Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 secara tegas menyatakan bahwa negara Indonesia bertujuan untuk "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial". Dengan demikian, siapa pun yang berkuasa dan memerintah semestinya tidak perlu lagi merumuskan arah pembangunan bangsa ini. Arahnya sudah sangat jelas yaitu melindungi, memajukan, dan mencerdaskan seluruh anak bangsa dan ikut berpartisipasi aktif dalam percaturan global.
Melalui rumusan yang disebutkan di atas, kita dengan mudah dapat menganalisis apakah pemerintahan yang berkuasa betul-betul berada pada jalur yang benar dalam merealisasikan cita-cita mulia tersebut. Benarkah pembangunan yang dilaksanakan demi kesejahteraan rakyat? Apakah sumber daya alam yang merupakan kekayaan negeri ini diperuntukkan sebanyak-banyaknya bagi kepentingan rakyat? Apakah diplomasi Indonesia di tingkat internasional dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa? Bila jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan itu ternyata tidak sejalan dengan prinsip-prinsip fundamental yang terdapat di dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945, maka telah terjadi pengkhianatan. Tidak tanggung-tanggung, pengkhianatan itu dilakukan terhadap konstitusi dan dasar negara Republik Indonesia. Rumusan-rumusan sederhana itu sesungguhnya sudah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan untuk menentukan apakah negara ini sudah dikelola secara benar atau tidak. Tidak perlu mencari formulasi dan parameter lain dari lembaga-lembaga internasional untuk menilai gagal tidaknya pemerintah. Apalagi, penilaian-penilaian asing itu jarang sekali yang bersifat objektif. Tentu ada agenda-agenda terselubung di balik penilaian-penilaian itu, yang pastinya bukan untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Pertanyaan yang perlu dieksplorasi lebih lanjut adalah apakah bangsa Indonesia sudah berhasil meraih kesejahteraan? Menuju kesejahteraan? Atau malah semakin jauh dari kesejahteraan. Menjawab pertanyaan ini bisa menggunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan kuantitatif melalui penyajian data dan angka statistik tentang berbagai hal. Secara saintifik, pendekatan ini tentu sangat membantu dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun sayangnya, pendekatan kuantitatif sering sekali disalahgunakan untuk menutupi berbagai kelemahan dan kekurangan pemerintah. Pendekatan kuantitatif semacam ini akan lebih baik dilakukan di negara-negara yang tingkat pendidikan rakyatnya sudah maju (well educated society).
Sementara itu, dengan tingkat pendidikan bangsa Indonesia yang belum merata, pendekatan kualitatif dinilai lebih tepat. Melalui pendekatan kualitatif dapat diketahui derajat dan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Pendekatan seperti ini tidak membutuhkan data dan angka-angkat statistik. Tingkat kesejahteraan rakyat dapat diketahui dengan cara melihat, merasakan, dan bertanya langsung kepada masyarakat. Pendekatan kualitatif ini sangat sulit untuk dimanipulasi. Sebanyak apa pun usaha yang dilakukan pemerintah dalam mengkampanyekan keberhasilannya, namun bila rakyat tidak melihat dan merasakan langsung, maka upaya itu akan sia-sia. Kampanye yang tidak diiringi dengan pembuktian konkrit justru bisa membuat rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Melihat dan merasakan apa yang dirasakan rakyat tidak membutuhkan biaya yang besar. Cukup mengunjungi pemukiman kumuh di kota-kota besar dan desa-desa petani dan nelayan di berbagai pelosok tanah air. Di daerah perkotaan, misalnya, masih banyak ditemukan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pendidikan dan kesehatan yang menjadi hak paling dasar belum sepenuhnya dapat mereka nikmati. Potret lain bisa dilihat melalui pekerjaan yang mereka lakukan untuk menghidupi keluarganya. Di kota-kota besar di Indonesia, pemandangan yang lazim ditemukan adalah menjamurnya pedagang asongan, pengamen, pemulung, sopir, pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh bangunan, penjual jamu, dan sebagainya. Mereka terpaksa memilih pekerjaan itu karena pada kenyataannya lapangan pekerjaan lain sangat sulit ditemukan.
Di desa-desa petani dan nelayan, kita juga sering melihat betapa banyak para petani yang tidak memiliki lahan. Mereka menanam bukan untuk kesejahteraan diri dan keluarga, tetapi kesejahteraan tuan-tuan tanah dan para pemilik modal. Kondisi para nelayan juga tidak jauh berbeda. Mereka menangkap ikan dengan memakai perahu yang disewa dari bandar-bandar kaya. Hasil tangkapan yang mereka dapatkan hanya tersisa sedikit untuk menutupi kebutuhan keluarga.
Potret kualitatif yang digambarkan di atas menunjukkan bahwa negara Indonesia sama sekali belum sejahtera. Minimnya gejolak sosial yang terjadi di masyarakat bukanlah karena pemerintah berhasil meningkatkan kualitas hidup rakyat. Justru gejolak itu dapat dihindari berkat kerja keras rakyat Indonesia dalam menciptakan lapangan-lapangan pekerjaan sendiri. Pembantu, pengamen, pemulung, pemulung, pedagang asongan, dan lain-lain bukanlah pekerjaan yang diciptakan pemerintah. Pekerjaan-pekerjaan itu tercipta berkat kreativitas rakyat Indonesia agar tetap bisa bertahan. Pada titik ini, sudah sepantasnya pemerintah mengucapkan terima kasih kepada bangsa Indonesia.
Saya tidak membayangkan kalau kondisi ini terjadi di negara-negara maju. Apakah mungkin mereka juga mau jadi pembantu, pengamen, dan pemulung sebagaimana yang kita lihat di Indonesia? Kerusuhan-kerusuhan sosial yang terjadi di beberapa negara Eropa saat ini adalah cermin kurang kreatifnya mereka dalam mempertahankan hidup di tengah anjloknya perekonomian dunia. Bila kondisi ekonomi dunia tidak semakin membaik, dikhawatirkan gejolak dan kerusuhan sosial akan semakin meluas.
Akhirnya, tanpa harus membaca laporan dari "Washington" yang menilai Indonesia sebagai negara gagal, kita sendiri sesungguhnya dapat memberikan penilaian. Cukup membaca dan merenungkan kembali isi dan kandungan yang terdapat dalam pembukaan UUD 45. Hasil perenungan itu kemudian dibandingkan dengan kondisi objektif rakyat Indonesia. Gagalkah Indonesia? Parameter yang tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah Konstitusi.