Fikrah

Membumikan Islam Mazhab Ketiga (Refleksi Kritis Terhadap Fundamentalisme Dan Liberalisme Islam)

Pendahuluan

Munculnya polarisasi Islam di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah fenomena mutakhir yang sulit dielakkan. Polarisasi yang terjadi biasanya merujuk pada cara pandang umat Islam dalam menginterpretasikan dalil-dalil yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Secara metodologis, terdapat dua mazhab yang berhadapan secara diametral ketika menginterpretasikan kandungan makna yang terdapat dalam sumber hukum Islam tersebut. Pertama, mazhab tekstual yang menafsirkan ayat sesuai dengan arti verbal ayat-ayat itu kata demi kata. Situasi dan kondisi yang dirujuk kebanyakan adalah aktivitas Nabi dan para sahabat pada masa itu. Kemajuan sains dan teknologi diabaikan. Bagi mazhab ini, penafsiran harfiah cenderung sudah final[1].

Kedua, mazhab kontekstual yang menafsirkan ayat-ayat bukan hanya terbatas pada arti verbal ayat-ayat, tetapi juga merujuk pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, penafsiran terbuka jika premis-premis baru muncul. Ilmu pengetahuan dan teknologi adalah juga sunnah Allah yang harus dirujuk sesuai dengan ayat yang bersangkutan dan ini membuat penafsiran menjadi dinamis[2].

Dari sini kemudian muncullah istilah-istilah yang mengategorisasikan umat Islam ke dalam banyak corak dan aliran. Ada Islam tradisionalis, Islam modernis, Islam abangan, Islam puritan, Islam skriptualis, Islam substantif, Islam literal, Islam ekstrem, Islam militan, dan lain sebagainya[3]. Semua kategorisasi itu akhirnya mengerucut pada dua arus gerakan dan pemikiran yaitu Islam radikal/fundamental dan Islam liberal.

Penggunaan istilah Islam radikal dan Islam liberal mengandung konotasi beragam; dan tidak jarang konotasi itu di kalangan Muslim sendiri bersifat pejoratif. Namun secara sosiologis, fenomena faham keagamaan yang sering dikategorikan Islam radikal dan Islam liberal sulit diabaikan begitu saja. Dengan kata lain, memang terdapat kelompok-kelompok Muslim yang memiliki paham, pandangan dunia (worldview), dan ideologi seperti itu[4].

Pada tataran praksis, kedua kelompok ini sangat sulit dipertemukan. Kedua belah pihak saling curiga, bahkan saling tuding. Kalangan Islam liberal menuding  kelompok Islam radikal telah mencoreng wajah Islam yang ramah dan toleran dengan menghadirkan warna Islam yang kejam dan bringas. Sebaliknya, kalangan Islam radikal menuduh kelompok Islam liberal telah merusak dan menghancurkan prinsip-prinsip dasar agama Islam dengan cara mengembangkan paham sekularisme, pluralisme, dan multikulturalisme di tengah-tengah umat Islam. Ketegangan antara kedua kelompok tersebut masih terus dapat dirasakan hingga saat ini. Tidak ada yang tahu sampai kapan ketegangan itu akan mereda.

Islam Fundamental

Bila dikaji dari sudut pandang historis-etimologis, pada awalnya istilah "fundamentalisme" hanya diatribusikan pada sekte Protestan yang menganggap Injil bersifat absolut dan sempurna dalam arti literal dan, dengan demikian, mempertanyakan satu kata yang ada dalam Injil dianggap dosa besar dan tak terampuni. Makna sebenarnya dari istilah ini adalah suatu sikap intelektual yang mengklaim telah mendasarkan prinsip-prinsip politiknya dari teks-teks suci[5].

Sementara itu, istilah ”radikal” menurut pengertian kamus secara sederhana mengacu kepada keadaan atau orang dan gerakan tertentu yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara cepat dan menyeluruh yang bukan tidak sering dilakukan dengan menggunakan cara-cara tanpa kompromi dan bahkan kekerasan—bukan dengan cara-cara damai. Antonim radikal adalah reaksioner, yang mengacu pada keadaan, orang-orang atau gerakan tertentu yang tidak menginginkan perubahan, yang ingin mempertahankan status-quo[6].

