“Putaran zaman itu sungguh menakjubkan, sekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan"
(Imam Syafii).
Waktu laksana air yang mengalir ke hilir yang takkan pernah kembali ke hulu. Itulah gambaran betapa pentingnya arti waktu bagi kehidupan manusia. Sayangnya, tidak semua orang memiliki kalkulasi akurat dalam menjalani sisa kehidupan yang dimilikinya. Masing-masing sibuk menghadapi riak dan gelombang kehidupan yang secara alami datang silih berganti menyapa setiap manusia. Riak dan gelombang merupakan dialektika kehidupan yang harus disikapi dengan bijaksana.
Oleh karena hidup hanya sekali dan dengan umur yang dibatasi, maka tentu saja setiap manusia harus melakukan perhitungan sebelum menentukan arah dan tujuan hidupnya. Realitas sosial seringkali menggambarkan kepada kita betapa banyak manusia yang terlena dengan tujuan-tujuan pragmatis yang bersifat temporal. Padahal, kebermaknaan hidup seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh terpenuhinya kebutuhan personal, tetapi yang lebih penting dari itu adalah sejauh mana ia dapat memberikan manfaat bagi lingkungan sosialnya.
Pada dimensi inilah terlihat pentingnya refleksi terhadap perjalanan hidup seorang Ahmad Syafii Maarif. Episode kehidupannya dimulai dari sebuah kampung kecil yang bernama Sumpur Kudus. Ia lahir 31 Mei 1935, persis 70 tahun yang lalu. Menurut pengakuannya, hampir separuh perjalanan hidupnya dilalui dengan penuh keprihatinan. Sejak kecil ia sudah terbiasa menghadapi pahit getirnya kehidupan. Ia bahkan tidak pernah merasakan betapa indahnya cinta dan buaian kasih sayang seorang ibu karena sang ibu telah meninggalkannya ketika ia baru berusia 18 bulan.
Selama masa pendidikan, ia juga ditempa dengan berbagai cobaan. Ia harus rela meninggalkan kampung halamannya hanya untuk sekedar mendapatkan akses pendidikan yang dinilai lebih baik. Sebagai seorang anak rantau, ia dilatih untuk hidup mandiri jauh dari orang tua dan keluarga. Hanya berbekal tekad dan kesungguhanlah ia kemudian dapat menyelesaikan pendidikannya dengan baik.
Salah satu babak kehidupan yang tidak pernah luput dari ingatannya adalah ketika ayahnya meninggal dunia nun jauh di kampung halaman. Kala itu umurnya belum genap 20 tahun dan masih sekolah di Muallimin Yogyakarta. Oleh karena sulitnya biaya dan jauhnya jarak yang memisahkan, ia bahkan tidak sempat menghadiri pemakaman sang ayah tercinta. Meskipun dengan hati yang sangat perih, ia tetap sanggup menerima cobaan itu dan tetap semangat untuk melanjutkan perjuangannya.
Melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi bukanlah hal yang mudah baginya, apalagi setelah kedua orang tuanya meninggal dunia. Baru satu tahun menempuh perkuliahan, hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRI/Permesta. Putus-sambung kuliah sudah pernah dirasakannya. Namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah walau harus bekerja sambil kuliah. Ia menggambarkan keberhasilannya dengan satu kalimat pendek namun sarat makna, ”Saya terdampar di pantai karena belas kasihan ombak”.
Bekerja sambil kuliah tidak hanya dilakoni ketika menuntut ilmu di Indonesia. Itu juga dilakukannya ketika ia menuntut ilmu di Ohio State University, Amerika Serikat. Ia tidak segan-segan menjadi tukang cuci piring di lingkungan kampus tempat ia menuntut ilmu. Dan ia sangat menikmati pekerjaan tersebut karena tentu saja pasti lebih baik dibandingkan dengan pengalaman hidup yang pernah dialami sebelumnya.
Sekembalinya ke tanah air, ia lagi-lagi harus berjuang untuk memperbaiki ekonomi keluarganya. Ekonomi rumah tangganya baru sedikit membaik setelah menjadi dosen kontrak di UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia) selama dua tahun (1990-1992). Pihak UKM masih menginginkan ia mengajar, kalau perlu hingga memasuki masa pensiun. Tetapi PP Muhammadiyah memanggilnya pulang ke Yogyakarta, karena dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1990, ia terpilih menjadi anggota Pimpinan Pusat, berada di urutan paling bontot (nomor 13).
