Fikrah

Menyongsong Fajar Kebangkitan Peradaban Islam

Berbicara strategi kebudayaan dan peradaban Islam, tesis Samuel P. Huntington tentang the clash of civilization dapat dijadikan langkah awal dalam melihat posisi peradaban Islam di tengah konstalasi peradaban global. Huntington menyebutkan di dunia ini terdapat tiga poros peradaban besar: Barat, Cina, dan Islam. Menurutnya, kontradiksi-kontradiksi antar peradaban tersebut akan menciptakan konflik yang berakar dari benturan peradaban besar yakni hegemoni Barat, intoleransi Islam, dan arogansi China.

Meskipun tesis Huntington menyebutkan tiga poros peradaban yang menjadi mainstream di abad modern saat ini, namun ada dua kutub yang seringkali dipertentangkan secara diametral yaitu peradaban Barat versus peradaban Islam. Wacana benturan peradaban ini didasari fakta-fakta konkret tentang adanya perbedaan bangunan fundamental antara kedua peradaban tersebut.

Secara ontologis, peradaban Barat termanifestasi dalam bentuk hasil kreativitas manusia yang diarahkan pada pencarian kebutuhan material keduniaan yang sarat dengan nuansa hedonisme. Sedangkan peradaban Islam merupakan akumulasi kreativitas manusia yang diarahkan tidak hanya pada pencarian kebutuhan hidup material, tetapi sekaligus juga pencarian kepuasan ruhani (spiritual).

Secara epistemologis, peradaban Barat diperoleh melalui pendekatan-pendakatan akademis yang didasarkan pada rasionalisme, empirisme, dan positivisme. Dengan begitu, perkembangan peradaban Barat berjalan linier dan sarat nuansa sekularisme. Sementara itu, peradaban Islam digali dari teks-teks suci yang dibumikan secara kontekstual. Dengan demikian, pendekatan saintifik dalam peradaban Islam selalu sarat nilai-nilai Islam.

Secara aksiologis, peradaban Barat akan bernilai ketika mampu menjawab seluruh kebutuhan dan tantangan kehidupan manusia. Sementara itu, peradaban Islam tidak hanya bertujuan pragmatis temporal, tapi melampaui batas-batas kebutuhan lahiriah duniawiyah. Menurut Islam, sebuah peradaban akan bernilai bila mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, peradaban Islam juga terkait dengan persoalan eskatologis yang merupakan salah satu aspek penting dalam bangunan teologi Islam.

Tantangan Global

Sepintas, peradaban Barat memang lebih maju dari peradaban Islam, antara lain dibuktikan dengan perkembangan ekonomi, teknologi, dan stabilitas kehidupan sosial-politik yang dicapai Barat. Dengan menggunakan ukuran-ukuran yang bersifat fisik material, fenomena kebangkitan peradaban Barat merupakan keniscayaan.

Namun bila dikaji lebih dalam, kemajuan sains dan teknologi yang menjadi basis fundamental bangunan peradaban Barat justru telah menelantarkan dunia di ambang pintu krisis global yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Menurut Fritjof Capra (1975), krisis global yang dihadapi umat manusia di planet ini telah menyentuh hampir seluruh dimensi kehidupan seperti bidang kesehatan, teknologi, ekonomi, politik, ekologi, dan hubungan sosial. Krisis juga melanda dimensi-dimensi intelektual, moral, dan spiritual.

Krisis-krisis global yang disebutkan di atas dapat dilacak secara langsung pada cara pandang dunia (world view) Barat. Pandangan dunia yang diterapkan selama ini adalah pandangan dunia mekanistik linier ala Cartesian dan Newtonian. Paradigma Cartesian-Newtonian ini, di satu sisi berhasil mengembangkan sains dan teknologi yang membantu kehidupan manusia, namun di sisi lain mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri. Paradigma Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan sistem sosial seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum obyektif, mekanis, deterministik, linier, dan materialistik. Cara pandang ini menempatkan materi sebagai dasar dari semua bentuk eksistensi, dan menganggap alam kosmos sebagai suatu kumpulan obyek-obyek terpisah yang terkait menjadi sebuah mesin raksasa. Di antara tokoh-tokoh revolusi ilmiah yang turut membentuk cara pandang  seperti itu adalah Francis Bacon, Copernicus, Galileo, Descartes, dan Newton.

Revolusi ilmiah itu telah membawa para saintis pada satu kesimpulan bahwa kehidupan dunia tidak lagi begitu menarik untuk diperbincangkan. Betapa tidak, hampir seluruh realitas telah dapat diterangkan secara jelas oleh penemuan-penemuan sains. Terlebih jika dunia dilihat dengan formula matematis gaya Albert Einstein atau Stephen Hawking, maka bisa jadi yang kita jumpai adalah sebuah dunia yang sudah selesai. Artinya, manusia telah merasa berhasil menyadap the mind of God, sehingga Tuhan memang telah tiada. Yang ada hanyalah konstruksi dan persepsi manusia sebagaimana dinyatakan oleh Nietzsche atau Karl Marx.

Dengan demikian, masuk akal jika peradaban Barat mencapai puncaknya pada saat mereka meninggalkan (independen dari) Tuhan. Karena mereka menyandarkan nasibnya semata pada kekuatan sendiri dan mengabaikan aspek-aspek spiritualitas, maka bisa dipahami jika mereka kehilangan orientasi (disoriented)

Refleksi dan agenda

Kerapuhan fondasi peradaban Barat sebagaimana disebutkan di atas merupakan peluang besar bagi umat Islam untuk membangun peradaban alternatif yang berdimensi moral dan spiritual. Agenda utama yang harus dikedepankan antara lain membangun kesadaran eksistensial manusia yang tidak terpisahkan dari Tuhan. Keyakinan terhadap kehadiran Tuhan dalam seluruh dimensi kehidupan akan memberikan kekuatan sekaligus kedamaian dalam hati setiap manusia yang menjadi aktor pendukung setiap peradaban.

Belajar dari realitas obyektif sejarah Islam pada saat Nabi Muhammad SAW melakukan reformasi peradaban secara total, starting point yang tepat adalah melalui reformasi ideologi, teologi, dan kultural. Penguasaan dan pengembangan sains dilandasi semangat iqra (scientific discovery) sesuai tuntunan Al-Qur’an. Atas dasar itulah, umat Islam di masa lalu mampu mewujudkan peradaban tinggi.

Bertolak dari realitas obyektif di atas, untuk mewujudkan peradaban Islam masa depan diperlukan upaya-upaya rekonstruktif dengan mempertimbangkan elemen-elemen: (1) semangat tajdid dari semua pihak secara menyeluruh, (2) pembumian wahyu melalui kontekstualisasi ajaran Islam, (3) political will dari pihak penguasa, (4) eksplorasi, penguasaan, dan pengembangan sains dan teknologi, serta (5) membangun moralitas umat yang didasarkan pada nilai-nilai Islam otentik.

Dengan kekuatan dan potensi umat yang begitu besar, tidak tertutup kemungkinan bahwa fajar kebangkitan peradaban Islam akan bersinar dari negeri Indonesia yang sangat kita cintai ini.

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di harian Republika

Related Posts