Fikrah

Menakar Kebenaran Survey Politik

Selasa, 09-04-2013

Gallup, lembaga survey terkenal di AS, dengan bangga menyebutkan, "Gallup knows more about the attitudes and behaviors of the world's constituents, employees, and customers than any other organization".

Lembaga ini mengklaim bahwa mereka paling tahu tentang sikap dan perilaku pemilih, pekerja, dan pelanggan dibandingkan lembaga-lembaga lain. Klaim itu tidak muncul secara tiba-tiba. Ribuan survey telah dilakukan hingga akhirnya mereka berani mengklaim seperti itu.

Sejak didirikan tahun 1935, lembaga yang didirikan George Gallup itu, misalnya, tidak pernah absen melakukan survey dalam setiap pemilihan presiden AS. Banyak pihak yang mengacungkan jempol terhadap ketepatan survey mereka. Dari 19 kali pilpres yang disurvey, Gallup tercatat dua kali melakukan kesalahan fatal yaitu pilpres 1948 dan 1976.

Sementara pada pilpres 2012 lalu, Gallup kembali salah memprediksi pemenang. Ketika itu, Gallup memprediksi kemenangan Romney atas Obama dengan hasil 49 % berbanding 48 %. Sementara hasil pilpres yang diumumkan oleh komisi pemilihan umum memenangkan Obama dengan hasil 51,1 % berbanding 47,2 %. Namun, kesalahan tersebut masih bisa ditoleransi karena kesalahannya masih dalam ambang batas margin error yang ditetapkan.  

Untuk mendapatkan hasil penelitian seperti itu, Gallup menanam investasi yang sangat besar. Tidak tanggung-tanggung, mereka mempekerjakan 2000 orang profesional yang ditempatkan di 40 cabang yang tersebar di berbagai negara. Dengan pekerja sebanyak itu, Gallup mampu melakukan survey secara regular di 160 negara.

Rentan Bias

Meski dikelola secara modern dan melibatkan para pekerja profesional, ternyata Gallup tidak lepas dari kesalahan-kesalahan. Pengalaman selama 75 tahun lebih tidak menjadi jaminan bahwa semua hasil survey-nya benar. Tidak heran bila sesaat setelah hasil pilpres AS 2012 diumumkan, banyak kritik dan gugatan dialamatkan kepadamereka.

Nate Silver, seorang ahli statistik dan penulis asal Amerika, misalnya, mengatakan bahwa survey yang dilakukan Gallup cenderung bias dan terlalu meremehkan Obama. Bias dalam survey mereka, menurut Silver, mencapai angka 7,2 persen. Gallup dinilai sebagai lembaga paling bias dari 23 survey lain yang diteliti oleh Nate Silver.

Senada dengan Silver, Mark Blumenthal dari Huffington Post juga mencium aroma bias dalam survey Gallup. Menurutnya, Gallup tidak fair dalam memilih responden. Dalam survey pilpres 2012 kemarin, katanya, Gallup sengaja memilih responden lebih besar pada komunitas white American. Karena itu, sangat wajar bila hasil survey memposisikan Obama lebih rendah dari Romney.

Lembaga survey internasional sekelas Gallup saja ternyata sarat dengan kepentingan. Tidak jelas apakah itu berkaitan dengan kepentingan politik atau kepentingan finansial. Yang jelas, untuk mempekerjakan ribuan orang, Gallup tentu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Apalagi, Gallup adalah lembaga konsultan yang menerima bayaran dari para kliennya. Mungkin tidak salah bila disebutkan bahwa eksistensi dan kelanjutan lembaga itu sangat tergantung dari pesanan para klien-nya.

Survey di Indonesia

Potret keberhasilan survey-survey politik di luar negeri, khususnya di AS, ternyata berdampak luas sampai ke tanah air. Setelah merampungkan kuliah, beberapa alumni yang belajar di AS mencoba memperkenalkan survey politik di Indonesia. Seiring dengan konsolidasi demokrasi yang semakin baik, lembaga-lembaga survey baru itu disambut baik oleh publik Indonesia.

Dalam waktu yang relatif singkat, lembaga-lembaga survey tumbuh subur bagai jamur di musim hujan. Partai-partai politik, capres/cawapres, dan calon-calon kepala daerah ramai-ramai menggunakan jasa lembaga-lembaga survey. Bahkan, banyak partai yang mempersyaratkan penyediaan data survey bagi kandidat yang hendak diusungnya.

Maraknya pertumbuhan lembaga-lembaga survey didasari oleh beberapa alasan. Pertama, survey merupakan instrumen ilmiah yang diyakini dapat mengukur popularitas dan elektabilitas suatu partai politik atau kandidat yang akan bertarung memperebutkan posisi eksekutif dan legislatif.

Melalui survey, partai-partai politik dapat melihat kelemahan dan kekurangan partai dan para politisinya. Dengan begitu, partai-partai dapat memaksimalisasi kelebihannya sekaligus meminimalisasi kelemahannya untuk memenangkan setiap pertarungan politik yang ada. 

