Fikrah

Regulasi Perlindungan Umat Beragama

Oleh Dr. H. Saleh Partaonan Daulay, M.Ag, M.Hum, MA (Ketua Komisi VIII DPR-RI)

“People who want to share their religious views with you

almost never want you to share yours with them” (Dave Barry)

Pemerintah Negara Indonesia, sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan Undang-undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), wajib melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya adalah sesuatu yang mutlak tanpa memandang keragaman rakyat Indonesia baik dari segi suku, agama, ras, antar golongan, status sosial, dan gender. Salah satu hal yang sering menjadi sorotan, baik di pentas domestik maupun global, adalah masalah perlindungan umat beragama di Indonesia. Sering sekali, sorotan tersebut didasarkan pada aspek regulasi yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam melihat relasi negara dan umat beragama.

Untuk mengidentifikasi efektivitas regulasi perlindungan terhadap umat beragama, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu substansi dan implementasi regulasi dimaksud. Yang pertama terkait dengan norma-norma peraturan perundang-undangan, apakah norma-norma tersebut melindungi rakyat Indonesia dengan mengabaikan agama yang dipeluknya? Sedang yang kedua terkait dengan komitmen aparatur pemerintah dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan umat beragama. Hasil telaah terhadap substansi dan implementasi peraturaan perundang-undangan yang telah ada dapat dijadikan pertimbangan untuk melakukan perbaikan dalam pengaturan perlindungan umat beragama.

Regulasi dan Implementasi

Terkait dengan peraturan perundang-undangan yang melindungi seluruh rakyat Indonesia dapat dirunut secara langsung pada Pancasila dan UUD 1945 sebagai das sollen, idealitas perlindungan umat beragama. Pancasila adalah falsafah hidup bangsa Indonesia, karena itu harus dipahami secara mendalam dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari serta dijadikan petunjuk dalam melaksanakan semua program dan kegiatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi, Pancasila harus menjadi jiwa seluruh peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali yang terkait dengan perlindungan umat beragama. Bahkan sila pertama Pancasila adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi pembuka setiap peraturan perundang-undangan, yaitu “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. Sila pertama Pancasila ini dirumuskan secara bijaksana oleh para pendiri (the founding fathers) bangsa Indonesia setelah melalui perdebatan yang panjang dengan mempertimbangkan keragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Indonesia.

Pada awalnya rumusan sila pertama Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 22 Juni 1945 adalah “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syariat  bagi Pemeluknya”. Tetapi rumusan ini dirubah pada sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, setelah mendapat masukan dari pendiri bangsa Indonesia yang beragama non Islam seperti Mr. AA. Maramis. Sedang pendiri bangsa Indonesia yang beragama Islam menerimanya dengan dua alasan, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Hatta, wakil presiden Indonesia yang pertama, yaitu: bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa mencerminkan monoteisme tauhid dalam Islam dan demi menjaga kesatuan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (M. Ali Haidar, NU dan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998: 285 dan M. Syafi’I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Paramadina, 1995: 200-201).

UUD 1945 adalah konstitusi dan hukum tertinggi yang mengikat seluruh warga negara Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 antara lain mengatur perlindungan terhadap umat beragama dan berkeyakinan, yaitu dengan menjamin kebebasan umat beragama untuk mempraktikkan ajaran agama dan keyakinannya dengan pembatasan. Pasal 28E, ayat (1) UUD 1945 menegaskan, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”. Tetapi kebebasan ini ada batasannya. Pasal 28J, ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”; dan Pasal 28J, ayat (2) menyebutkan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pembatasan kebebasan umat beragama dalam mempraktikkan ajaran agama dan keyakinannya ini melalui undang-undang selaras dengan konvensi internasional yang terkait dengan kebebasan beragama. Konvensi Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik) yang diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada 23 Maret 1976 serta disahkan oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), membenarkan adanya pembatasan kebebasan umat beragama melalui undang-undang. Pasal 18 Ayat (1) konvensi tersebut menjamin kebebasan umat beragama dalam menjalankan ajaran agama dan keyakinannya, sedang Ayat (3) adalah bolehnya pembatasan kebebasan beragama melalui undang-undang dengan tujuan untuk melindungi ketertiban umum dan hak-hak orang lain. Secara eksplisit, kovenan tersebut berbunyi, 1. Everyone shall have the right to freedom of thought, conscience and religion. This right shall include freedom to have or to adopt a religion or belief of his choice, and freedom, either individually or in community with others and in public or private, to manifest his religion or belief in worship, observance, practice and teaching. 3. Freedom to manifest one's religion or beliefs may be subject only to such limitations as are prescribed by law and are necessary to protect public safety, order, health, or morals or the fundamental rights and freedoms of others.    