Ruang lingkup gerakan ini sangat luas. Oliver Roy menggambarkan bahwa kelompok Islam neofundamentalis radikal (radical neo-fundamentalism) sejatinya adalah gerakan supranasional yang beroperasi lintas negara karena ada jaringan internasional yang melatih dan memberikan dana. Kelompok Islam fundamentalis ini berjuang menggunakan simbol politik dan radikalisasi jihad untuk melawan Barat. Dengan keluasan jaringannya, kelompok ini mudah memperluas wilayahnya ke berbagai negara. Tidak saja di negara-negara Islam, tetapi juga merambah ke negara-negara non-Islam, bahkan di negara-negara Barat sekalipun[7].

Di tengah terjadinya Islamofobia dan histeria antimuslim yang terjadi di sejumlah negara Barat, saat ini istilah fundamentalisme digunakan secara subjektif, selektif, dan bias untuk melecehkan dan menjatuhkan Islam dan menggambarkannya sebagai ancaman pada peradaban Barat.

Propaganda anti-Islam "fundamentalis" dan "militan" semakin meningkat sejak revolusi Iran pada 1979[8]. Sejumlah pemimpin Barat dan akademisi serta kelompok media berpengaruh dengan penuh semangat berpartisipasi dalam usaha ini. Seperti yang dikatakan Presiden AS Richard Nixon, "Fundamentalisme Islam telah mengganti komunisme sebagai instrumen pokok perubahan dengan cara kekerasan." Implikasi implisit ucapan Nixon ini adalah bahwa "fundamentalisme Islam" memiliki potensi sebagai ancaman lebih besar daripada komunisme. Dalam buku "Satanic Verses", Salman Rushdie berpendapat bahwa "Islam"-lah yang bertanggung jawab dalam "mempromosikan kebencian pada peradaban modern".

Kita tidak bisa serta merta menyalahkan pendapat Nixon itu seratus persen. Secara faktual harus diakui bahwa kelompok radikal dan militan di antara pemeluk Islam itu ada. Dalam tubuh agama lain juga terdapat elemen-elemen ekstrim semacam itu. Akan tetapi, secara statistik, kalangan ekstrimis di berbagai agama ini adalah bagian kecil dari populasi dunia dan secara bulat ditolak keberadaannya oleh bangsa-bangsa pecinta damai dan penegak keadilan, termasuk oleh negara-negara Islam[9].

Persoalan yang perlu ditelusuri kemudian adalah bagaimana mengenali prinsip dan karakteristik gerakan fundamentalisme tersebut agar kita dapat mengantisipasi dan menghindarinya. Menurut Martin E. Marty, seorang sosiolog agama, setidaknya   terdapat empat prinsip yang dipegang oleh kaum fundamentalisme Islam. Prinsip pertama fundamentalisme adalah “oppositionalism” (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama manapun mengambil bentuk perlawanan –yang bukannya tak sering bersifat radikal—terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama, apakah dalam tata nilai Barat pada umumnya.  Acuan  dan tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah  kitab suci, yang dalam kasus fundamentalisme Islam adalah  al-Qur’an, dan pada batas tertentu al-Hadits.

 Prinsip kedua adalah penolakan terhadap hermeneutika. Artinya, mereka  menolak sikap kritis (liberal) terhadap teks dan interpretasinya. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal—sebagaimana adanya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari kitab suci boleh jadi  kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak dibenarkan melakukan semacam “kompromi” dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut.

 Prinsip ketiga adalah penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi kaum fundamentalisme, pluralisme merupakan hasil dari pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. Pemahaman dan sikap keagamaan yang tidak selaras dengan pandangan kaum fundamentalis merupakan bentuk dari relativisme keagamaan, yang terutama muncul tidak hanya dari intervensi nalar terhadap teks kitab suci, tetapi juga karena perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali agama.