Kedua, sistem politik yang sangat liberal mengharuskan partai-partai politik untuk selektif dalam mengusung kader-kadernya. Kapasitas intelektual dan integritas moral saja ternyata tidak cukup. Di atas semua itu, popularitas dan elektabilitas menjadi suatu keharusan. Agar tidak salah dalam menanamkan investasi sosial, politik, dan finansial, partai-partai perlu peta sebagai penunjuk jalan. Dalam hal ini, hasil survey merupakan pilihan terbaik yang tersedia hingga saat ini.

Ketiga, para peneliti dari lembaga-lembaga survey yang ada sangat pandai memanfaatkan kebutuhan partai-partai politik. Bahkan, mereka mampu mengungkung partai-partai politik agar tetap terikat pada hasil survey. Dengan begitu, lembaga-lembaga survey dan juga konsultan politik yang ada bisa memperoleh income dalam menghidupi lembaganya. Artinya, riset dan survey-survey politik adalah ladang bisnis baru yang sangat potensial dan menjanjikan.

Kredibilitas yang Dipertanyakan

Akibat persaingan sengit antar lembaga, belakangan ini publik mulai mempertanyakan kredibilitas lembaga-lembaga survey yang ada. Kredibilitas lembaga survey ini memang sangat penting mengingat banyaknya kepentingan yang mengiringi setiap survey yang dilaksanakan. Banyak kalangan yang menilai, hasil survey belakangan ini sarat dengan kepentingan donatur yang membiayainya. Dalam hal ini, donatur yang paling berkepentingan rata-rata adalah partai-partai politik. 

Selain itu, hasil-hasil survey yang dirilis ternyata banyak yang jauh dari kenyataan. Dalam tiga pilkada besar yang baru dilaksanakan, terbukti lembaga-lembaga survey melakukan kesalahan fatal. Pada pilkada DKI, misalnya, hampir semua lembaga survey memprediksi Fauzi Bowo-Nahrawi Ramli menang dalam satu putaran. Faktanya, Jokowi-Basuki menang telak pada putaran kedua. 

Kesalahan yang sama terulang lagi pada pilkada Jawa Barat. Beberapa minggu sebelumnya, banyak yang memprediksi bahwa Dede Yusuf-Lex Lasmana akan keluar sebagai pemenang dengan perolehan sampai 35,3 %. Faktanya, justru pasangan itu berada pada urutan ketiga dengan hanya memperoleh 25,36 %. Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar yang nota-bene calon incumbent, hanya membutuhkan satu putaran untuk menang dengan perolehan suara 33 %.

Lembaga survey kembali harus menelan pil pahit melihat hasil pilkada sumut. Betul bahwa mereka memprediksi Gatot-Tengku akan menang satu putaran. Namun, prediksi mereka salah ketika menyebut bahwa Gus Irawan-Soekirman akan berada pada urutan kedua. Faktanya, pasangan Effendy-Jumiran malah jauh melampaui hasil perolehan Gus Irawan-Soekirman.

Dengan hasil seperti itu, wajar bila publik mempertanyakan kredibilitas lembaga-lembaga survey. Untuk memprediksi pilkada provinsi yang sifatnya lokal saja, banyak kesalahan yang dilakukan. Bagaimana mungkin publik percaya hasil survey yang dilakukan untuk tingkat nasional? Apalagi, responden yang terlibat rata-rata hanya pada kisaran 1200 sampai 1400 orang dari sekitar 180 juta penduduk yang berhak memilih.

Anehnya, meski kerap melakukan kesalahan, lembaga-lembaga survey tetap saja merilis survey terbarunya. Hasil yang ditampilkan pun sangat variatif antara satu lembaga dengan lembaga lain. Bahkan yang lebih mengherankan, ada lembaga yang merilis hasil survey-nya dua kali dalam 3 bulan dengan hasil berbeda. Padahal, secara teoritis perilaku dan pilihan politik seseorang hanya  dimungkinkan berubah paling cepat setelah 3 bulan.

Pertanyaan Kritis

Hasil kajian akademik semestinya disajikan secara objektif dan bebas nilai. Sayangnya, survey-survey di Indonesia kelihatannya masih jauh dari prinsip objektivitas dan nilai-nilai yang mengiringinya. Ada banyak pertanyaan kritis yang bisa diajukan terkait jeleknya hasil survey yang dirilis belakangan ini.

Pertama, setiap survey yang dilakukan pasti melibatkan relawan yang tidak sedikit. Walau bekerja paruh waktu, para relawan itu tentu membutuhkan dana untuk transportasi, komunikasi, honor, dan juga cenderamata yang diberikan kepada para responden. Artinya, sebuah survey yang dilakukan pasti membutuhkan dana besar.

Pertanyaannya, siapa yang membiayai survey tersebut? Kalau ada pihak kedua yang membiayai, apakah ada pesan sponsor yang dititipkan? Rasanya tidak mungkin ada seseorang atau suatu institusi yang mau merogoh koceknya untuk memfasilitasi sebuah survey tanpa memiliki kepentingan khusus di dalam survey itu. Lembaga survey bukanlah lembaga amal yang layak didonasi. Karena itu, setiap biaya yang diterima pasti akan mengharapkan sesuatu sebagai imbalannya.

