Fikrah

Titik Balik Pasca Tsunami

Kata orang bijak, di balik bencana selalu ada hikmah. Bahkan badai tsunami yang melumat sebagian Aceh dan Nias beserta sebagian ekosistem yang ada di dalamnya, yang diduga paling dahsyat sepanjang abad ini, juga mengandung hikmah, menumbuhkan kesadaran kolektif, merasakan senasib sepenanggungan.

Sayangnya, di tengah kesadaran kolektif itu, muncul pula fenomena spiritualitas artifisial yang masif. Tuhan menjadi tempat pelarian, agama dijadikan tenda dari sengatan panasnya udara yang kian tak bersahabat. Ayat-ayat suci, sabda Sang Nabi, syair kematian, dan lagu-lagu elegi menjadi semacam “obat penenang” yang amat digemari. Badai tsunami membuat sebagian orang kehilangan pijakan, mengambil jalan pintas, menenggak ekstasi. Fenomena titik balik pasca tsunami yang patut dicermati. Andaikan Karl Marx masih hidup, tentu ia akan terbahak jumawa, merayakan kemenangan atas para pecundang yang belum siuman akibat overdosis ekstasi yang baru direguknya. Menurut Marx,  tidak pada tempatnya manusia yang hidup di abad modern mengembalikan semua masalah pada Tuhan.

Memang, banyak orang menilai, modernitas akan membuat manusia semakin jauh dari agama atau semakin meninggalkan keimanan pada Tuhan. Perkembangan filsafat positivisme yang membuahkan skeptisisme pada abad ke-17 dan 18 merupakan salah satu bukti dimana wibawa dan eksistensi agama-agama telah diruntuhkan. Di masa itu, ateisme benar-benar telah menjadi tawaran alternatif dalam mengisi wacana religiusitas manusia. Paradigma Cartesian-Newtonian yang diterapkan dalam sains melahirkan semangat otonomi-eksistensial dalam merubah wajah dunia. Para ilmuwan ramai-ramai mendeklarasikan kebebasannya dari dominasi dan kuasa Tuhan.

Tidak hanya sampai di situ, mereka juga mengembangkan interpretasi filosofis terhadap realitas sebagai salah satu upaya dalam memarginalisasi posisi Tuhan. Filsafat materialisme yang digagas oleh Ludwig Feurbach dan Karl Marx telah mengeliminasi Tuhan dari singgasana-Nya karena dianggap sebagai “the opium of the people” (candu masyarakat). Pada waktu yang bersamaan, Nietzche ikut mendeklarasikan bahwa Tuhan telah mati. Bahkan dengan beraninya, Sigmund Freud mengklaim bahwa keimanan pada Tuhan merupakan ilusi yang harus dibersihkan dari setiap jiwa manusia dewasa.

Kampanye anti agama yang diprakarsai oleh para filosof dan ilmuwan tersebut merupakan sebuah gerakan anti metafisika yang dapat menimbulkan krisis eksistensi dan juga krisis persepsi. Krisis eksistensi dan persepsi akan menelantarkan manusia di tengah-tengah kehampaan nilai-nilai spiritualitas dan ketiadaan makna hidup (meaningless). Kehidupan sepertinya hanya sekedar mengikuti arus yang tidak jelas tujuannya. Kondisi ini menyebabkan manusia teralienasi dari dirinya dan juga dunianya.

Dalam dunia filsafat, gerakan anti agama merupakan simbol penolakan terhadap ranah metafisika yang selalu berkutat pada fenomena di balik gejala-gejala empiris. Penolakan terhadap metafisika umumnya ditemukan dalam khazanah filsafat Barat. Penggusuran metafisika dari wilayah original filsafat semata-mata dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan para filosof Barat untuk menjelaskan dua realitas yang dianggap saling bertentangan antara satu dengan yang lain yaitu antara noumena (realitas metafisis) dan fenoumena (realitas empiris). Hampir semua filosof yang tergolong dalam aliran empirisme, eksistensialisme, positivisme, strukturalisme, dan postmodernisme menolak realitas metafisis sebagai kenyataan yang mewujud di jagad semesta.

Pembunuhan terhadap realitas metafisis dalam dunia filsafat merupakan faktor utama hancurnya bangunan filsafat di dunia Barat. Filsafat yang selama ini diyakini sebagai gudang kearifan dan kebijaksanaan tidak mampu lagi menyelesaikan problematika manusia kontemporer. Mereka yang belajar filsafat justru semakin terbawa arus kebingungan sebagaimana yang dirasakan oleh para pendahulunya. Dalam bahasa permainan Catur, saat ini filsafat Barat telah “remis” dan tidak bisa melangkah ke mana-mana karena kehabisan inspirasi filosofis dan kekeringan imajinasi intuitif.

