Fikrah

Menelusuri Jejak-Jejak Mistisisme dalam Sains Modern

Pendahuluan

Wacana relasi antara sains dan mistisisme yang digagas oleh Fritjof Capra menimbulkan pesona tersendiri bagi banyak kalangan. Keberaniannya untuk keluar dari kungkungan paradigma sains yang bersifat positivistik, empiris, dan rasional menuju paradigma spritual, metafisis, dan moral telah menempatkannya pada posisi strategis di antara sederetan ilmuwan kontemporer lainnya. Melalui sintesa akademis yang cukup briliant, Capra mencoba mempertemukan dua kutub dunia (baca: Barat dan Timur) yang selama ini selalu dipertentangkan.

Bercermin pada biografi intelektualnya, Capra sebenarnya adalah seorang saintis murni yang memulai karier akademiknya dengan mendalami ilmu fisika teoritis. Tetapi belakangan, Capra memperluas cakrawala intelektualnya dengan mempelajari wawasan mistisisme Timur. Melalui salah satu karyanya, The Tao of Physics (1975), ia kemudian memperkenalkan interpretasi baru terhadap teori fisika kuantum dan teori relativitas dengan menggunakan mistik Timur yang direinterpretasi secara holistik. Interpretasi terhadap fisika kuatum itu kemudian diperdalam secara sistematis dengan membangun paradigma ekosistemik dalam karya berikutnya, The Turning Point (1982). Paradigma ekosistemik ini kemudian disempurnakannya menjadi paradigma yang lebih umum dengan memperkenalkan sistem kompleks dalam karyanya The Web of Life (1996). Di samping ketiga karya tersebut, Capra juga menulis karya-karya lain seperti Uncommon Wisdom (1988) dan The Hidden Connections (2002) yang turut memperkuat gagasan-gagasannya tentang kearifan Timur dalam sains modern[1].

Secara sepintas, unifikasi antara sains modern dengan mistisisme Timur rasanya tidak mungkin dilakukan mengingat domain kedua bidang tersebut berbeda secara diametral. Dari sudut pandang ontologis, sains memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat empiris, kalkulatif, dan verifikatif. Sementara itu, mistisisme memandang realitas sebagai sesuatu yang bersifat metafisis, intuitif, dan spekulatif. Mempertemukan kedua sudut pandang ini dalam satu bidang kajian ilmiah berarti sekaligus memposisikan realitas konkrit dan abstrak pada satu wilayah yang sama.

Pada terminal inilah kita harus mengakui kebesaran seorang Fritjof Capra yang mampu memperkenalkan visi baru dalam melihat realitas (new vision of reality). Visi baru yang ditawarkannya ternyata mampu menembus dinding pemisah antara sains modern di satu pihak dan mistisisme di pihak yang lain. Di samping itu, ia juga berhasil mengatasi krisis persepsi yang membelenggu alam pikiran manusia sejak beberapa abad yang lalu. Dan yang lebih penting, ia juga berhasil menawarkan sebuah paradigma alternatif yang dapat dipergunakan sebagai modal dalam membangun masa depan peradaban umat manusia.

Menggugat Paradigma Cartesian-Newtonian

Ketertarikan Capra terhadap dunia mistisisme Timur semakin meningkat sejalan dengan kegelisahannya terhadap krisis global yang menyentuh setiap aspek kehidupan. Krisis ekologis, kesenjangan sosial, ekonomi, teknologi, politik, intelektual, moral, dan spritual  merupakan sebagian dari contoh-contoh krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah umat manusia. Krisis-krisis itu seakan-akan mengancam ras manusia yang hidup di atas planet ini[2].

Menurut Capra, munculnya berbagai krisis global tersebut berawal dari kesalahan cara pandang dunia manusia modern. Pandangan dunia (world-view) yang dipakai selama ini adalah pandangan dunia mekanistik-linear Cartesian dan Newtonian. Di satu sisi, cara pandang ini telah berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang memudahkan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan hidup manusia itu sendiri.  Pandangan mekanistik terhadap alam telah melahirkan pencemaran udara, air, dan tanah yang tentu saja mengancam kehidupan manusia. Penekanan yang berlebihan pada metode ilmiah eksprimental dan rasional analitis telah menimbulkan sikap anti ekologis[3].

