Fikrah

Memupuk Jiwa Qana’ah

Hidup di dunia memang penuh kesibukan. Sibuk belajar, sibuk bekerja, sibuk mencari kedudukan dan setumpuk kesibukan lainnya. Tidak jarang, kesibukan-kesibukan duniawi itu melalaikan manusia terhadap kewajibannya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Padahal, kesibukan-kesibukan duniawi itu pada hakikatnya hanyalah sekedar alat dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.

Agar tidak terjun bebas dalam mengejar kehidupan duniawi, seorang mukmin yang baik dituntut agar memiliki jiwa qana’ah. Secara harfiyah, qana’ah artinya adalah merasa cukup. Dalam istilah agama, qana’ah kemudian dimaknai sebagai suatu sikap merasa cukup dan ridha atas karunia dan rizki yang diberikan Allah SWT.

Memiliki sifat qana’ah bukan berarti mengharuskan seseorang untuk menjadi pasrah dan apatis. Pasrah dan apatis bukanlah sifat yang baik. Sikap pasrah dan apatis adalah sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Allah SWT melarang umat manusia untuk berputus asa terhadap rahmat Allah sebagaimana yang terdapat di dalam surat Yusuf ayat 87 yang berbunyi, “Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah, karena tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir. ” (QS. Yusuf: 87).

Berbeda dengan sikap pasrah dan apatis, sikap qana’ah memerlukan upaya dan ikhtiar. Hamka dalam bukunya tasawuf modern mempersyaratkan lima perkara untuk menjadi seorang yang qana’ah. Pertama, menerima dengan rela akan apa yang ada. Orang yang rela menerima segala bentuk karunia dan rizki yang diberikan Allah adalah orang yang benar-benar berbahagia. Kebahagiaan seseorang tidaklah diukur sejauh mana ia memiliki harta tetapi lebih pada sejauh mana ia merasa puas terhadap apa yang dimilikinya. Orang yang memiliki orientasi hidup pada upaya pencarian harta adalah orang yang tidak pernah puas. Akibatnya, ia akan berusaha dengan berbagai cara untuk memperoleh harta tersebut walaupun dengan menghalalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Dikhawatirkan, perilaku seperti ini akan melalaikannya dari mengingat Allah.

Kedua, memohon kepada Allah tambahan rizki yang pantas disertai dengan ikhtiar dan usaha. Berdoa saja tidak cukup. Diperlukan kerja keras untuk mendapatkan tambahan rizki dari Allah. Berikhtiar adalah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh manusia. Allah tidak akan merubah keadaan seseorang sebelum orang tersebut berusaha dan bekerja keras untuk merubahnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al-Quran surat  Al-Ra’d ayat 11 yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib sesuatu kaum kecuali mereka sendiri yang merubahnya". Ikhtiar dan usaha inilah yang membedakan antara sikap qana’ah dengan sikap pasrah dan putus asa.

Ketiga, menerima dengan sabar segala taqdir dan ketentuan Allah. Menerima taqdir dan ketentuan Allah adalah bagian fundamental dari keimanan seseorang.  Orang yang sabar terhadap taqdir dan ketentuan Allah adalah orang yang menyadari bahwa Allah SWT memiliki kekuasaan meliputi langit dan bumi. Karena itu, cobaan apa pun yang datang dari Allah harus dihadapi dengan penuh kesabaran. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 177 yang berbunyi, “…dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa”.  

Keempat, bertawakkal kepada Allah. Tawakkal berarti berserah diri kepada Allah. Orang yang beriman sudah sepantasnya menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah. Segala rintangan dan halangan yang dihadapi dalam kehidupan akan menjadi ringan jika semua itu diserahkan kepada Allah. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Thalaq ayat 3 yang berbunyi, "Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya".

Kelima, tidak tertipu oleh tipu daya dunia. Orang yang qana’ah adalah orang yang meyakini bahwa gemerlap kehidupan dunia hanya bersifat sementara. Harta benda, kedudukan, keluarga, sahabat, dan segala urusan dunia akan berlalu jika seseorang telah dipanggil menghadap Allah. Karena itu, kecintaan terhadap dunia tidak boleh melalaikan seseorang dari tujuan utamanya dalam menggapai ridha Allah. Hal ini sejalan dengan peringatan Allah dalam surat Al-Munafiqun ayat 9 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”

Orang yang memiliki sifat qana’ah adalah orang yang bahagia. Orang yang memiliki sifat qana’ah laksana orang yang memiliki harta yang banyak. Itulah makna tersirat dari hadits Rasulullah SAW yang berbunyi, "Qana’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap."(HR. Thabarani dari Jabir). Dengan qana’ah, seseorang akan tetap mampu menjaga dirinya agar tetap dalam iman dan taqwa kepada Allah SWT. Wallahu’alam.

Related Posts