Fikrah

Puasa dan Kemerdekaan Spiritual

BANYAK orang mengaitkan antara puasa dan kemerdekaan karena didasarkan pada fakta bahwa proklamasi kemerdekaan RI dilakukan pada bulan Ramadan. Padahal, hubungan antara puasa dan kemerdekaan tidaklah hanya sebatas hubungan historis semacam itu. Hubungan antara puasa dan kemerdekaan akan jauh lebih relevan bila dilihat dari persfektif esoteris (inner meaning) dari esensi ibadah puasa itu sendiri.
 

Bila kemerdekaan dimaknai sebagai kebebasan suatu bangsa dari kungkungan bangsa lain, maka secara esoteris, puasa dimaknai sebagai upaya pembebasan manusia dari kungkungan hawa nafsu yang tidak terkendali (nafs al-ammarah). Pada titik ini, dimensi kemerdekaan lebih berorientasi pada kebebasan sosial, sementara dimensi puasa berorientasi pada kebebasan individual. Kemerdekaan diartikan sebagai kebebasan dalam konteks lahiriyah (zahir), sedangkan puasa dimaknai sebagai upaya pembebasan dalam konteks spiritual (batin).

Dalam ibadah puasa, manusia dilatih untuk membebaskan dirinya dari ketergantungan terhadap hal-hal yang bersifat material. Ketergantungan terhadap makanan, minuman, dan kebutuhan seksual, misalnya, harus dikendalikan secara baik. Timbulnya sifat-sifat destruktif dalam diri manusia pada hakikatnya dimulai dari lepasnya kontrol manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan material-temporal tersebut. Tidak jarang manusia menggunakan segala cara untuk mendapatkannya.

Selain untuk melepaskan diri dari hal-hal yang bersifat material-temporal, puasa juga melatih manusia agar meneguhkan ketergantungannya semata-mata hanya kepada Allah. Orang yang berpuasa selalu dilatih untuk menyadari bahwa Allah selalu hadir dalam setiap detak jantung kehidupannya. Meskipun orang lain tidak melihat, namun dia yakin bahwa Allah selalu melihat dan mengetahui seluruh gerak-geriknya. Keyakinan dan keimanan seperti inilah yang mampu mengantarkan manusia menjadi orang bertakwa sesuai dengan maqashid al-syar'iyyah (tujuan filsofis) diwajibkannya ibadah puasa.

Dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, secara eksplisit Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa".

Bila puasa yang dilakukan selalu berorientasi pada pembebasan spiritual, maka orang yang berpuasa akan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Orang yang berpuasa selalu akan menjaga agar tidak menipu, merampok, menganiaya, dan mengambil sesuatu yang bukan haknya. Dalam spektrum ini, puasa adalah perisai diri dalam menghindari moralitas tercela (akhlaq al-mazmumah).

Sebaliknya, orang-orang yang masih melakukan tindakan kejahatan seperti korupsi adalah orang-orang yang tidak merdeka. Para pelaku korupsi kelihatannya bebas secara lahiriyah, tetapi terjajah secara batiniyyah. Mereka adalah orang-orang lemah karena tunduk dan takluk pada kehendak hawa nafsu yang tak terkendali. Padahal, dalam meniti jalan kehidupan, seseorang hanyalah pantas melakukan penghambaan diri (submission) kepada Allah semata. [***]

Sumber: http://www.rakyatmerdekaonline.com/news.php?id=36643

Related Posts