Fikrah

Menyoal Kesiapan AMM dalam Upaya Revitalisasi Ideologi dan Reaktualisasi Gerakan Islam yang Berkemajuan

Pengantar

Penggunaan istilah Islam yang Berkemajuan, sebagai ungkapan otentik KH. Ahmad Dahlan, merupakan istilah yang sampai saat ini dijadikan sebagai referensi utama dalam mengayunkan langkah pengembangan gerakan dakwah Muhammadiyah. Bila dilihat dari sisi atribut yang disematkan kepada Islam, maka istilah Islam yang Berkemajuan adalah atribut yang paling tepat digunakan dalam menggambarkan purifikasi (tajrid) ideologi Islam di satu pihak, dan pembaharuan (tajdid) gerakan sosial kemasyarakatan di pihak lain. Ketepatan penggunaan istilah ini terbukti dari sedikitnya perdebatan konseptual yang mengitari penggunaan istilah ini dalam literatur-literatur kemuhammdiyahan. Bandingkan dengan penggunaan atribut lain terhadap Islam, seperti; Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam neo-tradisionalis, Islam neo-modernis, Islam radikal, Islam liberal, Islam fundamentalis, dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah tersebut, disamping multiinterpretasi, juga menimbulkan kontroversi karena pada tataran praksis sering sekali atribut-atribut tersebut cenderung berimplikasi negatif terhadap citra Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan atribut Islam yang Berkemajuan telah membawa implikasi yang sangat positif dalam pengembangan gerakan dakwah Muhammadiyah. Pada tataran aplikasi gagasan, Islam yang Berkemajuan selalu membuka diri bagi munculnya ide-ide baru dalam menyikapi perkembangan sosial, ekonomi, politik, teknologi informasi, ilmu pengetahuan dan lain-lain. Hasil karya Muhammadiyah selama seratus tahun terakhir ini merupakan bukti konkrit dari implikasi positif tersebut. Namun perlu dicermati bahwa gagasan Islam yang Berkemajuan juga memiliki tantangan tersendiri. Oleh karena terbuka kepada ide-ide baru, maka tidak tertutup kemungkinan akan adanya infiltrasi ide-ide yang bertentangan dengan ideologi Muhammadiyah.

Sejalan dengan arus perkembangan ideologi di pentas global, upaya infiltrasi ideologi lain ke dalam Muhammadiyah harus diantisipasi dan diwaspadai. Sebagai organisasi modern terbesar di dunia, Muhammadiyah memiliki daya pikat tersendiri bagi dunia luar. Banyak kepentingan luar terhadap Muhammadiyah, baik yang bertujuan destruktif maupun konstruktif. Bagi yang bertujuan destruktif, Muhammadiyah bisa jadi dianggap sebagai ancaman bagi munculnya gerakan-gerakan sosial lain yang ada di tengah masyarakat, baik berupa gerakan politik, agama, maupun pengembangan gerakan ideologi lain. Sementara yang bertujuan konstruktif bisa jadi menilai apa yang dilakukan Muhammadiyah selama ini perlu disempurnakan agar sesuai dengan tuntutan zaman. Tetapi persoalannya adalah pemikiran yang dianggap baik di luar sana belum tentu tepat dan baik untuk Muhammadiyah. Muhammadiyah memiliki seperangkat nilai dan konsep-konsep baku yang menjadi landasan bagi aktivisnya dalam ber-Muhammadiyah, di antaranya meliputi; Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Kepribadian Muhammadiyah, Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, dan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Karena itu, hal-hal baru yang dinilai baik belum tentu sesuai dengan konsep dan nilai-nilai tersebut.

Mencermati Tantangan Muhammadiyah

Secara umum, menurut saya, tantangan Muhammadiyah dibagi ke dalam dua bentuk. Pertama, tantangan yang sifatnya merusak tatanan ideologi Muhammadiyah. Kedua, tantangan yang sifatnya mengganggu perkembangan amal usaha sosial Muhammadiyah. Tantangan kedua umumnya mudah diidentifikasi oleh karena bisa dirasakan dan dibuktikan secara faktual melalui evaluasi-evaluasi berkala terhadap perkembangan amal-amal usaha Muhammadiyah. Oleh karena mudah diidentifikasi, maka saya tidak akan berbicara mengenai masalah ini lebih dalam. Akan tetapi, tantangan kedua agak sedikit sulit dikenali karena sifatnya yang invisible, abstrak, dan berada pada wilayah abu-abu (gray area). Maka tidak jarang di kalangan aktivis Muhammadiyah sering sekali muncul stigmatisasi terhadap sikap dan paham keberagamaan seorang warga Muhammadiyah lainnya.