Paradigma Cartesian-Newtonian menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi dan menganggap jagad raya sebagai suatu kumpulan objek-objek yang terpisah dan dirakit menjadi sebuah mesin raksasa. Paradigma ini lebih lanjut dijadikan sebagai metode ilmiah yang harus diikuti para ilmuwan modern.  Mereka yang mempergunakan paradigma Cartesian-Newtonian akhirnya jatuh kepada sikap konsumerisme-materialistik.

Selain itu, paradigma Cartesian-Newtonian juga merumuskan tiga asumsi dasar yang diterima secara luas oleh para saintis. Ketiga asumsi dasar itu adalah deterministik, reduksionistik, dan realistik. Asumsi deterministik menganggap bahwa masa depan suatu sistem dapat diprediksi dari pengetahuan akurat tentang kondisi sistem itu sekarang. Sementara asumsi reduksionistik meyakini bahwa perilaku sistem ditentukan sepenuhnya oleh perilaku bagian-bagian terkecilnya. Sedangkan asumsi realistik merupakan sebuah teori ilmiah yang dapat menggambarkan dunia sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi oleh pengamat[4].

Keberpihakan yang berlebihan terhadap paradigma ini menyebabkan munculnya krisis persepsi di tengah-tengah masyarakat ilmiah. Indikasi munculnya krisis persepsi itu terlihat dari ketidakmampuan paradigama Cartesian-Newtonian dalam memahami realitas yang semakin terkait antara satu sama lain di antara fenomena-fenomena biologi, fisik, sosial, spritual, dan lingkungan[5]. Munculnya fisika modern telah mengguncang kekuatan mekanika klasik Newtonian dan paradigma positivisme yang dianut selama oleh manusia modern kurang lebih selama tiga abad.

Keguncangan paradigma sains itu terjadi karena pandangan dunia Cartesian-Newtonian yang dianut kebanyakan manusia modern tidak sanggup lagi mencerna dan memahami fenomena-fenomena perkembangan sains mutakhir. Penemuan-penemuan dalam bidang sains modern telah menyadarkan para saintis tentang masih banyaknya misteri tak terungkap di balik personifikasi alam semesta ini. Misteri-misteri itulah kemudian yang menyebabkan para ilmuwan, dalam hal ini termasuk Capra, menggugat paradigma Cartesian-Newtonian yang dianggap tidak dapat menyelesaikan masalah.

Membangun Paradigma Baru

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa runtuhnya kekuatan paradigma Cartesian-Newtonian merupakan konsekuensi logis dari penemuan-penemuan baru dalam bidang sains. Menurut Capra, teori relativitas (theory of relativity) Albert Einstein merupakan salah satu pendobrak utama keruntuhan paradigma tersebut. Melalui teori relativitas, manusia dipaksa untuk menerima ruang-waktu sebagai konsep yang relatif. Dalam kosmologi Einstein, waktu tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang absolut, tetapi derajatnya sama seperti ruang yang relatif. Ini berarti besaran waktu tergantung pada kerangka acuan konteks[6].

Selain relativitas Einstein, teori kuantum juga memberikan andil cukup besar dalam proyek kaji ulang paradigma Cartesian-Newtonian. Menurut Heisenberg, teori kuantum tidak saja mengubah pemahaman kita terhadap realitas, tetapi juga menuntut cara berpikir baru dalam memahami ruang-waktu, materi, partikel, energi, hukum sebab-akibat, kesadaran, dan lain-lain[7]. Di samping itu, teori kuantum menimbulkan ketidakpastian dalam berbagai hal yang disebabkan oleh tiga faktor yaitu keterbatasan manusia, keterbatasan percobaan atau konseptual, dan ketidakberaturan alam semesta[8].

Penemuan-penemuan sains lain yang turut menggugat paradigma Cartesian-Newtonian antara lain adalah teori Boostrop, biologi molekular, teori evolusi, dan sebagainya. Untuk menjawab gugatan tersebut, diperlukan paradigma baru yang dapat membebaskan manusia dari reifikasi (proses pembendaan) yang ditawarkan sains modern. Paradigma yang diajukan oleh Capra adalah paradigma holistik yang memandang keseluruhan lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Karakteristik paradigma ini adalah bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, non-mekanistik, dan non-linear[9].

