Fikrah

Mendefinisikan Islam

Para Islamolog kerap kali melihat Islam dari berbagai perspektif yang terpisah-pisah. Sebagian mengatakan bahwa Islam adalah agama karena di dalamnya termanifestasi spirit keagamaan yang luar biasa kuat. Islam juga dinilai sebagai suatu kosmologi karena banyak tema-tema tentang kosmik dibicarakan di dalamnya.

Ada juga yang mengatakan Islam adalah suatu sistem mistisisme (tasawuf) karena dasar-dasar pengembangan pemikiran dan praktik sufi bisa ditelusuri secara langsung dari sana. Sering juga orang mengatakan bahwa Islam adalah sistem etika karena ajaran-ajarannya mengandung tuntunan etika dan moralitas manusia. Tidak sedikit orang yang berpandangan bahwa Islam adalah suatu sistem ideologi karena secara faktual Islam mengandung suatu misi dan orientasi tertentu. Bahkan, banyak orang yang melihat bahwa Islam adalah suatu sistem ekonomi, politik, dan budaya karena hampir semua dimensi itu selalu dikaji secara serius dalam literatur-literatur keislaman.

Selain itu, Islam juga sering disifatkan pada suatu bangsa dan etnik tertentu. Padahal, tidak ada satu etnik atau suku bangsa pun yang dapat secara eksklusif mengklaim memiliki Islam. Budaya Arab, Afrika, Iran, Pakistan, dan Indonesia bukanlah Islam. Meskipun pada kenyataannya, manifestasi Islam sering ditemukan dalam tradisi negara-negara tersebut. Karena itu, tidak tepat bila dikatakan bahwa jika seseorang memakan nasi biryani maka dia otomatis menjadi Islam. Begitu juga tidak tepat bila dikatakan bahwa memakai jubah dan memiliki nama Arab adalah Islam.

Karena dilihat secara parsial dan terpisah-pisah, maka kebenaran cara pandang seperti itu juga tentu parsial. Bila seseorang masuk Islam, lalu dia hanya mengambil sistem etika dan ekonominya saja, maka dia akan tersesat dalam memahami kesempurnaan Islam. Oleh karena itu, perlu pemahaman luas dan komprehensif tentang Islam dan berbagai seluk beluk ajaran yang terdapat di dalamnya.

Secara etimologis, kata “Islam” berasal dari akar bahasa Arab; aslama-yuslimu-islaman. Dalam ilmu morfologi bahasa Arab (ilmu Sharf), kata islaman disebut mashdar (gerund). Dalam banyak bahasa, termasuk bahasa Inggris dan Indonesia, kata gerund adalah kata kerja yang dibendakan. Meskipun sudah menjadi kata benda, namun pengertiannya masih mengandung unsur aktivitas dan tindakan. Dengan demikian, kata Islam menuntut tindakan dan aksi nyata, bukan hanya berhenti pada meyakini dan mempercayai semata. Sebagai contoh, bila seseorang mengatakan “saya percaya Islam” (a’taqidu bi al-islam) tidak akan membuat seseorang menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya. Masih banyak tindakan dan aksi konkrit yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari pernyataan verbal tersebut.

Sebagai sebuah gerund, kata “islam” lebih tepat diartikan sebagai penyerahan diri (submission). Melalui pengertian ini, Islam dapat diartikan sebagai penyerahan diri seseorang kepada suatu jalan hidup (way of life) yang diyakini membawa keselamatan (salamah atau salam).  Seseorang yang mengaku Islam adalah seseorang yang menyerahkan dan menghambakan dirinya di jalan Allah yang diyakini sebagai satu-satunya jalan yang dapat membawa keselamatan hidup di dunia dan akhirat. Orang yang menyerahkan dan menghambakan diri itu disebut sebagai Muslim, sementara Islam (dalam pengertian gerund tadi) adalah kumpulan aktivitas yang harus dikerjakan oleh seorang muslim.

Secara umum, aktivitas seorang Muslim dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah aktivitas yang berkenaan dengan tindakan dan perbuatan manusia (outward activities). Sederhananya, tindakan dan perbuatan seorang Muslim harus diorientasikan untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Dalam literatur-literatur keagamaan, tindakan dan perbuatan seperti ini disebut ihsan. Sementara kategori kedua adalah tindakan yang melibatkan hati dan psikologi manusia (inward meaning). Sederhananya, seorang Muslim harus meyakini dalam hatinya bahwa Allah selalu mengawasi dan mengetahui seluruh amal perbuatannya. Dalam literatur-literatur keagamaan, tindakan seperti ini disebut sebagai iman.

Melalui dua kategori itulah kemudian para ulama sering menyebutkan bahwa untuk menjadi Islam harus “berikrar dengan lisan, meyakini dengan hati, dan melakukan dengan perbuatan”. Dalam bahasa Arab disebut “ikrarun bi al-lisan, wa tashdiqun bi al-qalb, wa a’malun bi al-arkan). Oleh karena itu, Islam harus dipratikkan dalam lingkup iman yang sifatnya sirrun (perbuatan hati) dan ihsan yang sifatnya zhahir (perbuatan dan tindakan seluruh organ tubuh manusia).

Hal lain yang perlu ditegaskan adalah Islam bukanlah agama (dalam pengertian sekular), tetapi ia adalah din. Kata din memiliki konotasi yang cukup beragam. Namun, secara mendasar din dapat diartikan sebagai modus vivendi (way of life). Dalam bahasa filsafat kita mengenal istilah how to be in the world (modus eksistensi). Selain bermakna jalan hidup, din juga memiliki makna lain yaitu “ketaatan” (obedience). Dengan kata lain, din adalah jalan hidup dalam melakukan penghambaan dan ketaaatan kepada sesuatu.

Kata din sesungguhnya adalah kata netral karena bisa diterapkan dalam berbagai dimensi pemikiran dan tindakan. Tidak mengherankan bila banyak orang yang mengatakan bahwa kapitalisme, demokrasi, emotivisme, positivism dan lain-lain adalah juga din. Kapitalisme adalah din dalam ekonomi. Demokrasi adalah din  dalam politik. Emotivisme adalah din dalam etika. Dan positivisme adalah din dalam filsafat. Din-lah yang kemudian mengarahkan cara pandang dan cara hidup seseorang. Di dalam din termaktub perintah dan larangan. Karena itu, disadari atau tidak, seseorang dengan sendirinya memiliki din (modus eksistensi) sendiri-sendiri. Tanpa din, akan terjadi chaos karena setiap orang bebas melakukan apa pun yang ingin dilakukannya tanpa batasan dan juga orientasi yang jelas.

Islam sebagai din melingkupi dimensi ilahiyyah dalam scope yang sangat luas. Din dikatakan berbasis ilahiyyah karena peranan Allah sangat sentral. Semua yang terdapat di alam semesta memiliki komitmen dan ketaatan sendiri-sendiri kepada Allah. Dalam lingkupnya yang sangat luas, din al-islam mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Tidak ada pemisahan antara kehidupan dunia dan akhirat. Pendidikan, politik, ekonomi, lingkungan, dan bidang-bidang lainnya diatur dengan baik dalam din al-islam. Singkatnya, tidak ada satupun tindakan manusia yang tidak mendapatkan panduannya dalam din al-Islam. Itulah sebabnya mengapa Islam disebut sebagai the complete way of life (jalan hidup paling sempurna). Wallahu a’lam.

 

Related Posts