Sejak pulang dari Malaysia, kondisi ekonominya semakin membaik hingga datang tugas dari Menteri Agama, (saat itu, Munawir Sjadzali.) untuk kembali mengajar ke luar negeri, kali ini di Program Studi Islam, Universitas McGill, Kanada, selama dua semester dengan skala gaji setingkat profesor, periode 1993-1994.
Dalam Muktamar Muhammadiyah tahun 1995 di Banda Aceh, Syafii Maarif kembali terpilih menjadi salah seorang anggota PP Muhammadiyah. Kali ini menduduki urutan kedua (setelah Amien Rais) yang kemudian mendapat amanah sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Pasa saat gerakan reformasi bergulir, Mei 1998, ia ikut membantu Amien Rais, sampai kemudian dipercaya menggantikan Amien Rais sebagai Ketua PP Muhammadiyah.
Kehadirannya di pentas nasional terasa sangat menyejukkan di tengah-tengah kegelisahan rakyat. Perpaduan sinergis antara tingkat intelektual dengan integritas moral menyebabkan ia berbeda dari tokoh-tokoh lainnya. Ia tidak hanya menjadi motor penggerak kampanye moral anti korupsi, tetapi ia juga berdiri di baris depan dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia. Lebih dari itu, ia juga kerap menjadi icon atas berbagai usahanya dalam merajut kasih dengan berbagai pemimpin lintas agama. Dan itu dilakukan bukanlah sekedar lip service untuk menyenangkan kelompok lain, tetapi dilakukan secara sungguh-sungguh bahkan cenderung menjadi idiologi yang telah tertanam cukup dalam di hati sanubarinya.
Sebagai ketua PP. Muhammadiyah, ia selalu berusaha memberikan pencerahan kepada warga persyarikatan dan juga umat Islam secara umum. Di berbagai kesempatan ia tidak pernah lupa untuk menggugah kesadaran seluruh masyarakat akan pentingnya merajut ukhuwah, baik itu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan antara sesama umat Islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraaan antara sesama anak bangsa), maupun ukhuwah insaniyah (persaudaraan antara sesama anak manusia).
Hal lain yang menjadi keunggulannya adalah sisi kebebasannya. Ia sama sekali tidak mau terikat dengan satu kelompok kepentingan tertentu. Bahkan, ia berhasil membuang jauh-jauh syahwat politiknya meskipun hal itu berungkali datang menggoda. Oleh karena itu pulalah, ia mampu menjadi penjaga gawang yang baik dalam menuntun perjalanan bangsa ke depan. Kemerdekaannya terhadap tarikan-tarikan kepentingan yang ada di sekelilingnya membuat ia berani bertindak tegas untuk melawan setiap ketimpangan dan ketidakadilan.
Meskipun hanya berdiri kokoh di jalur kultural, namun usahanya untuk memerdekakan bangsa ini dari keterpurukan tetap layak diperhitungkan. Banyak aksi-aksi dan pernyataan-pernyataannya yang sudah mulai membuahkan hasil. Pemberantasan korupsi yang belakangan ini digalakkan pemerintah merupakan salah satu contoh bentuk kerja kemanusiaan yang pernah digagas bersama rekan-rekannya beberapa waktu yang lalu.
Dan tentu masih banyak lagi hal lain yang telah, sedang, dan akan dilakukannya. Namun, satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa sekelumit dialektika kehidupan Syafii Maarif yang diuraikan di atas merupakan salah satu cermin dari usahanya untuk belajar menjadi manusia. Harus diakui bahwa menjadi manusia itu ternyata sangat berat. Dalam usianya yang ke-70 tahun ini, Syafii Maarif pun belum bisa diklaim telah berhasil menjadi manusia. Sukses tidaknya ia menjadi manusia sangat tergantung pada apa yang telah dilakukannya selama ini dan bagaimana pula ia menghabiskan sisa umur yang dikaruniakan Tuhan kepadanya.
Terlepas dari semua itu, kisah, kiprah, dan perjuangan seorang Syafii Maarif tetap perlu untuk dijadikan teladan terutama bagi mereka yang sedang diberi amanat dalam menentukan perjalanan bangsa ini ke depan.