Landasan epistemologis paradigma holistik Capra didasarkan pada integrasi sistematis atas fisika kontemporer dan mistisisme Timur[10]. Dalam rangka memperkokoh gagasannya tentang integrasi tersebut, Capra mengemukakan argumentasi antara lain:

  1. Terdapat kesejajaran epistemologis antara fisika kontemporer dan mistisisme Timur. Menurut Capra, fisika dan agama-agama Asia mengakui adanya keterbatasan bahasa dan pikiran manusia. Nuansa paradoks dalam fisika, seperti dualitas partikel/gelombang, sejajar dengan polaritas yin/yang dalam Taoisme Cina yang menampakkan kesatuan dari hal-hal yang tampaknya berlawanan[11].
  2. Fisika kontemporer dan mistisisme Timur melakukan klaim metafisis tentang keutuhan realitas (unbroken wholeness). Fisika kuantum, misalnya, menunjukkan adanya kesatuan dan kesalingberkaitan antara semua peristiwa. Partikel-partikel merupakan gangguan-gangguan lokal (local disturbances) dalam medan-medan yang saling mempengaruhi. Sementara dalam teori relativitas, ruang dan waktu membentuk keseluruhan yang terpadu dimana materi dan energi diidentifikasi sebagai kelengkungan ruang. Mistisisme Timur juga menerima kesatuan segala sesuatu dan berbicara tentang kesatuan tak terpisahkan yang ditemukan dalam meditasi. Ada satu realitas tertinggi merujuk ke Brahmana di India dan Tao di Cina, yang dengannya individu dapat meleburkan diri. Fisika kontemporer mengatakan bahwa pengamat dan yang diamati merupakan dua hal yang tak terpisahkan, sementara pada saat yang sama tradisi mistik Timur menyatakan adanya kesatuan antara subjek dan objek[12].
  3. Baik fisika kontemporer maupun mistisisme Timur sama-sama memandang dunia sebagai sebuah sistem dinamis dan selalu berubah. Partikel-partikel merupakan pola-pola getaran yang secara terus-menerus diciptakan dan dihancurkan, materi tampak sebagai energi, dan juga sebaliknya. Sementara Hinduisme dan Buddhisme memandang bahwa hidup adalah sementara; semua eksistensi fana dan bergerak tanpa henti.
  4. Semua realitas pada dasarnya tunggal sehingga tidak mungkin ada satupun yang bisa dan mungkin dipertentangkan. Fenomena dualisme, seperti pagi dan petang, hidup dan mati, dan lain sebagainya harus dilihat sebagai dua sisi dari satu realitas tunggal. Paradigma Sains tentang kekosongan dan kepenuhan bukan dua hal yang dianggap bertentangan, tetapi lebih merupakan satu realitas tunggal. Konsepsi seperti ini ditemukan juga di dalam panteisme mistisisme Asia[13].

Menurut Capra, kesejajaran dan keparalelan antara fisika kontemporer dan mistisisme Timur merupakan basis fundamental dalam membentuk paradigma holistiknya. Meskipun demikian, ia mengakui bahwa upaya untuk menjembatani  pemikiran rasional-analitis dengan pengalaman meditatif-mistis memang sulit untuk dilakukan[14]. Namun interaksi saintis modern dengan mistisisme Timur merupakan suatu solusi alternatif yang dapat ditawarkan dalam menyelesaikan berbagai krisis global yang menimpa umat manusia belakangan ini.

Paradigma holistik yang diperkenalkan Capra ini mendapat apresiasi yang cukup positif dari berbagai kalangan. Ia mampu mengisi kekosongan dan kehampaan spritual saintis modern. Mereka yang selama ini “menuhankan” metode ilmiah positivistik-materialis, secara perlahan mulai melirik dan mendalami pemikiran Capra. Begitu juga dengan mereka yang tidak percaya pada agama, tetap saja dapat mengarungi kedalaman nuansa spritualitas tanpa harus menceburkan diri ke dalam suatu agama tertentu.

Paradigma sains baru ini segera mendapat tempat di hati para peminatnya. Rusaknya ekosistem, meluasnya polusi, dan munculnya berbagai dampak negatif perkembangan teknologi modern, menjadikan manusia dengan senang hati berpindah ke paradigma Capra. Pikiran Mistisisme Timur dianggap dapat membuat manusia lebih mencintai alam dan memperhatikan lingkungan. Berbagai slogan, seperti “back to nature” mengajak masyarakat modern memandang alam sebagai kesatuan dengan dirinya sendiri, sehingga manusia bisa lebih memelihara kelestarian lingkungannya.