Menelusuri Akar Masalah

Mengapa agama ditinggalkan? Seorang filosof asal Inggris, Alfred North Whitehead (1929), memberikan dua alasan. Pertama, stagnasi atau kemandegan yang menimpa kehidupan beragama. Kemandegan ini, misalnya, terungkap dari sikap konservatisme dan sikap defensif kaum agamawan dalam menghadapi perubahan-perubahan masyarakat yang diakibatkan oleh perkembangan sains dan teknologi. Sikap defensif ini dalam pandangan Whitehead telah merusak citra kewenangan intelektual para pemikir atau tokoh-tokoh agama. Baginya, agama tidak akan mampu memperoleh kembali daya pengaruhnya atas manusia modern kalau tidak menghadapi tantangan perubahan zaman sebagaimana terjadi dalam sains. Kendati kaidah-kaidah agama itu bersifat abadi, ungkapannya dalam perjalanan sejarah memerlukan perubahan dan penyesuaian. Kemajuan sains dan teknologi tidak perlu dipandang sebagai ancaman bagi agama; sebaliknya kemajuan tersebut dapat merangsang beberapa pemikiran kritis yang akan memperkuat agama.

Alasan kedua adalah ketidaksesuaian antara gambaran tentang Tuhan yang secara tradisional cukup banyak diberikan oleh agama-agama yang ada dengan gambaran manusia modern. Tuhan dalam gambaran tradisional adalah bagaikan raja absolut yang selalu harus ditakuti dan dipatuhi titahnya. Dalam gambaran tersebut, kemahakuasaan Tuhan terlalu ditekankan. Padahal, dalam gambaran manusia modern, Tuhan lebih dilihat sebagai kekuasaan yang memberi ruang kebebasan pada manusia untuk memikul tanggung jawab pribadinya.

Akar masalah lain terlihat dari adanya semacam trauma terhadap fenomena agama di masa lalu, dimana agama telah mengalami pergeseran makna dan terlembaga sehingga kesakralan agama mengalami distorsi. Bahkan agama telah menjadi pemicu bagi terciptanya konflik dan perpecahan antar sesama. Agama tidak lagi menjanjikan kedamaian dan kebahagiaan melainkan persaingan yang berujung pada kesengsaraan.

Dalam bidang relasi sains dan agama, para ilmuwan juga melihat adanya arogansi agama dalam mengontrol laju perkembangan sains dan teknologi. Agama dengan kuasa kontrolnya mencoba mendeteksi berbagai kategori yang dianggap salah dalam sains. Penggunaan kuasa kontrol yang terlalu berlebihan dari pihak agama menyebabkan para ilmuwan menolak setiap penilaian agama terhadap seluruh scientific discovery-nya. Pada titik ini, terjadi konflik antara sains dan agama dimana sains berjalan di relnya sendiri, begitu juga agama berjalan di rel yang lain.  

Dalam mengukuhkan otoritas sains atas agama, para ilmuwan kemudian menciptakan metode ilmiah (scientific method) sebagai benteng pertahanan. Metode ilmiah dianggap sebagai kitab suci baru yang dapat menghancurkan berbagai macam dogmatisme agama. Dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip saintisme, para ilmuwan dengan bangga mengatakan bahwa mereka telah mampu menerangkan seluruh gejala alam. Artinya, para ilmuwan telah merasa berhasil membaca pikiran Tuhan, sehingga Tuhan memang telah tiada. Kepercayaan terhadap kemampuan sains itu telah mendorong munculnya krisis global yang berkepanjangan di dalam sejarah umat manusia.

Mencari Solusi

Fenomena krisis metafisis dan spritual sebagaimana digambarkan di atas harus segera di atasi agar krisis global yang dihadapi umat manusia dapat diselesaikan. Gerakan anti agama ternyata tidak dapat menyelesaikan persoalan, bahkan sebaliknya manusia semakin teralienasi (terasing) dari dirinya. Pendewaan terhadap paradigma positivisme-mekanistik telah membawa manusia kepada upaya pencapaian kepuasaan lahiriyah duniawiyah yang tak berujung dan tak terbatas.

Agenda utama yang harus dilakukan adalah membangun kesadaran kolektif manusia akan eksistensinya sebagai makhluk berkarakter lahut yang tidak bisa memisahkan dirinya dari kehadiran Tuhan. Kemuliaan manusia hanya dapat dipahami bila dikaitkan dengan kehadiran Tuhan. Keyakinan terhadap kehadiran Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupan akan memberikan kekuatan sekaligus kedamaian dalam hati setiap manusia.

Oleh karena itu, dalam mengembangkan sains modern, para ilmuwan harus disinari dengan cahaya iluminasi Tuhan. Ilmuwan yang hanya berkutat pada penelitian saintifiknya dan tidak peduli sama sekali pada agama akan mengalami kebuntuan dalam menemukan makna hidup. Ilmuwan sejati adalah ilmuwan yang dapat menundukkan kepala atas kemahakuasaan Tuhan sebagai bentuk pengakuan betapa banyak realitas empiris yang belum bisa dijawab oleh scientific explanation.

Bencana Tsunami merupakan salah satu bukti terkini dimana posisi sains begitu lemah dan tak berdaya dalam mengantisipasi gejala alam yang sangat empirik itu. Sebagai titik balik, sudah saatnya para ilmuwan kembali meneguhkan eksistensi dan kemahakuasaan Tuhan dalam mengatur jagad semesta. Menghadirkan Tuhan dalam seluruh aktivitas kehidupan memang sangat penting, termasuk dalam dunia sains dan teknologi. Itulah sebabnya Einstein secara deklaratif pernah menyatakan “science without religion is lame and religion without science is blind”.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di harian Riau Pos beberapa hari setelah bencana Tsunami di Aceh

Related Posts