Sedang peraturan perundang-undangan sebagai das sein, wujud konkret pengaturan perlindungan umat beragama, antara lain adalah Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.  Undang-undang ini memantik perdebatan. Ada beberapa lembaga sosial masyarakat yang menyebut bahwa UU ini tidak sebangun dengan jaminan konstitusi tentang kebebasan beragama, karena mendiskriminasi individu warga negara yang menganut agama/keyakinan tertentu secara sepihak yang dianggap tidak sejalan dengan tafsir mayoritas dan Negara mengintervensi terlalu jauh ke dalam ruang privat (forum  internum) individu warga Negara (Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2013: 6). Tetapi perdebatan terkait UU ini telah selesai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 140/PUU-VII/2009 Tentang Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

 Putusan MK tersebut menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tidak bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan umat beragama, antara lain, karena tidak mendiskriminasi dan tidak mengintervensi ruang privat individu warga Negara. UU ini tidak diskriminatif karena tidak hanya mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hucu, tapi juga mengakui agama-agama yang lain. Penjelasan Pasal 1 secara tegas menyebutkan, “Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh Pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam peraturan ini atau peraturan perundang-undangan lainnya”. Selain itu, UU ini juga tidak mengintervensi ruang privat individu warga Negara dengan dua alasan sebagai berikut:

  1. Bahwa beragama dalam pengertian meyakini suatu agama tertentu merupakan ranah forum internum, merupakan kebebasan, merupakan hak asasi manusia yang perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, terutama pemerintah [vide Pasal 28I ayat (4) UUD 1945].
  2. Bahwa beragama dalam pengertian melaksanakan atau mengamalkan keyakinan merupakan ranah forum externum yang terkait dengan hak asasi manusia orang lain, terkait dengan kehidupan kemasyarakatan, dengan kepentingan publik, dan dengan kepentingan negara. Demikian pula tentang kegiatan penafsiran terhadap teks kitab suci suatu agama dalam rangka memperoleh suatu pemahaman sebagai bekal pengamalan merupakan asas forum internum, namun dengan sengaja “menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum” merupakan ranah forum externum karena telah terkait dengan hak asasi manusia orang lain, kehidupan kemasyarakatan, kepentingan publik, dan kepentingan Negara (Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009: 292-293).

       Terkait dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan umat beragama memang masih membutuhkan peningkatan dan perbaikan. Data yang dirilis oleh SETARA Institute menyebutkan bahwa pada tahun 2013 di seluruh Indonesia tercatat 222 pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 292 bentuk tindakan. SETARA Institute, lebih lanjut menyebutkan bahwa tingginya kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan ini karena penegakan peraturan perundang-undangan yang masih kurang baik (Laporan Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2013: 26 dan 31). Walau data pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang di rilis SETARA ini masih dapat didiskusikan lebih lanjut dengan beragam perspektif perlindungan umat beragama, tetapi seyogiyanya data ini dijadikan acuan oleh aparat pemerintah, baik penegak hukum dan atau bukan penegak hukum untuk berefleksi mengenai kekuarangan dan kelebihan dalam melakukan perlindungan terhadap umat beragama, sehigga menjadi lebih baik.

Perbaikan Regulasi

Perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan umat beragama, baik dari aspek konsep maupun pelaksanaanya, harus terus dilakukan sehingga idealitas perlindungan umat beragama seperti diamanatkan Pancasila dan UUD 1945  menjadi kenyataan. Lebih-lebih pelaksanaan perlindungan umat beragama masih membutuhkan peningkatan. Oleh karena itu, terkait dengan wacana penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) Tentang Perlindungan Umat Beragama yang dilakukan oleh pemerintah (kemenag.go.id, 28 Oktober 2014), Komisi VIII DPR RI tentu saja memberikan apresiasi dan akan mempertimbangkan untuk membahas RUU tersebut bersama-sama dengan pemerintah, dengan berpijak kepada landasan filosofis, sosiologis dan yuridis.

Secara filosofis, RUU Tentang Perlindungan Agama tersebut merupakan penegasan terhadap sistem kewarganegaraan terbuka (civic nationalism) dengan berdasar pada teritorial yang dianut oleh Indonesia. Kewaarganegaraan rakyat Indonesia berdasarkan kepada wilayah dimana ia hidup dan tinggal. Hal ini berlawanan dengan kewarganegaraan berdasarkan agama dan etnis tertentu (religious and ethnic nationalism) seperti yang terjadi di Negara-negara Islam dan di Rwanda pada saat terjadi pertarungan etnis Hutu dan Tutsi pada tahun 1994 (William Kymlica, Politics in the Vernacular, Oxford: Oxford University Press, 2001: 243).  Bukti simbolik bahwa Indonesia menganut kewarganegaraan terbuka berdasarkan territorial adalah Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928 dimana pemuda-pemuda yang mendeklarasikan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa Indonesia adalah perwakilan dari berbagai daerah di Indonesia yang merupakan bekas wilayah jajahan Belanda.

Kewarganegaraan terbuka berdasarkan territorial ini sesuai dengan keragaman rakyat Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam etnis, agama, status sosial dan gender. Keragaman rakyat Indonesia ini akan menjadi modal sosial yang dapat menjadi perekat untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk final Negara Indonesia, dengan catatan keragaman rakyat tersebut tidak hanya diakui (recognized) tapi juga dipenuhi hak-haknya secara setara. Pemerintah memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak warga Negara tanpa memperhatikan latar belakangnya, termasuk agama yang dipeluknya.

