Fikrah

Media dan Bahaya Transkultural

Secara sepintas, media informasi hanyalah elemen pendukung suatu kebudayaan. Namun demikian, bidang ini sangat berperan dalam menentukan arah dan perkembangan peradaban manusia. Apalagi, kemajuan teknologi informasi telah mengalami lompatan-lompatan yang cukup mengagumkan.

Penemuan microchip pada dasa warsa 90-an telah mendorong perkembangan teknologi komputer dan multi media secara pesat. Perkembangan teknologi demikian merupakan kekuatan yang memungkinkan diperolehnya informasi tentang berbagai fenomena yang tejadi hampir di seluruh pelosok dunia dalam waktu singkat dan hanya dengan menekan remote control.

Perkembangan teknologi sebagaimana disebutkan di atas, secara tidak langsung telah menghapus wacana dominasi dan hegemoni kebudayaan Barat terhadap kebudayaan Timur yang selama ini dikhawatirkan kalangan umat Islam. Sebagai gantinya, muncul momok yang lebih menakutkan yaitu siapa yang menguasai teknologi dan informasi, maka merekalah yang akan mempengaruhi dan "menentukan arah" perjalanan masyarakat dan peradaban global.

Deviasi Kultural

Secara eksplisit, pengaruh perkembangan teknologi informasi itu telah banyak dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Realitas masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan sedang terjadinya deviasi kultural yang sangat sistematis hampir dalam semua dimensi kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, maupun agama. Meningkatnyat angka kriminalitas dan memburuknya moral anak bangsa merupakan ekspresi konkrit dari gejala deviasi tersebut.

Bila dicermati secara seksama, fenomena patologi sosial tersebut sangat terkait dengan arus transformasi budaya global dari berbagai belahan dunia yang masuk secara bebas dan anti filterisasi. Sebagai contoh, budaya pop yang lagi “ngetrend” di dunia Barat, sekarang sudah mewabah di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Musik dan film merupakan dua hal penting yang menjadi ikon budaya pop tersebut. Tanpa disadari, kedua ikon budaya pop itu telah mengubah gaya hidup sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.

Akibat sosial dari arus ini adalah tergerakkannya kebudayaan menjadi salah satu subyek gerakan industrialisasi. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pelaku budaya pop, seperti pegiat film dan penyanyi, menjadi figur baru di tengah konstelasi sosial masyarakat Indonesia. Kehadiran mereka sebagai patron dalam kehidupan budaya telah membius masyarakat sekaligus menenggelamkannya dalam mimpi-mimpi imaginal yang sangat tidak rasional. Masyarakat penikmat kebudayaan di-reifikasi sedemikian rupa menjadi sebuah komoditas industri yang berorientasi materialisme dan hedonisme.

“Wajah seram“ materialisme dan hedonisme terlihat dengan jelas dari hasil produksi budaya pop yang setiap hari hadir di rumah-rumah masyarakat Indonesia melalui siaran televisi. Tayangan vulgar berupa pornografi, pornoaksi, dan juga gemerlapnya kehidupan para bintang sudah menjadi santapan sehari-hari masyarakat Indonesia tanpa memandang usia dan strata sosial. Selain itu, tayangan lain yang dianggap cukup berbahaya adalah tayangan mistik yang belakangan mewabah seiring dengan mewabahnya budaya pop di atas. Tayangan irrasional itu juga cukup efektif dalam mengubur rasionalitas masyarakat kita.

Televisi bukanlah satu-satunya media yang potensial dalam mengubah world view umat Islam. Dibandingkan dengan televisi, media internet jauh lebih berbahaya. Revolusi teknologi media internet menawarkan cara baru dalam berkomunikasi yang menembus jarak, ruang, dan waktu. Dunia nyata kini telah diganti dengan dunia maya. Jutaan bahkan miliaran informasi dapat diakses secara bebas dari seluruh penjuru dunia oleh siapa saja.