 Prinsip keempat adalah penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis. Kaum fundamentalis berpandangan, bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia  semakin jauh  dari  doktrin literal kitab suci. Perkembangan masyarakat  dalam sejarah dipandang  sebagai “as it should be” bukan “as it is”. Dalam kerangka ini, adalah masyarakat yang harus menyesuaikan perkembangannya—kalau perlu secara kekerasan—dengan teks kitab suci, bukan sebaliknya, teks atau penafsirannya yang mengikuti perkembangan masyarakat. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis; dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat “ideal”—bagi kaum fundamentalis Islam seperti pada kaum salaf—yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna[10].

Islam Liberal

Secara etimologis, liberal berarti bebas. Dalam sejarah pemikiran modern, kata liberal seringkali merujuk pada semboyan revolusi Prancis 1789 Liberty (kebebasan/kemerdekaan), Egalite (persamaan) dan Fraternite (persaudaraan). Kala itu, istilah liberty dimaknai sebagai sebuah gerakan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan, ketidakadilan, dan tindakan otoriter para penguasa. Pemaknaan ini terkait erat dengan situasi sosial politik masyarakat Prancis saat itu.

Namun sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, istilah liberty/liberal tidak lagi diarahkan pada persoalan sosial politik, tetapi lebih dari itu juga dimaknai sebagai bentuk kebebasan berpikir. Dengan dikomandoi oleh Nicolaus Copernicus, para saintis di dunia Barat ramai-ramai memperjuangkan kebebasan berpikir dan menentang sikap otoritarianisme kalangan gereja. Revolusi Copernican ini kemudian membawa masyarakat Barat kepada tatanan dunia baru, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi[11].

Belakangan ini, makna kata liberal semakin meluas bahkan mempengaruhi gerakan dan pemikiran di dunia Islam, termasuk Indonesia. Perluasan makna itu semakin jelas ketika kata Islam digandengkan dengan kata liberal. Terlepas dari cocok tidaknya penggabungan kata Islam dan liberal, namun sepertinya terdapat semangat yang sama antara makna liberal pada masa revolusi Prancis dan revolusi Copernican dengan Islam liberal. Kesamaan itu terlihat dari sisi gerakan perlawanan terhadap suatu bentuk kemampanan yang ada di masyarakat. Bila revolusi Prancis dan revolusi Copernican melawan kemapanan para penguasa dan kalangan gereja, maka Islam liberal melawan kemapanan pemahaman keagamaan masyarakat Islam yang dianggap statis dan stagnan.

Beranjak dari tinjauan historis-etimologis tersebut, para peneliti sering mendefenisikan Islam liberal sebagai suatu keadaan atau sikap orang atau gerakan tertentu yang bersedia menghargai gagasan atau perasaan orang lain, yang juga mendukung perubahan-perubahan sosial, politik, dan keagamaan melalui pembebasan pemikiran dari pandangan dunia dan sikap literal, dogmatis, reaksioner atau pro-status quo[12]. Secara operasional, Islam liberal juga dimaknai sebagai suatu gerakan keagamaan yang menekankan pada pemahaman Islam yang terbuka, toleran, inklusif, dan kontekstual. Kelompok ini berusaha menafsirkan dan mengimplementasikan Al-Qur’an dengan menggunakan nalar sekuler yang menerima kebenaran akal secara taking for granted. Mereka selalu menggunakan prinsip taqaddam al-’aql ala al-naql (mendahulukan pendapat akal daripada wahyu). Bahkan tidak jarang di antara pengikut kelompok ini yang sama sekali mengabaikan Al-Qur’an dan Hadith.

Secara lebih spesifik, berikut ini dikutipkan dasar-dasar pemahaman keagamaan Islam liberal yang diambil dari situs Jaringan Islam Liberal. Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan landasan sebagai berikut:

a. Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.

Islam Liberal percaya bahwa ijtihad atau penalaran rasional atas teks-teks keislaman adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bisa bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau secara keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam akan mengalami pembusukan. Islam Liberal percaya bahwa ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik segi mu’amalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), dan ilahiyyat (teologi).

b. Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.

Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.

c. Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.

Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.

d. Memihak pada yang minoritas dan tertindas.

Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.

e. Meyakini kebebasan beragama.

Islam Liberal meyakini bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.

f. Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.

Islam Liberal yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus[13].

Dengan dasar-dasar pemahaman seperti itu, kehadiran kelompok ini tentu saja menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendapat-pendapat mereka tentang Islam sering sekali dianggap bertentangan dengan mainstream gerakan dan pemikiran yang ada di tengah-tengah umat Islam. Itulah sebabnya mengapa saat ini banyak kelompok Islam yang merasa risih dengan kehadiran kelompok ini. Untuk mengantisipasi gelombang pemikiran dan aksi yang mereka lontarkan, tidak jarang Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pemikiran yang mereka kemukakan. Meskipun diliputi oleh silang sengketa antara yang pro dan kontra, yang jelas kehadiran kelompok ini tentu sangat fenomenal dan perlu disikapi secara arif agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan bagi umat Islam di masa yang akan datang.

Refleksi Kritis

Bila direnungkan secara mendalam, fenomena kelahiran gerakan fundamentalisme dan liberalisme di Indonesia merupakan salah satu gejala kemunduran Islam. Perbedaan yang cukup tajam antara kedua main stream ini tentu dapat memecah belah persatuan dan kesatuan umat. Agenda pencerahan peradaban yang seharusnya menjadi sasaran perjuangan setiap kelompok umat Islam, kini beralih pada usaha-usaha untuk saling ”menghakimi” antara satu kelompok dengan kelompok yang lain. Tidak hanya sampai di situ, perbedaan pendapat antara dua kelompok yang tadinya hanya berada pada tingkat elit, kini telah merambah memasuki wilayah grass root umat Islam. Akibatnya, pertarungan secara fisik antara kedua kelompok ini hampir tidak dapat dihindari.

Sudah pada saatnya kita menyadari bahwa ada skenario besar yang berada dibalik perseteruan antara dua kelompok ini. Meski tidak memiliki bukti otentik, ada dugaan bahwa skenario tersebut berasal dari dunia Barat. Tujuannya adalah agar umat Islam lebih mudah ditaklukkan dan dikuasai.

Usaha memecah belah seperti ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Ketika itu, Clifford Gertz melalui penelitiannya mencoba mengkategorisasi umat Islam Indonesia kepada tiga kelompok yaitu kelompok priyayi, santri, dan abangan[14]. Tujuan utamanya adalah bagaimana agar umat Islam terpecah baik pada tataran sosial politik maupun pada tataran sosial keagamaan. Meskipun tidak berhasil secara maksimal, namun kategorisasi ini tetap berdampak luas hingga hari ini. Sejumlah asumsi menyatakan bahwa salah satu faktor kegagalan partai politik Islam dalam setiap pemilu yang digelar adalah karena adanya kategorisasi antara Islam santri dengan Islam abangan. Islam santri digiring untuk mendukung partai Islam, sementara Islam abangan digiring untuk mendukung partai nasional sekuler.

Bahkan pada masa penjajahan, usaha semacam ini juga sudah pernah dilaksanakan. Dengan politik devide et impera-nya, Belanda berhasil menjalankan misi imperialismenya selama kurang lebih 350 tahun. Meskipun berbeda strategi yang digunakan, namun tujuan dari skenario ini tetap sama yaitu menguasai dunia Islam.

Merintis Jalan Baru

Melalui uraian di atas, upaya yang perlu dilakukan umat Islam saat ini adalah merumuskan apa yang disebut “mazhab ketiga” (the third way), yakni sebuah jalan tengah dalam beragama untuk memediasi kedua kelompok tersebut. Mazhab ketiga adalah jalan beragama yang moderat, dalam arti tidak terlalu literal dan juga tidak terlalu liberal. Jalan beragama model ini mengandaikan adanya upaya kontekstualisasi ajaran Islam dalam ruang peradaban modern yang telah, sedang, dan akan selalu berubah.