Menghormati adalah merupakan kewajiban negatif, yaitu semua pihak wajib tidak melakukan berbagai tindakan yang dapat berimplikasi terhadap tidak terpenuhi hak-hak umat beragama. Melindungi dalam artian setiap warga negara dilindungi hak-haknya agar tidak diganggu oleh pihak lain. Pemerintah misalnya dapat mengeluarkan undang-undang untuk mencegah pelanggaran terhadap umat beragama. Sedang, memenuhi adalah merupakan kewajiban positif, yaitu semua pihak semestinya turut berperan serta dalam menciptakan sistem politik, hukum, ekonomi, dan sosial yang memungkinkan umat beragama mengakses hak-haknya (Perserikatan Bangsa-bangsa, Frequently Asked Questions on Human Rights-Based Approach to Development Cooperation, New York dan Geneva: PBB, 2006: 2-3).

Rumusan sila pertama Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan kemudian ditegaskan kembali dalam UUD 1945 Pasa 29 Ayat (1) dan (2), bahwa “Negara berdasar atas Ketuhahan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamnya dan kepercayaannya itu” dapat dipahami dalam kerangka bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan terhadap umat beragama sehingga dapat mengakses hak-haknya. Selain itu, semua umat beragama juga harus bersumbangsih terhadap perlindungan hak-hak umat beragama yang lain dengan berusaha mempraktikkan Etika Global yang dideklarasikan pada peringatan Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago, Amerika Serikat, tanggal 28 Agustus – 4 September 1993. Salah satu prinsip etika global tersebut adalah kultur anti kekerasan dan sikap hormat terhadap semua kehidupan. Jadi, semua umat beragama didesak untuk melindungi kehidupan dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan yang kerap diabaikan (St. Sunardi, Keselamatan Kapitalisme Kekerasan, Yogyakarta: LKiS, 1996: 176-177).  Rintisan etika bersama antara umat beragama ini penting dalam rangka saling menghormati hak masing-masing.

 Secara sosiologis, RUU Tentang Perlindungan Umat Beragama penting mengingat kekerasan atas nama agama kerap terjadi di Indonesia, baik antar umat beragama maupun di internal umat beragama dan penodaan terhadap agama (religious blasphemy). Kekerasan antar umat beragama seperti konflik Maluku pada tahun 1999 dan konflik Poso, Sulawesi Tengah pada tahun 1998 – 2001. Kekerasan di internal umat beragama seperti kekerasan yang dialami oleh kaum Ahmadiyah di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Manis Lor, Kuningan Jawa Barat, kekerasan yang dialami oleh kaum Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur dan lainnya.  Kasus penodaan agama adalah seperti yang dilakukan oleh mantan pemimpin Jemaat Bethel Tabernakel Shekinah Heidi Eugenie yang dianggap melakukan penodaan terhadap agama Kristen. Ketika berkhotbah di depan Komunitas Flame (Fear of the Lord Ablaze Magnificent upon this Earth) pada Januari dan Juni 2010 dan Juni 2011,  Heidi mengatakan bahwa Tuhan dan Roh Kudus mengobrol denganya (tempo.co, Selasa, 22 Maret 2012), serta Ahmada Muzadek yang pada tahun 2006 mengaku sebagai nabi dan tidak mewajibkan pengikutnya untuk melaksanakan shalat lima waktu dan puasa pada Bulan Ramadan. Padahal, menurut Kitab Suci Umat Islam, shalat lima waktu  dan berpuasa di Bulan Ramadan adalah wajib. Jadi, RUU Tentang Perlindungan Umat Beragama tersebut diharapkan dapat mengurangi atau bahkan meniadakan kekerasan atas nama agama dan penodaan terhadap agama.

Sedang secara yuridis, di atas telah dijelaskan bahwa MK melalui Putusan Nomor 140/PUU-VII/2009 menyebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tidak bertentangan dengan UUD 1945. Putusan MK ini menegaskan bahwa UU tersebut benar dan tidak berlawanan dengan kebebasan beragama yang dijamin konstitusi. Namun demikian, UU tersebut tidak tertutup kemungkinannya untuk dilakukan perbaikan. UU tersebut belum baik dalam artian penyusunannya tidak sesuai dengan kaidah dan sistematika pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Oleh karena itu, RUU Tentang Perlindungan Agama tersebut harus baik dan benar serta dapat dilaksanakan sehingga perlindungan terhadap umat beragama semakin meningkat.

Kesimpulan

Pancasila, UUD 1945, dan UU yang terkait dengan perlindungan terhadap umat beragama menjamin kebebasan beragama. Namun pelaksanaan UU tersebut belum maksimal karena masih sering terjadi pelanggaran terhadap hak-hak umat beragama. Oleh karena itu, kenyataan seperti ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan perbaikan terhadap UU yang terkait perlindungan umat beragama. Perbaikan UU tersebut diharapkan dapat meningkatkan perlindungan umat beragama.**

——-

Makalah disampaikan pada Seminar Nasional “Perlindungan Pemerintah Terhadap Pemeluk Agama” dalam rangka menyambut hari amal bhakti Kementerian Agama RI ke 69 pada tanggal 18 Desember 2014 di Jakarta.

Related Posts