Di samping informasi-informasi positif, internet juga menawarkan informasi-informasi yang melewati ambang batas etika dan moralitas. Cybersex, misalnya, merupakan salah satu wacana yang paling berbahaya. Melalui portal internet, orang dapat saja ”bekeliling dunia” mencari kenikmatan seksual. Bahkan lebih dari itu, media ini juga dapat dijadikan sebagai sarana transaksi seksual yang cukup efektif, baik untuk mem-booking pasangan maupun sekedar membeli gambar dan film-film porno. Ironisnya, transaksi semacam ini tidak hanya dapat dilakukan orang dewasa, tetapi juga anak-anak yang masih berada di bawah umur.

Maraknya budaya pop, wacana mistik, dan  negative side dari internet yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia merupakan suatu “tragedi” kebudayaan di abad ini. Agama Islam dengan nilai-nilai ilahiyah yang dibawanya, haruslah menjadi tonggak dan penyangga utama kebudayaan dan peradaban masyarakat Islam. Agama Islam harus mewarnai setiap elemen kebudayaan, dan bukan diwarnai. Ia harus menjadi sumber pencerahan bagi seluruh aktivitas umat di setiap zaman dan tempat (sholihun likulli zamanin wa makanin).

Langkah Antisipatif

Deviasi kultural akibat infilterisasi media merupakan tantangan terbesar umat Islam. Saat ini, umat Islam sedang menghadapi dua peperangan yang cukup dahsyat yaitu perang tanpa wujud (silent war) dan perang pemikiran (ghaz al-fikr). Perang ini jauh lebih berbahaya dari perang terbuka karena ia langsung menusuk dan menyentuh alam pikiran umat Islam. Di samping itu, dalam peperangan jenis ini kita sangat sulit untuk menentukan siapa kawan dan siapa lawan.

Menghadapi bahaya negatif perkembangan teknologi informasi ini, umat Islam tidak boleh berpangku tangan. Karenanya, diperlukan kontinuitas dalam mengevaluasi dan merekonstruksi perkembangan teknologi informasi agar tetap sesuai dengan panduan doktrinalnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Sejalan dengan itu, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh umat Islam dalam mengantisipasi bahaya tersebut.

Pertama, memberikan pencerahan kepada generasi muda Islam tentang dampak positif dan negatif dari teknologi informasi yang ada di tengah-tengah masyarakat. Cara ini diharapkan dapat membangun kemandirian dalam menyaring informasi yang ditawarkan oleh berbagai media yang ada. 

Kedua, merangsang para seniman dan budayawan Muslim Indonesia agar semakin giat berkreativitas dalam menyusun program-program hiburan yang bernuansa Islam. Hasil kreativitas seniman dan budayawan Muslim ini dapat dijadikan sebagai sarana alternatif dalam memerangi berbagai patologi sosial akibat dampak negatif dari perkembangan teknologi dan informasi.

Ketiga, umat Islam harus mampu memenangkan persaingan dalam penguasaan informasi global. Menurut Ziauddin Sardar (1988), penguasaan informasi sangat diperlukan terutama untuk menciptakan keselarasan hidup. Dan capaian keselarasan hidup itu hanya akan mungkin bila masyarakat muslim menjadi produk dan pengguna dari informasi itu sendiri.

Keempat, umat Islam harus berani meluruskan berbagai penyalahgunaan media informasi agar tetap sesuai dengan panduan doktrinalnya, yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Melalui cara ini, seluruh informasi yang beredar di tengah-tengah masyarakat Muslim dapat dikontrol sedemikian rupa sehingga ia bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Agar langkah-langkah itu dapat berfungsi secara efektif, umat Islam diharapkan dapat menghimpun segala kekuatan yang dimiliki untuk selanjutnya melakukan aksi-aksi nyata dalam memproteksi masyarakat Muslim Indonesia. Oleh karena besarnya tantangan yang sedang dihadapi, maka kita harus pro-aktif terlibat di dalamnya secara bersama-sama. Hanya dengan cara inilah, umat Islam dapat bersaing dengan umat lain dalam mengelola sumber-sumber informasi yang selalu dibutuhkan oleh setiap manusia.

Reminders: Hindari Plagiasi, tulisan ini telah diterbitkan di harian Republika. Bila hendak mengutip, silahkan mengutip sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menghargai pemikiran penulisnya.

Sumber: Opini Harian Republika Tanggal 29 Mei 2012.

Related Posts