Menata Peradaban Baru

Menurut Capra, tatanan peradaban dunia saat ini mengalami krisis dikarenakan adanya benturan-benturan dalam berbagai dimensi kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, sains dan teknologi, militer, dan lain-lain. Ancaman perang nuklir merupakan bahasa terbesar yang dihadapi oleh umat manusia saat ini. Semua orang menyadari bahwa kekuatan nuklir itu tidak aman, tidak bersih, dan tidak murah, tetapi mereka tetap saja berlomba-lomba untuk membangun reaktor nulir di mana-mana. Fenomena itu tentu saja menjadi ancaman utama bagi eksistensi manusia di planet ini[15].

Dalam konteks memahami krisis budaya multidimensional tersebut, Fritjof Capra menawarkan paradigma holistiknya dalam melihat evolusi budaya manusia. Menurutnya, paradigma holistik mengharuskan kita untuk mengubah perspektif akhir abad ke-20 ke suatu rentang waktu yang mencakup ribuan tahun, dari pengertian struktur sosial statis menuju persepsi pola-pola perubahan dinamis. Di titik ini, pandangan dunia orang-orang Cina bisa dipergunakan untuk membangkitkan kesadaran kita terhadap hubungan antara krisis dan perubahan. Istilah yang mereka gunakan adalah wei-ji yang berarti “bahaya” dan “kesempatan”.

Berdasarkan pandangan dunia orang-orang Cina tadi, peradaban diyakini akan terus berkembang dengan cara memberikan tanggapan terhadap tantangan awal. Keberhasilan itu akan membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi equilibrium memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (overbalance) yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, pola tantangan dan tanggapan terus terulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya, di mana masing-masing tanggapannya berhasil menimbulkan suatu disequilibrium yang menuntut penyelesaian-penyelesaian kreatif baru[16].

Usaha lain yang perlu dilakukan selama fase kelahiran kembali kebudayaan ini adalah memperkecil kekerasan, kekacauan, dan gangguan yang mau tak mau pasti terlibat di dalam masa-masa perubahan sosial yang besar, dan sedapat mungkin fase transisi itu berlalu tanpa menimbulkan rasa sakit. Keberhasilan melewati masa awal transisi itu akan menghantarkan kita pada transisi budaya yang berlangsung secara harmonis dan damai sebagaimana yang digambarkan di dalam salah satu buku kearifan tertua, I Ching, “gerak adalah sesuatu yang alami, yang muncul secara spontan. Karena alasan inilah transformasi generasi tua menjadi mudah. Yang lama ditinggalkan dan yang baru diperkenalkan. Keduanya sesuai dengan perjalanan waktu; oleh karena itu tidak ada gangguan yang timbul[17].

Menurut saya, gagasan Capra tersebut perlu ditambahi dengan wacana dialog antar peradaban. Dialog antar peradaban dapat dilakukan dengan pertukaran intelektual, sosial, dan budaya yang melintasi batas-batas wilayah geografis dan kultural. Semua pertukaran yang terjadi dalam proses ini semestinya dapat menghilangkan, atau setidaknya mengurangi, berbagai prasangka, mispersepsi dan citra distortif antara satu kelompok budaya dengan kelompok budaya lainnya[18]

Kritik Terhadap Capra

Paradigma holistik Capra yang dibangun atas sintesis terhadap fisika kontemporer dan mistisisme Timur tidak luput dari berbagai kritikan. Keasyikannya untuk melihat kesejajaran dan kesamaan antara kedua disiplin itu menyebabkan ia terlupa untuk melihat perbedaan-perbedaannnya. Dia sering menemukan kesamaan dengan membandingkan istilah atau konsep tertentu, yang diabstraksikan dari konteks lebih luas yang sangat berbeda. Sebagai contoh, mistisisme Asia berbicara tentang kesatuan yang tak terbeda-bedakan. Akan tetapi, keseluruhan dan kesatuan yang dinyatakan dalam fisika sangatlah terbedakan dan terstruktur, tergantung pada kendala tertentu, prinsip simetri, dan hukum kekekalan. Di satu sisi, ruang, waktu, materi, dan energi semuanya disatukan dalam teori relativitas, tetapi di sisi lain ada hukum-hukum transformasi yang eksak. Kesatuan dalam mistik tak terstruktur yang menafikan pembedaan, tentu sangat berbeda dengan konsep keseluruhan dan kesatuan yang terdapat dalam fisika kontemporer, terlebih lagi dalam biologi. Jika Capra mengeritik reduksionis dengan mengatakan mereka hanya melihat bagian per bagian, maka Capra justru sebaliknya hanya memberikan perhatian pada keseluruhan dengan mengabaikan bagian-bagian[19].

