Fikrah

Hidup Untuk Mudik

PERASAAN suka cita dan bahagia menghiasi hampir semua raut muka para jama'ah sholat 'ied di pagi hari ini. Semua bergegas menuju lapangan tempat sholat dilaksanakan. Satu per satu menyusun shaf rapi dan teratur. Begitu duduk, secara serentak mereka ikut mengumandangkan lantunan takbir mengikuti jamaah lain yang sudah terlebih dahulu tiba.

Takbir, tahmid, dan tahlil yang dikumandangkan sangat menggugah dan menggetarkan hati. Sepintas, saya lalu teringat dengan kejadian dua minggu lalu. Ketika itu, saya sempat berdialog ringan dengan sopir teman saya. Katanya, ia akan mudik bersama isteri dan anaknya ke Solo, Jawa Tengah, dua hari sebelum lebaran.

Menurut penuturannya, ia telah tinggal di Jakarta sejak tahun 1993. Sejak itu, secara rutin ia selalu mudik. Bahkan setelah menikah di tahun 2000, ia belum pernah merayakan lebaran di Jakarta. Biasanya, ia mudik bersama isteri dan anak semata wayangnya yang sekarang berumur 11 tahun.

Yang membuat saya kagum, ia selalu mudik mengenderai sepeda motor dengan membonceng isteri dan anaknya. Jarak kurang lebih 512 km Jakarta-Solo, sudah puluhan kali dilaluinya. Walau tahu banyak resiko, ia tidak pernah gentar. Yang penting, mudik ke kampung halaman.

Ia juga menjelaskan bahwa ia selalu menyisihkan minimal 200 ribu rupiah setiap bulan. Uang itu, memang sengaja disisihkan untuk persiapan mudik. Dengan modal itu, ia bisa bertemu dengan sanak, kaum kerabat, dan teman di kampung halamannya.

Menurutnya, selain untuk memohon maaf pada orang tua dan orang-orang lainnya, mudik juga menjadi simbol 'keberhasilan' seorang perantau. Mereka yang berhasil adalah mereka yang bisa mudik. Karena itu, mudik menjadi lambang eksistensi dalam pergaulan sosial.

Mudik Hakiki

Sebetulnya, banyak hal yang bisa direfleksikan dari penuturan lugu, lugas, dan apa adanya dari sopir itu. Setidaknya, kesadaran akan pentingnya mudik selalu membuatnya semangat untuk bekerja. Rutinitas yang dilakukannya sehari-hari, tidak pernah membuatnya lupa bahwa pada suatu hari nanti dia akan mudik ke kampung halaman.

Kesadaran seperti ini, perlu ditanamkan bagi semua orang. Namun, kesadaran yang ditanamkan bukanlah mudik 'duniawi', tetapi kesadaran mudik 'hakiki'. Mudik hakiki adalah suatu keniscayaan di mana setiap orang akan pulang dan kembali kepada Tuhannya.

Sayangnya, mudik hakiki ini jarang diingat. Karenanya, tidak banyak orang yang memiliki persiapan untuk menghadapinya. Padahal, mudik ini jauh lebih sulit. Masing-masing orang mengurus diri sendiri. Tidak ada yang bisa menolong dan dimintai pertolongan.

Kesadaran mudik hakiki menjadi penting karena bisa membangun karakter positif seseorang. Orang yang memiliki kesadaran mudik hakiki diyakini tidak akan mau berbuat dosa dan kesalahan. Paling tidak, ia akan berusaha untuk memberi manfaat bagi semua orang.

Dengan memahami mudik hakiki, orientasi hidup menjadi terarah. Terarah pada satu tujuan yaitu pada upaya pencarian makna hidup. Dengan demikian, apa pun rutinitas yang dilakukan selama masa penantian menunggu datangnya waktu mudik, tidak akan pernah membuat diri menjadi lupa daratan. Yang selalu diingat hanyalah bahwa suatu waktu nanti mudik pasti datang dan semua hal akan ditinggalkan.

Salah satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa keberhasilan hidup seorang 'perantau' di alam fana ini bukan diukur oleh banyaknya penghasilan, tingginya jabatan, dan besarnya kekuasaan. Keberhasilan hidup justru ditentukan oleh seberapa banyak kebaikan dan manfaat yang diberikan kepada orang lain. Pada titik ini, mereka yang menebar kebaikan dan manfaatlah yang bisa dikategorikan sebagai manusia yang fitri.

Karenanya, tidak salah bila kemudian dinyatakan bahwa mereka layak merayakan idul fitri sepanjang tahun.

Penulis adalah Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah

Related Posts