Fikrah

Tanggapan Kritis Terhadap Buku “Ilusi Negara Islam”

Beberapa waktu lalu, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika menerbitkan buku yang berjudul "Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia." Konon kabarnya, buku ini telah menuai banyak protes dari berbagai kalangan, terutama mereka yang menjadi objek langsung penulisan buku tersebut. Bahkan dikabarkan pula bahwa ada sekelompok orang yang sengaja merazia toko-toko buku untuk memusnahkan buku tersebut (ini perlu diklarifikasi juga sebab sejauh ini saya belum pernah membaca beritanya). Walaupun saya bersetuju terhadap banyak pemikiran yang ditulis dalam buku itu, namun saya melihat ada beberapa hal yang perlu dikomentari, antara lain:

1) Saya meragukan bahwa Gusdur-lah yang menulis pengantar editor buku itu. Menurut saya,tidak mungkin Gusdur mengetahui dan mau mengomentari tulisan seorang ketua DPD IMM DIY (Farid Setiawan). Selain itu, apa pula kepentingan Gusdur (yang dalam tulisan itu secara implisit) tiba-tiba menjadi pahlawan mau membela-bela Muhammadiyah dari "rongrongan" PKS? Bagi aktivis Muhammadiyah seperti saya, pengantar editor (yang diklaim ditulis Gusdur) dalam buku itu merupakan sebuah kebohongan.

2) Bagi saya, penerbitan buku itu sama sekali tidak menguntungkan Muhammadiyah (untuk tidak mengomentari NU). Sebaliknya, saya berpendapat bahwa ada segelintir orang yang memanfaatkan "konflik" Muhammadiyah Vs PKS dan NU Vs PKS untuk mendapatkan proyek atas nama penelitian. Meski saya mengakui bahwa fenomena PKS memang sangat meresahkan Muhammadiyah, namun mengambil keuntungan di atas konflik orang lain (atas nama Islam rahmatan lil 'alamin) sama buruknya dengan tindakan PKS yang dinilai merusak Muhammadiyah dan NU. Lalu bagaimana kalau mereka berdalih bahwa gerakan PKS ini perlu dipublikasikan agar orang banyak mengetahuinya? Menurut saya, bukanlah tugas mereka untuk menyampaikan itu ke publik. Sebab, jauh-jauh hari sebelumnya SK PP Muhammadiyah tentang PKS itu sudah didistribusikan ke seluruh wilayah, daerah, cabang, dan juga ranting Muhammadiyah. Jadi, Muhammdiyah, tidak butuh bantuan untuk sosialisasi hal tersebut. Biarlah persoalan ini menjadi urusan internal Muhammadiyah.

3) Dalam banyak hal, saya termasuk orang yang tidak menyenangi kiprah politik PKS. Namun, apa yang mereka lakukan adalah hal yang sah dan konstitutional dalam sebuah negara demokrasi. Dalam penilaian saya, langkah-langkah politik PKS masih dalam koridor negara demokrasi. Andaikata mereka berhasil mendapatkan 51% kursi parlemen pun, itu adalah hal yang perlu diapresiasi dan dihargai. Namun, bila mereka melakukan tindakan-tindakan inkonstitutional dalam meraih kemenangan, kita semua perlu bersama-sama untuk melawan mereka.

Menurut saya, yang perlu dihajar habis-habisan adalah kelompok-kelompok yang jelas-jelas menolak NKRI dan berusaha mendirikan negara Islam dengan cara inkonstitusional. Katakanlah, misalnya, HTI yang secara terang-terangan menolak demokrasi namun berniat menerapkan syariat Islam. Karena kelompok ini menolak cara-cara konstitutional, maka gerakan mereka perlu diwaspadai karena ada kecenderungan mereka akan melakukan tindakan inkonstitutional dalam mencapai tujuannya.

4) Saya melihat bahwa para penulis buku ini mencampuradukkan antara gerakan wahabi, ikhwanul muslimin, dan juga HTI. Pertanyaan kritisnya adalah apakah benar bahwa Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan HTI memiliki hubungan historis, idiologis, dan politis? Apakah Hasan Al-Banna dan Sayyid Qutb (tokoh utama Ikhwan) memiliki hubungan dengan Muhammad ibn Abdul Wahab (pendiri gerakan wahabi) dan juga dengan Taqiyuddin Al-Nabhani (Pendiri HT) ? Yang lebih penting lagi, apakah wahabi dan ikhwanul muslimin (kalau HT memang betul) memiliki cita-cita untuk mendirikan negara Islam transnasional? Menurut saya, masih perlu dilakukan pengkajian-pengkajian yang lebih mendalam terhadap masalah-masalah ini.

Kalau dicermati gerakan-gerakan ketiga kelompok ini di lapangan, khususnya di kampus-kampus, maka akan kita jumpai bahwa ketiga kelompok ini sama-sama memiliki agenda sendiri-sendiri. Namun, dalam buku ini dideskripsikan seolah-oleh memiliki tujuan dan ide yan sama (baca, misalnya hal 99).

5) Menurut saya, salah satu tujuan utama dalam penulisan buku ini adalah untuk membungkam perlawanan yang dilakukan oleh aktivis-aktivis DDII (Adian Husaini Cs) terhadap gerakan yang mereka sebut SIPILIS (Sekularis, Pluralis, dan Liberalis). Indikasi utamanya terlihat dari uraian mereka soal sumber dana DDII. Mereka menuduh bahwa DDII tidak transparan dalam soal pendanaan. Tuduhan ini adalah balasan terhadap kelompok Adian Husaini Cs yang menuduh kelompok 'SIPILIS' memperoleh dana dari Barat untuk menghancurkan Islam. Kalau itu soalnya, berarti antara Adian Husaini Cs dengan kelompok-kelompok antogonisnya sama-sama mempermainkan isu agama dalam mencari proyek. Lalu apa beda antara kedua kelompok ini? Bukankah dengan menulis buku seperti ini maka borok-borok kedua kelompok ini akan semakin terlihat di depan mata?

Akhirnya, harus pula saya akui bahwa penulisan buku semacam ini tetap memiliki nilai urgensinya, setidaknya untuk menjadi cermin bagi kelompok-kelompok Islam yang selama ini dituduh fundamentalis dan radikalis. Dan tentu tidak pada tempatnya melakukan tindakan kekerasan, razia, dan sweeping hanya karena tidak bersetuju dengan buku tersebut. Kalau memang tidak setuju dengan isi buku itu, kelompok-kelompok yang merasa dirugikan dipersilahkan untuk menulis buku sejenis sebagai jawabannya atau mengajak para penulis buku itu untuk berdialog dan menjelaskan posisi masing-masing pihak. Dengan demikian, maka klaim-klaim "Islam rahmatan lil 'Alamin" yang sama-sama dikampanyekan oleh kedua belah pihak menjadi terwujud di alam realitas.

Related Posts