Dari sudut pandang filsafat ilmu, paradigma Capra yang diwarnai Mistisisme Timur juga dianggap mengaburkan metodologi ilmu karena secara sengaja ia mencapuradukkan antara pengetahuan ilmiah dan non-ilmiah. Bagi Capra, objek penelitian sains modern tidak lagi terbatas pada hal-hal yang bersifat fisik tetapi juga sudah merambat ke alam metafisika. Bahkan lebih jauh dari itu, Capra juga mencoba melakukan pengujian empiris dengan dugaan-dugaan metafisis (antara sains murni dengan pengetahuan semu).

Gejala ini dengan sendirinya menimbulkan kerisauan ilmiah. Del Ratzsch mengatakan bahwa percampuran dua dunia ini (sains dan mistis) mengakibatkan pencampuran dari dua pendekatan dan dua kenyataan yang berbeda. Pendekatan terhadap dunia metafisika seharusnya berbeda dengan pendekatan terhadap dunia fisika. Dunia metafisika berada di luar wilayah ilmu pengetahuan fisika, sehingga harus diakui adanya keterbatasan di dalam wilayah ilmu pengetahuan fisika[20]. Paradigma sains yang dualistik dan kontadiktif seperti ini akan merusak seluruh perkembangan ilmiah di masa yang akan datang. Ia akan menjadi faktor perusak-diri-sendiri (self-defeating-factor) yang dapat meruntuhkan bangunan paradigma itu sendiri sebelum ia melewati masa falsifikasi dan pengujian keabsahan metodologis.

Penutup

Terlepas dari berbagai kelebihan dan kekurangannya, sudah sepantasnya kita mengacungkan jempol terhadap usaha serius Fritjof Capra yang berhasil melakukan sintesis filosofis dalam menata paradigma sains modern. Pemikiran Capra yang dikemukakan di atas paling tidak akan mengingatkan kita agar tidak terjerumus pada krisis persepsi dalam menghadapi kompetisi global yang semakin hari semakin gencar. Di samping itu, wacana yang dilontarkan Capra dapat pula membentengi kita agar selalu waspada terhadap krisis spritual yang banyak menimpa manusia modern di abad ini.

 

Reminders: Hindari Plagiasi, tulisan ini telah diterbitkan di dalam jurnal ilmiah. Bila hendak mengutip, silahkan mengutip sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menghargai pemikiran penulisnya.


[2]Fritjof Capra, The Turning Point; Science, Society, and The Rising Culture, (New York: Bantam Book, 1982), h. 5.

[3]Fritjof Capra, The Web of Life, (London: Harper Collins, 1996), h. 5.

[4]Ian G. Babour, When Science Meets Religion; Enemies, Strangers, or Partners?, (SanFransisco: Harper Collins, 2000), h. 142.

[5]Fritjof Capra, Ecoliteracy; The Challenge for Education in the Next Century, (California: Center For Ecoliteracy, 1999), h. 4.

[6]Fritjof Capra, The Turning Point, h. 99.

[7] Heisenberg, Physics and Philosophy,  (New York,: Harper&Row, 1958), h. 112.

[8]Ian G. Babour, Op. Cit., h. 138.

                [9]M. Berman, The Reechantment of the World, (New York; Bantam Books, 1984), h..2.

[10]Ian G. Babour, Op. Cit., h. 174.

[11] Fritjof Capra, The Tao of Physics, (New York; Bantam Books, 1997), h. 266.

[12] Ibid., h. 39.

[13] Ibid., h. 344.

[14] Ibid., h. iii.

[15] Fritjof Capra, The Turning Point, h. 5

[16] Ibid., h. 8-11.

[17] Ibid., h.18-19.

[18] Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2002), h. 11.

[19]Ian G. Babour, Op. Cit., h. 174.

[20]Del  Ratzsch, Philosophy of Science (Contours of Christian Philosophy), (Downers Grove: IVP, 1986), h. 97.

 

Related Posts