Fikrah

Menggugat Kuota Perempuan

Oleh Saleh Partaonan Daulay*

Keputusan KPU menggugurkan caleg DPR RI dari beberapa partai di dapil-dapil tertentu akibat kurangnya kuota 30 persen caleg perempuan menarik untuk dicermati. Selain masih menyisakan sejumlah pertanyaan krusial, keputusan itu dinilai tidak adil.

Pasalnya, hanya karena kekurangan satu orang caleg perempuan, seluruh caleg di dapil itu dinyatakan gugur. Dengan kata lain, dosa personal menghukum sejumlah orang secara komunal.

Lebih ironis lagi, ada satu partai politik yang sesungguhnya telah melengkapi 30 persen kuota perempuan, namun karena berkas salah seorang caleg perempuannya dinyatakan tidak lengkap, keseluruhan caleg di dapil itu dinyatakan tidak sah

. Padahal, kasus seperti ini bukan karena kekurangan kuota perempuan, tetapi karena ketidaklengkapan syarat administratif. Semestinya, kasus seperti ini tidak dimasukkan dalam pelanggaran kategori kekurangan kuota perempuan, tetapi lebih pada ketidaklengkapan syarat administratif.

Keputusan itu sesungguhnya tidak hanya merugikan sejumlah caleg dan beberapa partai politik, tetapi juga merugikan masyarakat secara umum. Dalam kasus tertentu, ada caleg yang diminta masyarakat untuk mencalonkan diri karena menaruh harapan besar kepadanya.

Namun karena digugurkan akibat 'kesalahan' orang lain, masyarakat akhirnya kecewa. Karenanya, semangat untuk mendatangi TPS pada tanggal 9 April tahun depan menjadi hilang. Tidak tertutup kemungkinan, para pendukung caleg yang digugurkan secara paksa itu akan mengambil posisi golput.

Menggugat Kuota

Karena itu, tidak ada salahnya bila semua pihak yang terkait diminta mengkaji ulang soal efektivitas pemenuhan kuota 30 persen perempuan dalam sistem demokrasi Indonesia. Banyak isu yang perlu dijadikan pertimbangan berkenaan dengan aturan tersebut. Pertama, dengan penetapan kuota 30 persen itu, demokrasi Indonesia menjadi lebih liberal dibandingkan dengan di negara-negara tempat kelahiran demokrasi.

Liberalisasi di sini dimaknai sebagai proses 'pemaksaan' partisipasi perempuan dalam politik. Sementara, aspek sosio-kultural masyarakat Indonesia berbeda. Tidak semua perempuan tertarik dengan dunia politik. Banyak yang lebih tertarik mengurusi pendidikan, kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya.

Anehnya, di negara-negara maju pengaturan kuota perempuan tidak diterapkan secara ketat. Dalam praktiknya, selama ini semua orang di Indonesia memiliki hak dan kedudukan yang sama dalam penyaluran aspirasi politik, tanpa memandang jenis kelaminnya. Beda halnya jika ada aturan yang membatasi partisipasi perempuan.

Kedua, kewajiban parpol untuk memenuhi kuota 30 persen itu tidak sejalan dengan dengan kuota 30 persen untuk penyelenggara pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan lain-lain. Padahal, para penyelenggara ini juga merupakan elemen penting dalam proses demokrasi. Pertanyaannya, kalau perempuan bisa diberi kuota 30 persen dalam proses pencalegan, lalu mengapa tidak diberikan kuota 30 persen juga untuk para penyelenggaranya?.

Ketiga, tidak ada jaminan bahwa dengan menetapkan kuota 30 persen, maka hasil dari pemilu akan menghasilkan 30 persen anggota legislatif perempuan. Faktanya, hanya perempuan-perempuan yang memiliki jiwa dan naluri politik kuat yang bisa lolos.

Tidak salah bila banyak orang mengatakan bahwa kuota perempuan itu sifatnya formalitas, bukan substansial. Dengan aturan itu, banyak parpol yang hanya sekedar merekrut caleg perempuan. Yang penting parpolnya lolos secara administratif. Persoalan perempuan yang direkrut itu serius atau tidak, kelihatannya tidak menjadi perhatian utama.

Keempat, aturan kuota 30 persen itu kemudian bisa juga dinilai malah melanggar hak-hak politik orang lain. Jika ternyata di dalam satu dapil ada yang tidak cukup kuota perempuannya, maka seluruh caleg di dapil itu digugurkan. Aturan ini secara faktual telah mengebiri hak-hak politik warga negara untuk dipilih dan memilih dalam proses demokrasi yang ada.

Hanya karena kuota perempuan, muncul ketidakadilan pada yang lain. Padahal, substansi demokrasi itu bukanlah jenis kelamin, tetapi lebih pada bagaimana membumikan nilai-nilai keadilan di tengah masyarakat. Kalau prosesnya saja dinilai sudah tidak adil, lalu apalagi yang diharapkan dari hasilnya?.

Kelima, kalau memakai pengertian yang cukup mendalam, pemberian kuota 30 persen itu seakan menimbulkan kesan kalau perempuan tidak berdaya secara politik. Karena tidak berdaya, harus diberi kuota. Padahal, dalam sejarah politik nasional dan internasional, banyak tokoh politisi perempuan yang cukup tangguh yang tampil menjadi pemimpin. Tanpa ada kuota, mereka bisa survive dan jadi tokoh di negaranya.

Di Indonesia, ada Ibu Megawati. Kalau mau jujur, beliau adalah tokoh politik paling powerfull di partainya. Di Inggris, kita pernah mengenal nama Margaret Thatcher. Saking powerfull-nya dia malah dijuluki sebagai 'iron lady'. Di Pakistan, ada Benazir Bhuto yang pernah berjaya.

Di Myanmar, ada Aung San Suu Kyi yang ketokohannya sudah diakui dunia. Di Thailand, ada Yingluck Shinawatra yang saat ini menjabat perdana menteri. Apa mereka ini jadi tokoh politik karena kuota 30 persen? Jawabannya, sama sekali tidak. Karena itu, soal kuota-kuotaan ini perlu dikaji ulang lagi.

Berniat menjadi politisi tidak sama dengan berniat menunaikan haji. Kalau mau naik haji, harus manut pada kuota yang ada. Kalau berpolitik, sukses atau tidaknya sangat tergantung bagi orang yang melakoninya.

Penulis adalah Ketua Umum PP. Pemuda Muhammadiyah

sumber : republika

Related Posts