. Nah, pemerintah Arab Saudi memberikan jauh lebih besar dari itu. Bagi mahasiswa S-1 saja, beasiswa mereka berjumlah 1750 Dollar. Selain itu, orang tua mereka juga masih mengirimkan tambahan biaya hidup bagi mereka setiap bulan. Tidak mengherankan bila kemudian kita melihat fenomena yang mencolok dalam kehidupan keseharian mereka. Rata-rata mahasiswa asal Haramain mengenderai mobil mewah seperti Audi, BMW, Marcedes, dll. Bahkan, di antara mereka ada yang memiliki kenderaan mewah yang berpenumpang dua orang saja. Sepertinya, ada perlombaan kecantikan dan kemewahan mobil di antara mereka. Setiap hari Jum'at, saya selalu menyaksikan sebagian mobil-mobil mewah ini parkir di lingkungan Islamic Center tempat dilaksanakannya sholat Jum'at.

Barangkali Anda tidak percaya bahwa di antara mahasiswa Haramain ini ada juga beberapa yang tidak pergi shalat Jumat dan tidak berpuasa di bulan Ramadan. Awalnya, saya hanya berpikiran mereka menggunakan mazhab yang berbeda dengan yang umum kita kenal. Tetapi, setelah saya bertanya kepada beberapa orang teman lain, ternyata memang mereka sengaja tidak Jumatan dan juga tidak puasa.

Yang paling menjengkelkan saya adalah sikap underestimate mereka kepada Indonesia. Ekstreamnya, bagi mereka potret Indonesia itu adalah kemiskinan, TKW, santet (dukun) dan Indomie. Selain itu, Islamnya orang Indonesia dianggap sangat berbeda dengan Islamnya mereka. Dalam banyak kesempatan bicara dengan mereka, seringkali saya merasa tidak puas dengan persepsi yang mereka bangun tentang Indonesia. Persepsi mereka itu, tidak saja salah, tetapi lebih dari itu, kadangkala kotradiktif dengan kenyataan yang sebenarnya yang kita alami di Indonesia.

Ada beberapa hal lain yang membuat saya kecewa dengan mereka. Namun puncaknya adalah ketika membaca koran kampus yang memberitakan tertangkapnya salah seorang mahasiswa asal Saudi yang terbukti melakukan pelecehan seksual kepada seorang anak SMU yang dinilai masih di bawah umur. Berita ini tidak saja dibicarakan di tingkat mahasiswa Timur Tengah saja, tetapi sudah menjadi wacana publik yg tentunya bisa saja mencoreng nama baik Haramain dan Islam secara umum.

Akhirnya, harus jujur pula saya akui bahwa di antara mereka banyak juga yang baik dan respek terhadap nama baik Islam dan Haramain dan juga pada Indonesia. Kepada mereka-mereka ini, tentu saja saya harus tetap menjaga silaturrahmi dan komunikasi yang baik. Harapan saya, mereka-mereka ini bisa menjadi contoh bagi mahasiswa-mahasiswa lain yang setiap tahun semakin banyak.

Related Posts