Posisi tengah semacam ini merujuk pada tuntunan Al-Qur’an Surah Al-Baqarah (2) ayat 143 yang berbunyi:

Artinya: ”Demikianlah kami telah menjadikan kamu sebagai umat  penyeimbang (umat garis tengah) agar kamu dapat menjadi saksi atas perbuatan-perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”.

Untuk menerapkan ”mazhab ketiga” ini, umat Islam perlu melakukan klasifikasi terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Ayat-ayat yang berkenaan dengan prinsip-prinsip aqidah dan ibadah mahdhah haruslah ditafsirkan secara tekstual agar kita tidak semakin jauh dari ruh ajaran Islam yang sebenarnya. Sementara ayat-ayat yang berbicara masalah umur al-dunyawiyah merupakan ranah akal untuk mengkontekstualisasikannya agar sesuai dengan kebutuhan hidup kita sehari-hari. Dengan menggunakan formulasi semacam ini, maka terdapat keselarasan antara tajdidiyah di satu pihak dan ijtihadiyah di pihak lain. Inilah prinsip penting yang perlu dipertahankan agar Islam tetap menjadi rahmat di setiap waktu dan tempat (sholihun likulli zamanin wa makanin).

Sebagai contoh pengaplikasian mazhab ketiga dalam konteks beragama di masa kini dapat dilihat dalam penafsiran kata jihad dalam Islam. Bagi kelompok fundamentalis, kata jihad selalu dimaknai sebagai perang suci secara fisik, membawa senjata dalam rangka melawan setiap orang yang dianggap kafir. Sementara bagi kelompok liberal, doktrin jihad dalam Islam terlanjur dianggap sebagai bagian ajaran Islam yang sudah tidak sesuai lagi dengan konteks perkembangan zaman. Oleh karena itu, solusi yang diusulkan oleh kalangan ini adalah menghilangkan doktrin jihad dalam perbendaharaan ajaran Islam.

Dalam pandangan mazhab ketiga, tidak ada alasan sedikitpun untuk menghilangkan doktrin jihad dalam kamus ajaran Islam. Namun yang perlu dilakukan adalah bagaimana agar doktrin jihad itu tetap relevan dengan perkembangan zaman yang semakin kompleks dan menantang. Jihad harus dimaknai dalam konteks yang berbeda, bukan perang dalam pengertiannya yang klasik atau konvensional, yakni berperang melawan orang kafir. Melainkan perang dalam bentuk yang lebih “beradab” dan manusiawi, seperti berkompetisi dalam penguasaan ilmu dan teknologi, berlomba-lomba menciptakan kebajikan, dan hal-hal lain yang jauh lebih positif atau sesuai dengan perkembangan zaman.

Sembari merumuskan format ideal bagi perwujudan mazhab ketiga tersebut, hal lain yang perlu dilakukan umat Islam adalah merekatkan kembali ukhuwah Islamiyah antara kedua kelompok yang berseteru tersebut. Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah dengan jalan melakukan dialog pemikiran dalam suasana kekeluargaan. Umat Islam tidak cukup hanya membaca literatur berbahasa Arab, tetapi lebih dari itu mereka juga perlu melengkapi dirinya dengan literatur-literatur Barat. Dengan mempelajari semua literatur keagamaan dari berbagai macam sumbernya, maka langkah-langkah umat Islam dalam menjalankan misi suci Islam sebagai rahmatan lil’alamin akan segera tercapai.

Selain itu, umat Islam dapat melakukan usaha lain yaitu dengan merumuskan musuh abadi dan musuh komunal (common enemy) bagi seluruh umat manusia. Di antara musuh komunal tersebut adalah kebodohan, kemiskinan, wabah penyakit, dan sejumlah patologi sosial yang menyerang masyarakat kita saat ini. Memerangi kebodohan, kemiskinan, wabah penyakit, dan patologi sosial merupakan ajaran luhur yang menjadi salah satu ruh ajaran Islam. Dengan menciptakan kebodohan kemiskinan, wabah penyakit, dan patologi sosial sebagai musuh bersama, maka dengan sendirinya hal-hal yang bersifat  furu’iyyah tidak lagi akan menjadi masalah, atau bahkan sebaliknya bisa jadi akan berubah menjadi mashlahah.

