Fikrah

Menyegarkan Hubungan PAN dan Muhammadiyah

Kalau tidak ada aral melintang, Partai Amanat Nasional (PAN) akan mengadakan rakernas di Jakarta, Jumat-Minggu (9-11/12) mendatang. Menurut penjelasan para pentolannya, ada beberapa isu strategis yang akan diperbincangkan dalam rakernas itu. Selain isu pemenangan pemilu 2014, isu lain yang akan digulirkan adalah evaluasi terhadap eksistensi PAN di dalam sekretariat gabungan partai-partai koalisi, pengusulan nama Hatta Rajasa sebagai capres PAN, dan penyusunan sejumlah program kerja partai empat tahun ke depan.

Agenda-agenda tersebut tentu sangat menarik untuk dibicarakan. Namun, agenda-agenda itu dinilai belum cukup. Ada satu agenda lagi yang tak kalah penting, yaitu bagaimana menyegarkan kembali hubungan PAN dan Muhammadiyah.

Sejak dideklarasikan pada 23 Agustus 1998 yang lalu, pasang surut hubungan PAN dan Muhammadiyah sangat dirasakan. Pasang surut itu mencapai titik kulminasi ketika pada pemilu yang lalu sejumlah aktivis muda Muhammadiyah mendirikan Partai Matahari Bangsa (PMB). Walau tidak mendapat suara signifikan, keberadaan PMB dinilai sangat merepotkan. Mau tidak mau PAN harus mengeluarkan energi ekstra untuk melakukan konsolidasi, khususnya ke kantong-kantong suara Muhammadiyah.

Ikatan Historis

Energi ekstra yang dikeluarkan untuk konsolidasi tersebut menunjukkan bahwa PAN membutuhkan Muhammadiyah. Keterkaitan PAN dengan Muhammadiyah sebetulnya bukan hanya sebatas untuk meraih suara warga Muhammadiyah. Tetapi lebih dari itu, PAN dan Muhammadiyah memiliki ikatan historis yang tak boleh dilupakan.

Ikatan historis itu sedikitnya bisa ditelusuri dalam tiga hal. Pertama, PAN lahir dari rahim Muhammadiyah dimana pendiriannya merupakan tindak lanjut dari hasil Tanwir Muhammadiyah di Semarang tahun 1998. Kedua, pada awal pendiriannya amal usaha dan juga aktivis Muhammadiyah secara kolektif digunakan untuk menunjang infrastruktur partai ini. Ketiga, Ketua Umum PAN yang pertama adalah kader terbaik Muhammadiyah yang “diwakafkan” untuk mengawal jalannya reformasi melalui jalur politik praktis.

Pada tahun-tahun pertama, hampir seluruh warga Muhammadiyah merasa bagian yang tidak terpisahkan dengan PAN. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan sesuatu yang dimilikinya untuk memperkuat eksistensi PAN. Dukungan terhadap PAN ketika itu bukan hanya dilandaskan pada persoalan politis, tetapi juga didasarkan pada persoalan ideologis. Melalui PAN, Muhammadiyah berharap dapat mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politiknya dalam memperjuangkan urusan umat.

Namun belakangan ini, hubungan baik antara PAN dan Muhammadiyah dirasakan agak sedikit redup. Terasa ada jarak di antara keduanya. Komunikasi politik hanya terjadi pada tataran elit. Bahkan, banyak warga Muhammadiyah yang merasa “terpinggirkan”. Meski belum pindah ke partai lain, namun tingkat kepedulian warga Muhammadiyah terhadap PAN terasa berkurang.

Di era multi partai seperti sekarang, tentu sangat tidak elok bila PAN mengabaikan fenomena ini. Di saat partai-partai lain berusaha keras merebut simpati semua elemen masyarakat, sudah sepatutnya PAN berusaha mempertahankan basis yang ada.  Dalam konteks ini, pepatah yang berbunyi “Berharap Merpati terbang tinggi, Punai di tangan jangan dilepas” sangat perlu direnungkan. Pepatah ini mengajarkan agar jangan karena mengharapkan suara yang belum pasti, PAN lalu meninggalkan yang sudah pasti.