Kedua, siapa responden yang disurvey? Apa kriteria pemilihan terhadap responden tersebut. Banyak kasus dimana lembaga survey menginterview seseorang tentang pilihannya dalam suatu pilkada. Namun, orang yang diinterview sendiri belum tercatat sebagai calon pemilih di daerahnya. Walaupun dia menjawab preferensinya dalam pilkada, tetapi karena dia sendiri tidak terdaftar, jawabannya tetap dianggap tidak akurat.

Ketiga, berapa jumlah orang yang disurvey? Selain sebaran yang distributif dan representatif, jumlah responden sangat menentukan hasil dari sebuah survey. Dalam statistika dikenal istilah populer yang berbunyi, "the more people interviewed in a scientific survey, the smaller the sampling error". Artinya, semakin banyak orang yang diinterview, semakin sedikit kesalahan sampling yang mungkin terjadi. Selain jumlahnya, metode penentuan distribusi dan target responden juga sangat menentukan.Di sinilah kredibilitas lembaga survey dipertaruhkan.

Keempat, apa kriteria yang diberikan untuk memasukkan seseorang dalam daftar yang akan dipilih responden? Ada beberapa kasus dimana seorang kandidat sebenarnya tidak layak dimasukkan dalam daftar nama yang akan dipilih oleh responden. Tetapi karena orang tersebut yang memesan survey, namanya dipaksakan masuk di dalam daftar nama yang ada. Oleh sebab itu, lembaga survey dituntut untuk menjelaskan alasan-alasan rasional terkait pencantuman nama seseorang dalam daftar nama yang dibagikan.

Kelima, kapan survey dilaksanakan? Ada kasus dimana seorang tokoh sedang menjadi perbincangan publik karena aksi-aksinya yang dinilai cukup merakyat. Pada saat namanya mencuat, lembaga survey melakukan survey dan memasukkan namanya di dalam daftar pertanyaan. Bisa diprediksi, nama itu dipilih secara signifikan oleh para responden. Sebaliknya, popularitas seorang presiden bisa saja turun drastis kalau survey dilakukan seminggu setelah pemerintah menaikkan harga BBM, tarif listrik, air, dan lain-lain. Dalam hal ini, pilihan waktu dalam melakukan survey perlu juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam melihat kredibilitas lembaga survey.

Keenam, pertanyaan seperti apa yang akan ditanyakan kepada responden? Apakah pertanyaannya disusun secara fair? Apakah semua orang bisa menjawab pertanyaan tersebut? Ada banyak kejadian dimana pertanyaan disusun secara khusus untuk menggiring opini responden. Dengan pertanyaan seperti itu, diharapkan preferensi pemilih tertuju pada satu kandidat tertentu. Selain itu, banyak juga responden yang ternyata tidak paham arah dan tujuan pertanyaan yang disampaikan. Dalam situasi

seperti ini, responden akan menjawab apa adanya dan tidak memiliki beban apa pun.

Padahal, jawaban seperti itu menyebabkan hasil survey menjadi tidak akurat. Sebetulnya, masih banyak pertanyaan yang bisa diajukan. Namun, pertanyaan-pertanyaan itu dinilai sudah cukup mewakili untuk menguji kredibilitas dan validitas temuan sebuah lembaga survey. Seharusnya, para wartawan yang menghadiri paparan sebuah hasil survey mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut. Dengan begitu, masyarakat bisa mendapatkan data dan informasi yang akurat sesuai dengan yang semestinya.

Perlu Aturan

Fakta menunjukkan bahwa sejauh ini hasil survey sangat efektif dalam menggiring opini publik. Karena itu, hasil-hasil survey sangat rentan dipergunakan untuk memenangkan suatu partai atau seorang kandidat tertentu. Tentu ini sangat tidak baik dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Pasalnya, kandidat yang memiliki banyak uang diyakini akan lebih mampu membayar dan menggiring opini lewat lembaga-lembaga survey. Sementara kandidat yang tidak memiliki kemampuan finansial yang cukup, tidak bisa melakukan apa-apa meskipun dia potensial dan mumpuni untuk menjadi pemimpin.

Untuk menertibkan lembaga-lembaga survey ini, pemerintah dan DPR sepertinya perlu mengeluarkan suatu aturan terkait keberadaan lembaga-lembaga survey. Dengan aturan itu, tidak semua orang bebas membuat lembaga survey. Harus ada audit profesionalitas dan keuangan. Jika orang-orang yang bekerja di lembaga itu tidak profesional dan tidak memiliki ilmu khusus dalam melakukan survey, pemerintah tidak boleh mengeluarkan izin operasionalnya.

Demikian juga dalam hal keuangan, lembaga-lembaga survey harus bersedia untuk diaudit secara berkala. Walau tidak ada pembatasan jumlah pembayaran dari para klien, tetapi sumber-sumber keuangan lembaga survey perlu disampaikan kepada publik. Selain itu, transparansi dalam bidang keuangan ini juga dimaksudkan untuk menghindari campur tangan asing ke dalam dunia politik Indonesia. [ ]

Penulis adalah Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah.

Sumber: pesatnews.com

Related Posts