Berkenaan dengan tantangan terhadap ideologi, ada dua jenis ideologi yang perlu dicermati dan dikaji secara mendalam. Pertama adalah ideologi yang diidentifikasi bersumber dari praktik dan paham keagamaan masyarakat Islam Timur Tengah, yang dalam banyak literatur disebut dengan Arabisme. Ideologi yang dianut oleh kelompok ini sangat radikal dan cenderung fundamental. Dalam banyak kesempatan, mereka menilai bahwa paham keagamaan yang berbeda dengan yang mereka pahami adalah salah dan keluar dari ajaran Islam sebenarnya. Secara agressif, mereka berlomba-lomba untuk mengajak kelompok-kelompok lain untuk menerima dan mengikuti paham dan keyakinan mereka. Akibatnya, tidak jarang terjadi perpecahan dan pertengkaran antara mereka dengan kelompok masyarakat Islam lainnya.

Kedua adalah ideologi yang diidentifikasi bersumber dari cara pandang (world view) masyarakat Barat, yang sering juga disebut sebagai westernisasi. Berbeda secara diametral dengan jenis yang pertama, ideologi yang dianut oleh kelompok ini sangat liberal. Landasan berpikir mereka dalam menerapkan ajaran Islam adalah humanisme, demokrasi, kesetaraan, dan pemikiran-pemikiran yang bersumber dari khazanah filsafat Barat. Dalam banyak kesempatan, kelompok ini tidak segan-segan melakukan penafsiran-penafsiran baru terhadap paham keagamaan yang telah mapan di tengah-tengah masyarakat. Bahkan, mereka tidak segan-segan untuk mempertanyakan otoritas dan kebenaran teks-teks suci yang dinilai bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Ideologi dan paham keagamaan semacam ini tentu saja sangat meresahkan kelompok yang pertama. Klaim kebenaran antara satu kelompok dengan kelompok yang lain menjadi tidak terhindarkan.

Perlu dicatat bahwa baik ideologi-ideologi yang diusung oleh kelompok pertama maupun kelompok kedua, kedua-duanya sama-sama memiliki landasan argumentasi kuat sehingga mereka berani untuk mendebatkannya kepada siapa pun. Kelompok pertama biasanya mengambil teks-teks suci dan teks-teks klasik sebagai referensi mereka dalam membangun argumen. Penguasaan mereka terhadap bahasa Arab dan khazanah kitab-kitab klasik sangat baik. Itu sebabnya mereka sering juga disebut sebagai kelompok literalis yang menafsirkan sesuatu tertutup secara ketat pada teks-teks yang ada. Dalam literatur ushul fiqh, kelompok ini dikenal sebagai kelompok yang mengutamakan teks daripada akal (taqaddam al-naql  ‘ala al-‘aql).  Sementara kelompok kedua biasanya berargumentasi dengan cara mencoba mengkontekstualisasi teks-teks yang ada dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini. Sebagai kelompok kontekstualis, mereka sangat konsisten menggunakan nalar pikiran dalam mendukung pemikiran-pemikirannya. Dalam literatur ushul fiqh, kelompok ini dikenal sebagai kelompok yang mengutamakan akal daripada teks (taqaddam al-‘aql ‘ala al-naql).

Meskipun didukung dengan argumentasi masing-masing, kedua jenis ideologi ini tetap saja tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ideologi Muhammadiyah. Muhammadiyah, sejak kelahirannya, selalu saja mengambil posisi tengah, tidak ekstream kanan dan juga tidak ekstream kiri. Muhammadiyah selalu saja mencoba menyeimbangkan antara pemurnian akidah dan pembaharuan gerakan sosial (al-tawazun baina al-tajrid wa al-tajdid). Oleh karena itu, ideologi yang radikal dan liberal sama-sama tidak sesuai dengan paham keagamaan Muhammadiyah.

Kesiapan AMM

Terlepas dari kontroversi yang mengitari kedua jenis ideologi tersebut, fakta menunjukkan bahwa kedua ideologi ini cukup berkembang di tengah-tengah masyarakat. Banyak sudah kajian akademik yang dilakukan dalam melihat dan menjustifikasi keberadaan kedua jenis kelompok ini. Pertanyaannya, apakah Angkatan Muda Muhammadiyah sudah siap menghalau dan meluruskan paham keberagamaan mereka?

Agar bisa berdebat dengan mereka, aktivis AMM tidak hanya membutuhkan pengetahuan yang komprehensif tentang ideologi Muhammadiyah. Lebih dari itu, aktivis AMM membutuhkan pengetahuan yang memadai terhadap paham keagamaan kedua kelompok ini. Hanya dengan menguasai frame work berpikir mereka, lalu kita bisa berargumentasi dan membentengi diri dari infiltrasi ideologi yang mereka tawarkan. Tidak mungkin kita bisa menolak ideologi mereka secara tegas tanpa mengetahui metodologi, substansi, dan cakrawala berpikir mereka.