Penutup

Uraian yang disebutkan di atas kiranya dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam menilai wacana dan pergerakan Islam di tengah-tengah masyarakat. Andaikata tidak ada upaya untuk menjembatani dua kutub gerakan dan pemikiran Islam tersebut, maka masa depan umat Islam Indonesia secara keseluruhan menjadi taruhannya. Implikasi dari perkembangan dua main stream itu tidak saja akan merugikan umat Islam di tingkat nasional dan regional, bahkan bisa merusak tatanan dunia Islam secara global.

Dalam konteks inilah, diperlukan sekelompok pemikir Muslim yang dapat dijadikan sebagai motor penggerak dinamika intelektual di tengah-tengah umat. Mereka harus menjadi pilar bagi tumbuhnya kekuatan penyeimbang untuk mempersatukan energi umat dalam mempersiapkan masa depan yang lebih baik. Dengan segala potensi dan kapasitas yang dimiliki,  mereka diharapkan mampu berdiri di garis tengah untuk menyelesaikan problem perpecahan umat akibat perbedaan persepsi dan interpretasi terhadap ajaran-ajaran Islam. Wallahu’alam.

 

Reminders: Hindari Plagiasi, tulisan ini telah diterbitkan di dalam jurnal ilmiah. Bila hendak mengutip, silahkan mengutip sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah untuk menghargai pemikiran penulisnya.

 

 


* Dosen Fisip UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

[1] Untuk memperkuat posisi mazhab ini, sebagian ulama bahkan menyatakan bahwa keterangan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur`an  tidak tergoyahkan, baik dijumpai penjelasan dan tafsirnya yang sejalan dengan penemuan ilmiah maupun tidak. Dengan kata lain, kebenaran ayat Al-Qur`an tidak bergantung pada ada dan tidak adanya bukti-bukti kebenarannya secara ilmiah. Al-Qur`an itu benar dengan sendirinya. Juhaya S. Praja, Tafsir Hikmah, (Bandung : Rosda, 2000), h. 177.

[2] Lebih jauh lihat, Anharuddin Anharuddin (Ed.), Evolusi Manusia dan Konsepsi Islam, (Bandung : Gema Risalah Press, 1992), h. 1.

[3] Lihat R. William Liddle, “Skriptualisme Media Dakwah: Suatu Bentuk Pemikiran dan Aksi Politik Islam di Indonesia”, dalam Mark R. Woodward (ed), Jalan Baru Islam, Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, diterjemahkan oleh Ihsan Ali Fauzi, (Bandung : Mizan, 1999), h. 304.

[4] Azyumardi Azra, Konflik Baru Antar Peradaban (Globalisasi, Radikalisme, & Pluralitas), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 112.

[5] Youssef M. Choueirie, Islamic Fundamentalism (Londong : Pinter Publishers, 1990), h. ii.

[6] Azyumardi Azra, Ibid.

[7] Oliver Roy, The Failure of Political Islam, (London: President and Fellows of Havard College, 1994), 136-142.

[8] Lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Hermann Frederick Elits, ”Foreward” dalam Jhon L. Esposito, Islam and State, (New York: Syracuse University Press, 1987), h. ix.

[9] A. Fatih Syuhud, “Bias Makna Fundamentalisme”, dalam harian Pelita, tanggal 23 September 2003.

[10] Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 1996), h.  109-110.

[11] Lebih lanjut mengenai diskursus antagonisme antara filsafat, sains, dan agama lihat, Saleh Partaonan Daulay, “Merajut Harmonisasi Filsafat, Sains,& Agama”, dalam Jurnal Pemikiran Skolastik, Vol. 1. No. 1, September –Desember 2006, h. 12-13.

[12] Azyumardi Azra, Opcit, h. 112.

[13] http://islamlib.com/id/halaman/tentang-jil diakses tanggal 10 April 2012.

[14] Keterangan lengkap mengenai kategorisasi ini, lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, (Glencoe: Free Press, 1960).

 

Related Posts