Membangun Agenda Bersama

Menyegarkan kembali hubungan PAN dan Muhammadiyah semestinya tidaklah terlalu sulit. Selain fakta historis di atas, harus diakui bahwa saat ini masih banyak aktivis Muhammadiyah yang berkhidmat di PAN. Mereka tentunya juga masih memimpikan terjalinnya hubungan sinergis antara PAN dan Muhammadiyah. Namun pertanyaannya adalah dari mana harus dimulai?

Momentum rakernas kali ini dinilai sangat efektif untuk memulai upaya itu. Setidaknya, ada tiga langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh PAN untuk menyusun agenda bersama dengan Muhammadiyah. Pertama, PAN semestinya melakukan upaya proaktif menyuarakan kepentingan-kepentingan politik Muhammadiyah baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Di tingkat legislatif, misalnya, PAN diminta untuk melibatkan Muhammadiyah dalam setiap penyusunan Rancangan Undang-undang (RUU) yang ada.

Sebagai instrumen fundamental dalam mendesain masa depan bangsa Indonesia, Muhammadiyah sangat berkepentingan terhadap setiap RUU. Kepentingan Muhammadiyah terhadap RUU terutama untuk melindungi amal usaha dan dakwah Muhammadiyah. Pada titik ini, PAN diminta benar-benar ikut menyuarakan aspirasi Muhammadiyah.

Pada tingkat eksekutif, PAN juga semestinya ikut mengawal amal-amal usaha Muhammadiyah dari kelalaian dan ketidakpedulian pemerintah. Institusi-institusi pendidikan, kesehatan, universitas, panti asuhan, dan lembaga-lembaga keuangan mikro Muhammadiyah perlu mendapat sentuhan ramah dari pemerintah. Kekuatan politik yang dimiliki PAN dinilai sangat efektif untuk melindungi dan membesarkan amal-amal usaha Muhammadiyah tersebut.

Kedua, PAN diminta untuk memberikan akses dan kemudahan bagi aktivis Muhammadiyah untuk dapat berkompetisi dalam setiap pemilu dan pilkada-pilkada. Sebagai organisasi kader, Muhammadiyah memiliki sejumlah kader yang siap mengabdi untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun karena tingginya persaingan di internal partai politik, kader-kader tersebut tidak bisa didistribusikan secara baik. Tentu sangat bijak bila PAN membuka akses dan memberikan skala prioritas kepada kader-kader terbaik Muhammadiyah tersebut.

Ketiga, PAN diminta untuk konsisten menerapkan nilai-nilai Islam dalam setiap perjuangan politiknya. Muhammadiyah sangat risau melihat tingginya angka korupsi dan manipulasi di ranah legislatif dan eksekutif. Dalam kaitan ini, PAN dapat membantu Muhammadiyah dengan cara menerapkan politik akhlaq al-karimah. PAN harus berdiri di barisan terdepan untuk menegakkan kembali moralitas para pengambil kebijakan di negeri ini.

Bila ketiga agenda sederhana itu dapat dilaksanakan dengan baik, hubungan PAN dan Muhammadiyah akan dapat disegarkan kembali. Bahkan lebih dari itu, hubungan tersebut akan semakin erat dari waktu ke waktu. Hubungan yang ada tidak lagi berada pada tataran wacana, tetapi sudah beradah pada wilayah substantif yang aplikatif. Semoga rakernas kali ini dapat menghasilkan keputusan yang tidak hanya baik untuk PAN, tetapi juga baik untuk Muhammadiyah, umat, bangsa dan negara.

Catatan: Tulisan ini dimuat di harian Jurnal Nasional

Related Posts