Beranjak dari titik ini, aktivis AMM dengan demikian tidak hanya dituntut untuk menguasai ilmu-ilmu klasik Islam, seperti ulum al-hadits, ulum al-tafsir, sirah nabawiyah, ushul al-din dan ‘aqaid al-diniyyah, dan lain-lain, tetapi juga harus menguasai peta perkembangan pemikiran modern yang ada di Negara-negara Barat. Semua kita pasti mengatakan bahwa tugas ini adalah tugas yang sangat berat. Apalagi, kecenderungan pengembangan pendidikan di lingkungan Muhammadiyah sangat berorientasi pendidikan umum daripada pendidikan agama. Akibatnya, alumni-alumni lembaga pendidikan Muhammadiyah banyak yang gagap ketika berbicara masalah penguasaan ilmu-ilmu klasik tersebut.

Melihat kondisi ini, Muhammadiyah memiliki pekerjaan rumah yang cukup banyak untuk membekali para aktivis muda Muhammadiyah dengan sederet pengetahuan klasik dan pengetahuan Barat. Bekal ini harus pula dilengkapi dengan pengembangan pengetahuan tentang Al-Islam dan Kemuhammadiyahan. Kesibukan Muhammadiyah dalam membangun dan mengembangkan amal usaha Muhammadiyah harus diimbangi dengan keseriusan dalam mengembangkan pengetahuan AMM tentang ketiga hal itu. Kelalaian Muhammadiyah dalam mengantisipasi masalah ini dapat menyebaban AMM mudah disusupi oleh paham-paham dan ideologi-ideologi yang sesat dan menyesatkan.

Reorientasi Kaderisasi

Kaderisasi adalah sarana paling strategis dalam menyiapkan kader-kader militant Muhammadiyah. Bila dahulu orientasi kaderisasi lebih diarahkan pada semata-mata pembumian ideologi Muhammadiyah, maka ke depan, menurut saya, kaderisasi di Muhammadiyah juga harus diorientasikan ada penguasaan ideologi-ideologi di luar Muhammadiyah. Dengan mengetahui kebaikan dan keburukan ideologi luar tersebut, maka aktivis Muhammadiyah dapat memahami ajaran Islam yang sebenar-benarnya. Cara ini juga sekaligus merupakan cara yang efektif dalam membumikan ideologi Muhammadiyah di kalangan aktivis muda Muhammadiyah. Bagi saya, inilah konsep revitalisasi yang perlu dipikirkan dan diimplemantasikan dalam sistem perkaderan Muhammadiyah.

Selain bertujuan menghalau ideologi luar, revitalisasi seperti ini juga dimaksudkan untuk mengaktualisasikan konsep Islam yang Berkemajuan yang digagas Kiyai Dahlan. Aktivis muda Muhammadiyah harus terbuka terhadap gagasan-gagasan baru selama gagasan-gagasan tersebut tidak merusak sendi-sendi fundamental ideologi muhammadiyah.  Sejalan dengan perkembangan arus informasi dan telekomunikasi, kehadiran-kehadiran ideologi baru tidak bisa dinafikan begitu saja. Muhammadiyah tidak bisa menentang arus perubahan dalam bidang informasi. Oleh karenanya, Muhammadiyah harus menyiapkan diri untuk tetap bisa eksis di tengah kancah pertarungan ideologi-ideologi global yang semakin kompleks.

Dalam konteks reaktualisasi konsep Islam yang Berkemajuan, kaderisasi di Muhammadiyah juga perlu dilengkapi dengan kajian-kajian terhadap isu-isu kontemporer antara lain tentang ekoteologi dan perubahan iklim, korupsi dan kemiskinan, pengangguran, pendidikan, dan isu-isu kemanusiaan lainnya. Adalah fakta yang nyata bahwa LSM-LSM kecil kelihatannya lebih sensitif terhadap isu-isu tersebut. Untuk sekedar menyebut, lihatlah misalnya ICW yang sangat nyaring bersuara dalam memberantas korupsi serta WALHI dan Greenpeace dalam bidang advokasi lingkungan. Padahal, bila disuarakan oleh Muhammadiyah pasti akan memiliki dampak yang lebih besar. Persoalannya adalah kader-kader Muhammadiyah belum banyak yang memiliki pengetahuan khusus tentang isu-isu tersebut sehingga tidak berani bersuara lantang.

Tulisan ini dipresentasikan pada pengajian Ramadan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 1433 H dan telah diterbitkan dalam majalah Suara Muhammadiyah.

Related Posts