Fikrah

Menanti Penegakan Hukum Bagi Para Kesatria

Senin, 08-04-2013

Sikap Kesatria prajurit Kopassus (Komando Pasukan Khusus) yang mengakui secara jujur terlibat dalam penyerangan LP Cebongan memang perlu diapresiasi. Namun apresiasi tersebut tidak boleh disampaikan secara berlebihan. Pasalnya, apresiasi yang berlebihan bisa menimbukan kesan adanya justifikasi terhadap penyerangan tersebut.

Bagaimanapun, penyerangan terhadap LP Cebongan sangat bertentangan dengan hukum dan nilai-nilai kemanusiaan. Di dalam negara hukum, para pelaku tindak kekerasan harus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Tidak boleh ada yang main hakim sendiri dan menuntut balas secara sepihak. Hukum adalah panglima yang diyakini mampu memberikan balasan yang setimpal kepada para pelaku kejahatan.

Selain itu, penyerangan terhadap LP Cebongan dinilai merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Selain menghilangkan 4 nyawa, penyerangan itu juga menimbulkan rasa takut di tengah-tengah masyarakat. Ketenangan dan kedamaian warga masyarakat terusik. Padahal, ketenangan dan kedamaian adalah hal yang paling berharga yang masih bisa diharapkan warga negara kepada pemerintah.

Selayaknya Meminta Maaf

Karena itu, selain mengakui kesalahan, pimpinan dan para prajurit TNI di wilayah Kodam IV Diponegoro sudah semestinya juga menyampaikan permohonan maaf secara terbuka. Apalagi, dari awal Mayjen TNI Hardiono Saroso menampik keterlibatan anak buahnya dalam penyerangan itu. Bahkan, dia memastikan bahwa tidak ada satupun anggota Kopassus yang terlibat.

Faktanya, hasil investigasi tim Markas Besar TNI AD membuktikan sebaliknya. Tidak heran bila kemudian banyak yang berkesimpulan bahwa pihak TNI pada mulanya hendak berusaha melindungi prajurit dan korpsnya dari kritik dan hujatan masyarakat.

Akibatnya, kecurigaan masyarakat sempat tertuju kepada pihak lain. Korps Brimob sempat diisukan sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Isu ini semakin menguat sejalan dengan dipublikasikannya argumen-argumen yang menutupi keterlibatan Kopassus melalui media sosial yang tersebar di masyarakat.

Walaupun pergantian dan mutasi Mayjen TNI Hardiono Saroso dinilai sudah tepat, namun permohonan maaf secara formal masih tetap perlu dilakukan. Tanpa permohonan maaf, mantan panglima Kodam Diponegoro itu seakan membenarkan upaya pembelaan terhadap kesalahan anak buahnya. Lagi pula di dunia militer, kesalahan prajurit adalah kesalahan komandan. Sebaliknya, keberhasilan prajurit adalah keberhasilan komandan.

Meminta maaf secara terbuka kepada publik tidak akan mengurangi kehormatan dan kebesaran sang panglima. Bahkan, meminta maaf itu sendiri bisa disebut sebagai manifestasi jiwa satria. Kalau anak buah saja mau mengakui secara jujur kesalahan mereka, tentu panglimanya akan lebih mudah melakukannya.

Selain permohonan maaf, hal lain yang tidak boleh dilupakan dari tragedi ini adalah penegakan hukum dan keadilan bagi para pelaku. Walaupun sudah mengaku bersalah, bukan berarti kesalahan mereka terhapus begitu saja. Pengadilan terbuka dan fair perlu dilaksanakan. Pengadilan militer yang akan digelar diharapkan tidak hanya sekedar untuk memuaskan masyarakat. Tetapi lebih dari itu, pengadilan harus berorientasi pada keadilan dan penegakan supremasi hukum.

Pelajaran Berharga

Meski diliputi duka dan penyesalan, bila dimaknai secara positif,  tragedi Cebongan bisa dijadikan sebagai pelajaran berharga. Setidaknya, ke depan para prajurit TNI diharapkan dapat lebih tertib dan berhati-hati dalam melakukan tindakan. Demikian juga komandan-komandan pasukan diharapkan mampu mengontrol seluruh pasukannya sehingga kehadiran TNI betul-betul menjadi sahabat setia bagi masyarakat.

Selain itu, oleh karena tragedi ini berawal dari aksi-aksi premanisme, aparat keamanan dan kepolisian diminta untuk secara tegas memberantas aksi-aksi premanisme tersebut. Premanisme yang banyak bermunculan di kota-kota besar perlu diberantas hingga ke akar-akarnya. Di samping mengganggu ketertiban dan ketentraman masyarakat, aksi-aksi kekerasan sangat jauh dari budaya ketimuran yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.

Lebih dari itu, tragedi ini pun bisa dijadikan sebagai alat evaluasi bagi pihak kepolisian. Penyerbuan terhadap LP Cebongan tidak lepas dari kelalaian mereka dalam menjaga keamanan. Apalagi selama ini disinyalir, pihak kepolisian sengaja memindahkan tahanan ke LP Cebongan karena khawatir kasus kekerasan yang terjadi di Hugo's Cafe bisa menimbulkan bentrok antara aparat kepolisian dan kopassus. Padahal, jika kordinasi dan komunikasi antara pimpinan kepolisian dan TNI terjalin dengan baik, tragedi seperti ini tidak perlu terjadi.

Penulis adalah Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah.

Sumber: pesatnews.com

Related Posts